Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 1) - Prolog
Tumbangnya Saddam Husein oleh
serbuan tentara AS, membuka kenyataan baru yang mengejutkan dunia barat dan
Islam pada umumnya. Keterkejutan atas penolakan
mayoritas rakyat Irak terhadap pemerintahan boneka AS, akumulasi kekuatan
ulama-rakyat, dan kemungkinan terulangnya kembali Revolusi Islam di Irak,
sebagaimana yang pernah terjadi di Iran tahun 1978 di bawah pemimpin
kharismatik Syiah, Ayatullah Ruhullah Khomeini.
God hand holding the earth, Sumber: norademirjian |
Ketika Khomeini mengajukan Islam sebagai
alternatif dalam konteks pemerintahan modern, hampir seluruh dunia terkejut dan
mempertanyakan bagaimana mungkin agama mampu menjadi motivasi sebuah revolusi
politik, bagaimana kaum mullah (ulama
tradisional) memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat dalam politik
modern (demokrasi). Bagaimana Syiah sebagai sebuah madzab memiliki motivasi
revolusioner mengubah paradigma kepemimpinan ideal platonian dan aritotelian
dalam wujud konkret, pemerintahan kedaulatan Tuhan (teokrasi).
Kenyataan yang terus dipropagandakan
Barat untuk menyampingkan kenyataan keberhasilan sebuah revolusi agama (Islam) di Iran ini, tetap tidak dapat menyangkal
jika Iran adalah salah satu negara yang berhasil menempatkan demokrasi sebagaimana
seharusnya. Dalam beberapa kali pemilu jumlah calon presiden di Republik Islam
Iran diikuti kurang lebih 800 calon presiden untuk membentuk dewan (dewan
tanfiziyah/eksekutif) dan diikuti lebih dari 90% suara pemilih. Bandingkan
dengan demokrasi di Amerika yang hanya melibatkan kurang dari 40% suara
pemilih.
Kenyataan inilah yang
membuat Khomeini dan gerakan Syiah di Iran terus menarik dipelajari dan kerap
menjadi acuan bagi alternatif-alternatif pemikiran politik Islam di
negara-negara di mana Islam menjadi mayoritas, sebagaimana yang terjadi di Irak
sekarang. Termasuk analisa yang dilakukan Yamani, pelajar Indonesia yang tengah
(atau sudah) menyelesaikan riset Doktor-nya dalam filsafat politik Islam di AS.
Yamani mencoba membedah dua pemikiran klasik abad pertengahan al Farabi dan
modern dari Khomenei.
Riset ini sebenarnya
menambah lagi wacana tentang pencarian dengan metoda diakronis (kesejarahan)
politik Islam dalam menjawab problematika siapakah yang berhak menggantikan
kepemimpinan dan keimaman (religiousleadershipment) pasca Nabi Muhammad.
Dialog-dialog yang menghasilkan ratusan alternatif pemikiran tentang khilafahan
dan pemerintahan Islam.
Hal ini muncul karena
dorongan krusial untuk memperbincangkan siapakah pengganti nabi[1]. Konsekuensi pertanyaan
ini adalah pertanyaan lanjut tentang mungkinkah nabi Muhammad sebagai
mandataris dan penjabar hukum Tuhan di dunia tidak menunjuk penggantinya. Jika
ia tidak menunjuk penggantinya, siapakah yang berhak menafsirkan hukum-hukum
tuhan di dunia? Mungkinkah manusia (umat Islam) menciptakan hukum-hukum sendiri
dengan proses ijma (konvensi) sementara mereka menyakini jika Alquran dan
Hadist telah sempurna[2]? Berhakkah mustami
(masyarakat awam) terlibat dalam pembentukan hukum? Apakah kebenaran itu
ditentukan oleh suara mayoritas?[3] Ataukah Nabi menunjukkan
orang-orang yang meneruskan keimaman dalam hukum Tuhan dan menafsirkannya untuk
manusia. Jika ada siapakah orang tersebut, dan bagaimana kedudukannya dalam
geneologi kenabian?[4]
Pertanyaan panjang tentang
khilafah dan kriteria pemimpin pasca Rasul inilah akar-akar yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran
politik dalam Islam mengenai hak kepemimpinan, masyarakat ideal, dan
pemerintahan yang ideal. Dua diantaranya adalah yang diangkat dengan cukup
menarik oleh Yamani untuk melihat garis lurus kebersinambungan filsafat dan
politik Islam sepanjang era medieval hingga modern sekarang. Yang sebagaimana
diungkapkan pada paragraph awal telah menunjukkan bahwa Islam memiliki
kemampuan memperbaharui dirinya dalam kondisi tertekan atau termarginalkan
untuk tetap menjadi pemikiran dan pandangan alternatif dalam dunia hegemonial
barat yang deterministik sekarang. Orang-orang seperti Abu Nasr Muhammad ibn
Tarkhan al-Farabi dan Ayatullah Ruhullah Khomeini-lah, dua dari banyak mujtahid
Islam yang meyakini dan terus melahirkan pemikiran yang menyegarkan Islam untuk
selalu dapat menjadi alternatif dan menjawab tantangan modernitas.
Bersambung..
[1] Baik Syiah maupun Sunni sepakat jika
kepemimpinan adalah kemutlakan yang harus ada dalam suatu masyarakat. Sehingga
mustahil menurut kaum Syiah jika nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya
sebagai penerus dan pemegang hukum-hukum tuhan.
Mungkinkah nabi yang mengajarkan tata cara doa akhlak, bagaimana masuk
dan keluar kamar mandi, tidak mengatur hal yang lebih penting seperti suksesi
kepemimpinan.
[2] Al Maidah:3 dan 67 tentang kewajiban rasul
menyampaikan risalah ketuhanan
[3] Al Ahzab : 36 “tidaklah pantas bagi
seorang mukmin maupun mukminah jika allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah
urusan, untuk memilih keputusan yang lain dari urusan-urusan mereka”
[4] Baik referensi utama
Syiah dan Sunni menunjukkan adanya hadist dan ayat tentang kepemimpinan pasca
rasul. (lihat Alquran, Annisa 4:59,Shahib Bukhari jilid 8:105-128, dan Muslim
jilid 6:4)
0 Response to "Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 1) - Prolog"
Posting Komentar