Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 5) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (2)
Barat sudah sejak lama menjadi tantangan dan ancaman bagi Iran. Walaupun
Iran tidak pernah secara langsung diperintah oleh penjajah. Uni Soviet di Timur dan Inggris di Selatan telah bersaing
menanamkan pengaruhnya. Bahaya intervensi dan ketergantungan kepada pihak
asing, yang dilambangkan oleh peristiwa yang menimbulkan protes keras seperti
revolusi tembakau, terjadi kembali pada tahun 1941, ketika Reza Syah turun tahta
demi puteranya. Lebih jelas lagi pada tahun 1953, ketika Syah dibuang ke
pengasingan oleh gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad
Mossadegh, yang program nasionalisasi minyaknya mengancam kepentingan
perusahaan minyak Barat.
Shah Mohammad Reza crowning Empress Farah at their coronation ceremony in 1967, Sumber: Wikipedia |
Kembalinya Syah Reza Pahlevi dari Roma ke
Teheran, menggunakan pesawat militer Amerika bersama kepala CIA di sampingnya,
dipersiapkan oleh Amerika dengan bantuan Inggris. Ikatan ekonomi, militer dan
politik Iran dengan Barat, khususnya dengan Amerika, berkembang dengan baik.
Amerika, Inggris dan Prancis mendapat keuntungan dari penjualan persenjataan
dan membantu pelatihan militer dan polisi rahasia (SAVAK) Iran. Ketika Amerika
sedang sibuk di Vietnam dan Inggris sedang menarik pasukannya dari Teluk
Persia, Syah menggambarkan kebijaksanaan yang sesuai dengan
kebijaksanaan Amerika, mulai dari penolakan Syah terhadap Nasserisme dan
hubungan yang pragmatis dengan Israel, serta kehadiran bangsanya yang mantap di
Teluk, sampai kekayaan minyak dan pasarnya bagi produk-produk Amerika.
Kehadiran bank dan tokoh bisnis Amerika dan Eropa bersama-sama dengan diplomat
dan penasehat militer berpengaruh kuat di Iran. Pada akhir tahun 60-an
“kebijaksanaan dan dukungan pro-Pahlevi mulai mendominasi tingkat tertinggi
penyusunan kebijaksanaan asing Amerika.[1]
Ulah dan kebijakan-kebijakan Syah
mendapat tantangan keras dari para ulama tradisional dan megorganisir gerakan
untuk menentang kekuasaan Syah yang dianggap telah menegakkan kezaliman dan
menghancurkan ajaran-ajaran Islam.
Orang yang mengatur berhimpunnya
seluruh kekuatan oposisi dalam rangka mengenyahkan Syah adalah Ayatullah
Ruhullah Musawi Khomeini, yang dilahirkan pada 1902. Pada 1921 ia pergi ke Qum
untuk menyelesaikan pendidikannya, dan pada 1926 mencapai tingkat mujtahid.
Di awal 1944 ia terlibat dalam kritik terbuka terhadap aspek-aspek kebobrokan
rezim Pahlevi, tetapi selama gelombang kekacauan pada 1962 dan 1963 barulah ia
tampil ke depan sebagai pengecam terang-terangan rezim tersebut. Akibatnya ia
diasingkan, pertama kali ke Turki, kemudian ke Nejef di Irak pada 1969, dan
akhirnya pada 1978 ke Paris.
Selama masa pengasingannya inilah
pemikirannya terbentuk, seperti yang dijelaskan dalam kuliah-kuliah kepada
mahasiswa. Ia sangat prihatin kepada masalah keterasingan akibat pengaruh
Barat. Untuk membasmi “kuman penyakit Barat” ini, ia memandang penting
diciptakannya suatu lingkungan di mana syariah berkuasa dan terdapat
keseragaman ideologis. Meski merupakan seorang ulama, ia juga menerima konsepsi
Syariati tentang Islam Syiah sebagai aktivitas, “Islam adalah agama para
individu militan yang tuduk secara sepenuhnya kepada kebenaran dan keadilan. Ia
merupakan agama kepada orang-orang yang menghendaki kemerdekaan. Ia merupakan
mazhab orang-orang yang berjuang menentang imperialisme.”[2]
Islam sejati yang ada di masa Nabi
Muhammad, Imam Ali dan Imam Husein, merupakan gerakan yang meliputi seluruh
dunia untuk menjamin tegaknya keadilan sosial bagi kaum tertindas. Namun
Khomeini tidak membiarkan kepemimpinan terkatung-katung di tangan “para pemikir
tercerahkan” seperti yang dikehendaki Syariati,[3]
tetapi menyepakati bahwa kepemimpinan itu mestinya berada di tangan
anggota-anggota lembaga keagamaan (Wilayah al-Faqih).
Khomeini emerged as the dominating political figure in post-revolution Iran, Sumber: aljazeera |
Pada 1978 Ayatullah Khomeini berada
dalam suatu posisi menguntungkan untuk memainkan peran utama dalam gerakan
menentang Syah. Ia menunjukkan kemampuan politiknya dengan mencela seluruh
kebobrokan pemerintah dan keberatan-keberatan terhadapnya, sementara tetap
mengunci mulut tentang sebagian besar program positifnya. Dalam cara semacam
ini, ia mampu menghimpun kelompok-kelompok sekuler atau sayap kiri dan membuat
mereka bekerja sama dengan kelompok-kelompok tradisionalis Muslim. Akhirnya
pada tanggal 16 Januari 1979, Syah memutuskan angkat kaki, dan pada tanggal 1
Februari, Khomeini kembali ke Iran serta mampu mengambil alih kendali
pemerintahan.[4]
Dalam kondisi berkecamuk hampir di
seluruh Iran, pada tanggal 11 Februari, angkatan bersenjata mengundurkan diri
dan pendukung Khomeini dapat menguasai keadaan. Untuk menjaga stabilitasa dan
kepemimpinan Negara, Imam Khomeini mengangkat Mehdi Bazargan sebagai perdana
menteri sementara. Kemudian, pada bulan maret, melalui suatu referendum yang
tebuka, ternyata Imam Khumaini membuktikan perjuangannya, di mana mayorits
rakyat menyetujui gagasan Republik Islam Iran yang akhirnya diproklamasikan
oleh Khomeini pada tanggal 1 April 1979, di bawah pimpinan Dewan Revolusi
Islam.
Persoalan berikut yang dihadapi
adalah bagaimana mengartikan dan melembagakan konsep “Republik Islam”?. Satu
kubu, yang termasuk di dalamnya Bazargan, ingin mengembangkan negara sesuai
model yang dipakai di kebanyakan negara lain, dengan merujuk kepada Islam
sebagai sumber prinsip-prinsip dasar. Kubu kedua mencita-citakan negara
yang memberikan kedudukan utama kepada golongan ulama melalui berbagai lembaga
khusus. Pada akhirnya, pendapat terakhir yang terwujud dan dijelmakan dalam
Undang-Undang Dasar yang disahkan melalui referendum pada bulan Desember 1979.
Undang-Undang Dasar ini,
mengadaptasi konsep politik modern dengan mengakui lembaga yang dikenal umum,
seperti presiden, kabinet, dan parlemen (Mejelis). Namun, di atas itu semua
diciptakan suatu “Dewan Pengawas Konstitusi” dan jabatan vali-yi faqih (wali
faqih). Dewan Pengawas Konstitusi berhak memeriksa semua peraturan yang
dibuat, demi menjaga keselarasannya dengan syariat dan konstitusi Iran, serta
memvetonya jika tidak sesuai. Wali Faqih menjadi pemimpin utama, yang
berkuasa penuh terhadap Republik Islam Iran. Semua pengangkatan sipil, militer,
kehakiman dan keagamaan, di bawah komandonya. Konstitusi juga menentukan bahwa
semua undang-undang dan peraturan harus berdasarakan asas Islam dan pemerintah
serta angkatan bersenjata berkewajiban menyebarkan “kedaulatan hukum Allah” di
seluruh dunia.
Bukan hanya lembaga tradisional
dalam sistem pemerintahan yang diberikan penggandaan berupa berbagai lembaga
yang harus menjamin keabsahan islami dalam keputusan dan kebijakannya,
lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan keagamaan pun digandakan dengan berbagai
lembaga “revolusioner’ (sering disebut bunyat, yaitu yayasan, atau
jihad). Yang paling penting di antara lembaga tersebut adalah Sipah-i
Pasdaran-i Inqilab-i Islami, lazimnya disingkat Pasdaran, yang
menjadi semakin besar dan semakin berpengaruh dalam urusan keamanan
dalam dan luar negeri, antara lain dengan memerangi pasukan kelompok oposisi
dan pasukan Irak. Angkatan bersenjata yang diwarisi dari rezim terdahulu juga
dipertahankan, tetapi berangsur-angsur dibersihkan dari personel yang dianggap
tidak mendukung paham revolusi Islam dan dibina ulang berdasarkan nilai
revolusi. Untuk itu, sejumlah komisaris keagamaan ditugaskan di dalam angkatan
bersenjata. Proses islamisasi serupa dijalankan di kalangan lembaga dan pegawai
sipil.[5]
[3] Syariati menolak pandangan tradisional yang menyatakan bahwa Muslim awam
harus pasif secara politis ketika menanti kedatangan Imam Mahdi.
Menurutnya, mereka sebaliknya harus siap mengikuti bimbingan “orang-orang suci
yang bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, yang mewakili kepemimpinan Imam”
dan berupaya menegakkan keadilan sosial serta pembaruan-pembaruan lainnya.
Orang-orang yang dapat memberi bimbingan dalam hal ini bukanlah ulama-ulama
resmi – yang dkritiknya secara pedas – tetapi “para pemikir yang tercerahkan” (raufsyanfikr).
Ia juga memberikan interpretsi baru tentang dasar kesyahidan Imam Husain.
Baginya, ia tidak lagi sekedar perantara yang dapat menolong seseorang memikul
beban penderitaan: namun ia adalah panutan agung yang berjuang dan mengorbankan
nyawa nya tidak hanya untuk memulihkan kekuasaan keluarga nabi (ahlul Bayt),
tetapi juga untuk menegakkan keadilan sosial bagi orang-orang tertindas di
seluruh dunia. Lihat: William Montgomery Watt. Fundamentalisme, hlm 277-278.
0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 5) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (2)"
Posting Komentar