Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 1) - Prolog



Tumbangnya Saddam Husein oleh serbuan tentara AS, membuka kenyataan baru yang mengejutkan dunia barat dan Islam pada umumnya.  Keterkejutan atas penolakan mayoritas rakyat Irak terhadap pemerintahan boneka AS, akumulasi kekuatan ulama-rakyat, dan kemungkinan terulangnya kembali Revolusi Islam di Irak, sebagaimana yang pernah terjadi di Iran tahun 1978 di bawah pemimpin kharismatik Syiah, Ayatullah Ruhullah Khomeini.


Hal yang menarik melihat bagaimana kerisauan ini muncul. Islam secara konsisten, meski dalam kondisi tertekan dan termarginalkan dalam konteks pergaulan dunia tetap berupaya menjadikan dirinya alternatif atas ideologi liberalisme-kapitalisme yang dianggap telah menciptakan determisme sejarah, penjajahan, eksploitasi manusia dan alam, monopoli, dan gagal membawa manusia kepada keadilan. Dengan sendirinya barat akan selalu melihat politik Islam sebagai anti-thesa atas ide-ide humanisme, kebenaran, kebebasan, maupun kemerdekaan individu yang selama ini diselipkan untuk menutupi perilaku hegemoni “demokrasi” Barat atas dunia. Dalam pandangan Barat politik Islam harus dipinggirkan, dikonotasikan negatif dan ditempatkan dalam satu posisi bersalah, anti kebebasan, puritan, kuno, teror, dan fundamental. Pengertian yang dikelirukan seperti inilah yang menciptakan stigma buruk terhadap gerakan-gerakan Islam.
God hand holding the earth, Sumber: norademirjian
Ketika Khomeini mengajukan Islam sebagai alternatif dalam konteks pemerintahan modern, hampir seluruh dunia terkejut dan mempertanyakan bagaimana mungkin agama mampu menjadi motivasi sebuah revolusi politik,  bagaimana kaum mullah (ulama tradisional) memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat dalam politik modern (demokrasi). Bagaimana Syiah sebagai sebuah madzab memiliki motivasi revolusioner mengubah paradigma kepemimpinan ideal platonian dan aritotelian dalam wujud konkret, pemerintahan kedaulatan Tuhan (teokrasi). 


Kenyataan yang terus dipropagandakan Barat untuk menyampingkan kenyataan keberhasilan sebuah revolusi agama  (Islam) di Iran ini, tetap tidak dapat menyangkal jika Iran adalah salah satu negara yang berhasil menempatkan demokrasi sebagaimana seharusnya. Dalam beberapa kali pemilu jumlah calon presiden di Republik Islam Iran diikuti kurang lebih 800 calon presiden untuk membentuk dewan (dewan tanfiziyah/eksekutif) dan diikuti lebih dari 90% suara pemilih. Bandingkan dengan demokrasi di Amerika yang hanya melibatkan kurang dari 40% suara pemilih.
Kenyataan inilah yang membuat Khomeini dan gerakan Syiah di Iran terus menarik dipelajari dan kerap menjadi acuan bagi alternatif-alternatif pemikiran politik Islam di negara-negara di mana Islam menjadi mayoritas, sebagaimana yang terjadi di Irak sekarang. Termasuk analisa yang dilakukan Yamani, pelajar Indonesia yang tengah (atau sudah) menyelesaikan riset Doktor-nya dalam filsafat politik Islam di AS. Yamani mencoba membedah dua pemikiran klasik abad pertengahan al Farabi dan modern dari Khomenei.
Riset ini sebenarnya menambah lagi wacana tentang pencarian dengan metoda diakronis (kesejarahan) politik Islam dalam menjawab problematika siapakah yang berhak menggantikan kepemimpinan dan keimaman (religiousleadershipment) pasca Nabi Muhammad. Dialog-dialog yang menghasilkan ratusan alternatif pemikiran tentang khilafahan dan pemerintahan Islam.
Hal ini muncul karena dorongan krusial untuk memperbincangkan siapakah pengganti nabi[1]. Konsekuensi pertanyaan ini adalah pertanyaan lanjut tentang mungkinkah nabi Muhammad sebagai mandataris dan penjabar hukum Tuhan di dunia tidak menunjuk penggantinya. Jika ia tidak menunjuk penggantinya, siapakah yang berhak menafsirkan hukum-hukum tuhan di dunia? Mungkinkah manusia (umat Islam) menciptakan hukum-hukum sendiri dengan proses ijma (konvensi) sementara mereka menyakini jika Alquran dan Hadist telah sempurna[2]? Berhakkah mustami (masyarakat awam) terlibat dalam pembentukan hukum? Apakah kebenaran itu ditentukan oleh suara mayoritas?[3] Ataukah Nabi menunjukkan orang-orang yang meneruskan keimaman dalam hukum Tuhan dan menafsirkannya untuk manusia. Jika ada siapakah orang tersebut, dan bagaimana kedudukannya dalam geneologi kenabian?[4]
Pertanyaan panjang tentang khilafah dan kriteria pemimpin pasca Rasul inilah akar-akar  yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran politik dalam Islam mengenai hak kepemimpinan, masyarakat ideal, dan pemerintahan yang ideal. Dua diantaranya adalah yang diangkat dengan cukup menarik oleh Yamani untuk melihat garis lurus kebersinambungan filsafat dan politik Islam sepanjang era medieval hingga modern sekarang. Yang sebagaimana diungkapkan pada paragraph awal telah menunjukkan bahwa Islam memiliki kemampuan memperbaharui dirinya dalam kondisi tertekan atau termarginalkan untuk tetap menjadi pemikiran dan pandangan alternatif dalam dunia hegemonial barat yang deterministik sekarang. Orang-orang seperti Abu Nasr Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi dan Ayatullah Ruhullah Khomeini-lah, dua dari banyak mujtahid Islam yang meyakini dan terus melahirkan pemikiran yang menyegarkan Islam untuk selalu dapat menjadi alternatif dan menjawab tantangan modernitas.

Bersambung..


[1] Baik Syiah maupun Sunni sepakat jika kepemimpinan adalah kemutlakan yang harus ada dalam suatu masyarakat. Sehingga mustahil menurut kaum Syiah jika nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya sebagai penerus dan pemegang hukum-hukum tuhan.  Mungkinkah nabi yang mengajarkan tata cara doa akhlak, bagaimana masuk dan keluar kamar mandi, tidak mengatur hal yang lebih penting seperti suksesi kepemimpinan.
[2] Al Maidah:3 dan 67 tentang kewajiban rasul menyampaikan risalah ketuhanan
[3] Al Ahzab : 36 “tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah jika allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah urusan, untuk memilih keputusan yang lain dari urusan-urusan mereka”
[4] Baik referensi utama Syiah dan Sunni menunjukkan adanya hadist dan ayat tentang kepemimpinan pasca rasul. (lihat Alquran, Annisa 4:59,Shahib Bukhari jilid 8:105-128, dan Muslim jilid 6:4)


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 1) - Prolog"

Posting Komentar