Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 2) - Mendaulatkan Tuhan

Membandingkan Farabi dan Khomeini dalam pemikiran politik tidaklah mudah didekati dengan perbandingan klasifikatoris, memilah mana yang sama dan mengumpulkan yang berbeda. Ketimbang banyak perbedaan keduanya lebih tepat dikatakan sebagai akumulasi-akumulasi pemikiran Islam. Sebagaimana maklum baik Khomeini maupun al Farabi menganggap Plato dan Aristoteles sebagai Bapak peletak dasar teori kemasyarakatan-ketatanegaraan dan teori kepemimpinan. Dimana pemikiran kedua filsuf yunani ini sedikit banyak diadopsi dan dikembangbiakaan dengan pendekatan Islam yang beragam.
Philosopher Series - Al-Farabi, Sumber: mulpix
Ketimbang politik praktis, Farabi lebih mengutamakan pembahasan tentang masalah etika (sebagaimana aristoteles) dengan memasukkan Islam sebagai basis berpolitik dan tingkatan kemasyarakatan. Di lain pihak Khomeini bergerak lebih jauh dengan menerapkannya ke dalam konsep praktik dengan teori Wilayatuh Faqihnya. Suatu dewan yang menjabarkan etika hukum Islam ke dalam praktik kenegaraan. Pada buku ini, Yamani menukil dari kitab-kitab Al Farabi tentang ragam masyarakat dan negara ideal dan memperbandingkannya dengan landasan filosofis Islam sebagai argumentasinya dalam menjabarkan epistemnya tentang akhlak baik dan akhlak buruk sebagai prakondisi untuk tercapainya jiwa-jiwa kepemimpinan dalam masyarakat utama. Menurut Farabi jiwa makhluk itu bertingkat-tingkat demikian pula dengan jiwa masyarakat. 
Jiwa pikiran bertingkat demikian pula dengan jiwa kepemimpinan. Yamani agak kurang menjabarkan skematika akal aktif dari Al Farabi (hlm lampiran : 151) yang sebenarnya cukup menarik untuk diperbandingan dengan persyaratan dan keniscayaan munculnya kefaqihan dan gradasi kesempurnaan pemimpin dalam konsep kepemimpinan Khomeini yang banyak menggunakan pendekatan dari Mulla Sadra, tentang gerak emanansi. Bahwa dalam masyarakat adalah suatu keniscayaan adanya sosok yang memiliki kemampuan untuk lebih dalam memahami beragam hal dan tingkatan kesempurnaan (tasyiq al wujud). Oleh karena itu Khomeini berangkat lebih “keras”dengan mengatakan bahwa adalah dosa apabila membiarkan pemimpin buruk sebagai pemimpin. Dalam konteks ini Al Farabi lebih mau berkompromi, meskipun kelak dalam praktiknya teori Khomeini ini mengalami penyesuaian-penyesuaian.
Dengan sendirinya fahamlah kita bahwa teori-teori politik keduanya diupayakan seideal mungkin, oleh karenanya perlu pula ia melihat kepada keinsafan kondisi lokal dan pragmatisnya. Baik teori pemerintahan Tuhan Khomeini maupun Al Farabi dalam pelaksanaannya ternyata diturunkan pula ke dalam konteks kedaulatan rakyat. Dalam bentuk demokrasi untuk memilih para ulama sebagai otoritas hukum masyarakat. Di sinilah menariknya membaca buku Yamani, dengan pendekatan filosofis kesejarahannya ia melihat ke depan jika dalam suatu hukum Islam terjadi upaya-upaya holistis untuk mendialogkan kedaulatan Tuhan di tengah kedaulatan rakyat. Bagi Khomeini dan Al Farabi dalam pemerintahan Islam, manusia dan Tuhan sama-sama berdaulat. 

Bersambung..


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 2) - Mendaulatkan Tuhan"

Posting Komentar