Bedah Buku - Iblis Menggugat Tuhan
Kau bilang Adam berdosa gara-gara hasutanku? Kalau begitu, atas hasutan
siapa aku melakukan dosa? Aku sebenarnya melakukan apa
yang Dia perintahkan, dan aku sepenuhnya patuh pada keinginan-Nya. mau
bagaimana lagi? Tidak ada ruang yang luput dari
kuasa-Nya. Aku bukanlah tuan bagi
keinginanku sendiri. Aku menyembah Tuhan selama 700 ribu
tahun! Tidak ada tempat yang tersisa di langit dan di
bumi dimana aku tak menyembah-Nya. Setiap
hari aku berkata pada-Nya, “ya Tuhan, anak keturunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan
meninggikan mereka. Tapi aku yang mencintai dan memuja-Mu dengan pemujaan yang
benar, Engkau buat jadi hina dan buruk rupa”. Aku tak ingin bersujud pada Adam dengan satu alasan yang benar, karena aku tak ingin
mencintai dan sujud selain pada-Mu
- Iblis-
Oleh, Dodi Iqbal Christian
|
iblis Menggugat Tuhan - The Madness of God Karya Shawni, Sumber: Prelo |
Tuhan yang
imanensi[1]
merupakan Tuhan yang berperan di dalam kehidupan manusia. Tuhan dianggap
mempengaruhi proses hidup dan kehidupan manusia yang selaras dalam membentuk
identitas dan ciri. Sisi-sisi Illahiah tersebut kemudian dikenal dan dijabarkan
dalam butiran sifat yang baik, halus, dan penuh kasih. Tuhan menjadi kutub dimana tempat kebaikan manusia bersemayam.
Pusat dari segala perangai yang baik dan indah.
Dalam buku Iblis menggugat Tuhan karya Shawni ini memiliki dua
cerita: yang pertama adalah The Madness of God (Kegilaan
Tuhan) dan kedua adalah The Men Who Have The Elephant (Pria
yang memiliki Gajah). The Madness Of God menceritakan
tentang dialog-dialog antara seorang Pendeta bernama Buhairah dengan seseorang
pemuda kaum Marcionites[2] dan
juga Iblis. Sedangkan mengenai The Men Who Have Elephant menceritakan
ihwal dialog antara Raja Abrahah dengan Siraaj sebelum tentara gajahnya
menyerang Makkah.
Tentang The Madness of God
Berawal dari gagasan mengenai asal-muasal kejahatan. Di dalam
sebuah anekdot bergaya Derridean[3]
yang kemudian menyeret-nyeret nama Albert Einstein,[4]
bahwa kejahatan didefinisikan sebagai ketiadaan Tuhan dan manusialah yang
menciptakan kejahatan itu sendiri. David Hume[5]
melalui dialog antara Demea, Philo dan Cleanthes menyatakan penyangkalan
retorika tersebut dengan memaparkan bahwa premis “Tuhan itu eksis” dan
“Kejahatan itu eksis” secara koheren tidak logis dan inkompatibel.[6]
Jika Tuhan adalah Maha Baik, maka seharusnya Tuhan menciptakan dunia dengan
kemungkinan yang terbaik, di mana kejahatan mestinya tidak ada. Namun, pada kenyataannya,
kejahatan tetaplah eksis, maka apakah berarti Tuhan itu tidak ada?
Argumentasi lain yang dicecarkan kepada
Pendeta Buhaira yaitu ketika pada suatu saat ia bertemu dengan seorang anak
muda yang berasal dari kaum Marcionites. Anak muda itu berkata, “Jika
memang Tuhan itu Esa, dan apabila Tuhan Bapak serta Yahweh-nya bangsa Yahudi
adalah sama, maka Tuhan pasti sudah gila, atau Dia pasti gila sejak awal! Dapatkah
kau menjelaskan kegilaan-Nya?”. Di sinilah monoteisme Tuhan dipertanyakan dan
munculnya frasa Kegilaan Tuhan (the
madness of God) yang akan dielaborasi kemudian.
Ada dua muara dari pernyataan anak muda
tersebut. Yang pertama ialah kalimat Tuhan tidak esa karena kebaikan dan
kejahatan lahir dari Tuhan yang berbeda. Kedua, jika memang benar Tuhan yang
Maha Baik-lah yang menciptakan Kejahatan, maka Tuhan menjadi ambivalen dan
disebut “gila” (kemudian mengerucut kepada frasa The Madness of God)
Dicecar pertanyaan tersebut, Buhaira kemudian
menjadi gamang atas keesaan Tuhan hingga akhirnya ia membenamkan diri dalam
buku-buku sebelum nantinya ia bertemu dengan rombongan pedagang dari Quraisy
yang membawa serta anak muda bernama Muhammad. Buhaira-lah yang disebut-sebut
menemukan tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad yang menjadi Rasulullah SAW.
Lewat perantara Muhammad, Buhaira kemudian diantar menemui makhluk yang diasosiasikan
lekat dengan kejahatan, yaitu Iblis. Lantas, Buhaira yang tak sengaja memergoki
Iblis dalam sebuah mata air memulai percakapan dengan Iblis.
Dalam dialog antara Buhairah dengan Iblis,
Iblis melakukan pledoi[7]
atas tuduhan-tuduhan manusia yang ditempelkan kepadanya sebagai penyebab semua
kejahatan yang ada di muka bumi. Iblis berkata bahwa ia semata-mata hanya patuh
kepada Tuhan, tak ada segala sesuatu di alam raya ini yang terjadi di luar
kehendak Tuhan. Penolakannya untuk sujud pada Adam merupakan manifestasi bahwa dirinya
(Iblis) memegang teguh perintah sejati Tuhan mengenai tidak adanya segala
sesuatu yang patut disembah kecuali hanya Tuhan. Bahwa kutukan Tuhan kepadanya
adalah bukti Tuhan mencintainya. Bagi iblis, apabila Tuhan mampu mengutuknya,
makhluk yang diriwayatkan sebagai malaikat terbaik Tuhan, maka sebenarnya Tuhan
bisa mengutuk siapa saja. Iblis seakan berlindung pada “asma” Tuhan sekaligus
menyuarakan “kegilaan Tuhan”.
Angel and Devil by Masiani, Sumber: Masiani DeviantArt |
Apabila manusia menuduh Iblis, berarti tuduhan
itu juga mengena pada Tuhan. Iblis berkata pada Buhaira, “tidak ada satu hal
pun di jagat ini terjadi kecuali demi kepentingan-Nya dan sesuai tujuannya. Kau
tak lebih dari pengecut di hadapan keesaan Allah, karena akulah musuh yang
nyata bagi manusia. Dan karenanya, Allah, melalui diriku, adalah musuh bagi
manusia.”
Argumen Iblis tersebut seakan menjawab
pendapat Hume mengenai ketidak logisan Tuhan dan Kejahatan yang dapat eksis
secara bersamaan. Dengan mengatakan kejahatan adalah bagian dari Tuhan, dan Iblis
merupakan eksekutor tugas dari Tuhan semata. Iblis tidak memiliki hak
prerogatif untuk mempertanyakan kuasa Tuhan. Iblis menyampaikan jika Tuhan menghendaki
seseorang buruk, maka tidak ada yang bisa menentang kehendak-Nya. Tuhan-lah
memberikan fitrah Firaun untuk melawan Musa dan Namrud untuk melawan Ibrahim. Tuhan
adalah Maha Kasih yang sekaligus Maha Kejam.
Kemudian Tuhan yang Maha Kuasa digambarkan
oleh Iblis sebagai pemilik segala takdir, ia berpendapat bahwa kesesatan
dirinya dan kenabian para utusan-utusanNya tak lain adalah garis yang telah
ditentukan. Jika Iblis terlihat “menyesatkan” atau menjadi muara dari semua
“kejahatan”, maka itu hanyalah perspektif yang timbul dari pandangan manusia
semata. Manusia tidak mengetahui bahwa Iblis memegang teguh kesetiaan perintah-Nya
untuk menyembah tiada lain selain-Nya. Manusia, yang menjadi jahat adalah
mereka yang memang terlahir untuk menjadi jahat.
Serta-merta Iblis mengamini pandangan determinisme[8]
keras, dimana manusia tidak memiliki kehendak bebas atas dirinya dan apapun.
Kekuasaan Tuhan yang mutlak baik atas kebaikan atas kejahatan membuat Dzat
Tuhan (mengutip kata Iblis) tenggelam di dalam darah para pencinta-Nya sendiri.
Tuhan melumuri diri-Nya dengan noda melalui penderitaan dan kesedihan
makhluknya yang meyakini tentang ke-Maha Pengasih-Nya.
Iblis juga berkata bahwa ia mencintai Tuhan sedalam-dalamnya
melebihi siapapun dan apapun. Cinta dan kesetiaannya pada Tuhan, membuat ia
enggan bersujud pada selain-Nya, termasuk kepada Adam, hal ini membuat ia dikutuk.
Kutukan pada cintanya tidak menyurutkan niatnya untuk tetap mencintai Tuhan,
dengan meminta izin-Nya untuk menggelincirkan manusia. Dengan izin Tuhan serta
cinta yang tulus itu, mudah sekali manusia akan dikelabui jika kesesatannya
(manusia) hanya bersumber dari godaan iblis semata.
Buhaira
mengimbangi tantangan serta tentangan Iblis mengenai sisi “kegilaan” Tuhan
dengan mengemukakan bahwa Iblis hanya sebongkah bagian yang maha inferior yang
bukan bagian dari Tuhan. Iblis memang milik Tuhan tapi dia tidak dapat
dicampuradukkan dengan Tuhan.
Dialog-dialog
dalam The Madness of God berisi mengenai pertentangan-pertentangan
antara Iblis dan Buhaira yang selalu meruncing dengan persepsi masing-masing
mengenai free will (kehendak bebas) yang diyakini Buhaira
dan determinisme yang pegang teguh oleh Iblis. Maka,
persepsi atas perahu kehidupan ini menjadi beraneka ragam. Pengetahuan manusia
berjalan tertatih-tatih dengan kaki yang patah, namun kematian datang
menyeruduk tak kenal ampun. Garis nyawa kita tidak akan cukup menyingkap tabir
rahasia Tuhan, seperti kalimat “Manusia tidak diberi pengetahuan melainkan
sedikit”.
Tentang The Men Who Have The
Elephant
“Analogi adalah kompas bagi yang tersesat.
Tatkala kalian telah sampai ke tujuan, singkirkan itu”.
Bal’am merupakan seorang yang tersesat dalam
belantara nafsu, nafsu adalah satu-satunya keyakinannya. Dia bergidik ngeri
membandingkan pengabdian Iblis selama 700 ribu tahun yang kemudian luluh lantak
menjadi percuma hanya karena satu kesalahan, sedangkan Bal’am sendiri adalah
pendosa yang kekal. Bal’am tak berani sekalipun berharap diakui di dalam Kerajaan
Tuhan.
Fikrah Bal’am, sebagai manusia yang menjadikan
inferioritas dirinya atas Tuhan sebagai analogi untuk menggambarkan
ketidakterampunan dirinya yang merupakan seorang pendosa justru menjadi
bumerang. Fikrah tersebut disangkal langsung oleh Sang Bidadari dengan
mengucapkan. “pilihan untuk diampuni atau tidak diampuni tidak berada di
tanganmu”. Pikiran Bal’am secara tidak sadar justru menempatkan dirinya menjadi
lebih superior dari Tuhan sebagai penentu nasib dirinya sendiri (ihwal diampuni
atau tidak).
Apabila dalam The Madness of
God mengurai kehendak bebas dan asal-muasal kejahatan. Sedangkan dalam The
Man Who Have Elephant menceritakan tentang seseorang yang mengambil hak
Tuhan untuk memutuskan segala sesuatu.
Ilustrasi yang diambil adalah kisah Abrahah
yang akan menyerang Makkah. Sebelumnya, Abrahah mengumuman akan keagungan
Tuhannya melebihi Tuhan berhala kaum Arab. Ibnu Kinana yang tidak terima
terhadap pengumuman tersebut kemudian melakukan penghinaan kepada agama
Abrahah. Abrahah melakukan pembalasan dengan memimpin tentara gajah untuk
menghancurkan Mekkah.
Baik Abrahah dan Ibnu Kinana merupakan contoh
tentang orang yang mengambil kehendak Tuhan. Mereka menganggap diri mereka
adalah representasi Tuhan mereka, bahwa Tuhan pun marah ketika ada yang
menghina mereka. Padahal, mempreposisikan diri sebagai Tuhan sendiri merupakan
sebuah kesalahan, seperti halnya mempersonifikasikan Tuhan: menganggap Tuhan
memiliki sifat seperti makhluknya.
Abrahah meyakini bahwa Tuhan telah berfirman di
dalam dirinya. “Di dalam” berarti dia mendapatkan “bisikan” sehingga ia “yakin”
bahwa tindakan “menyerang” Mekkah adalah bagian dari “kehendak Tuhan”.
Persoalan ini kemudian ditentang oleh Siraaj, yang merupakan seorang penasehat
kerajaan. Siraaj menganggap bahwa Abrahah mencampur adukkan keyakinan pada
dirinya sendiri dengan keyakinan kepada kehendak Tuhan.
Sudut pandang Abrahah sebetulnya telah menyeret
teori imanensi Tuhan. Tuhan telah dianggap sebagai bagian dari dirinya sendiri
dan ikut serta menentukan kehendak manusia. Abrahah seperti mengambil sedikit
pemikiran Epikuros[9] pada
bagian: Tuhan mau dan bisa meniadakan atau mungkin memusnahkan kejahatan.
Abrahah mengambil alih peran Tuhan tersebut sembari memegang pedang “keadilan”
di tangannya.
Persoalanya adalah jika Tuhan memang
berkehendak dan bisa meniadakan kejahatan seperti yang dituduhkan Abrahah pada
Ibnu Kinana, mengapa kejahatan itu nyatanya kemudian tidak lenyap? Lalu jika
memang kejahatan sudah lenyap dari dulu, “kejahatan” yang eksis hingga sekarang,
itu berasal dari mana?
Abrahah sebagai seorang manusia yang penuh dengan
keterbatasan, memang digambarkan memiliki pendirian yang kuat. Meskipun
penasehat kerajaan yaitu Siraaj menegurnya, Abrahah tetap merasa bahwa Tuhannya
memang berkehendak demikan untuk menghancurkan musuh Abrahah. Dengan dalih
penghukuman akan kesalahan yang “tanpa pengampunan”, Abrahah kemudian
berlindung dengan mengatasnamakan keadilan.
Jika memang Tuhan dalah sumber “keadilan”
sekaligus “pengampunan”, Abrahah tidak bisa mencampuradukkan sifat keMahaan
Tuhan lalu memunculkan satu diantara dua sifat tersebut yang lebih dominan.
Abrahah bukan Tuhan Sang Maha yang bisa dipahami tindak-tanduknya secara keseluruhan.
Siraaj menyitir habis-habisan pendapat yang
dilontarkan Abrahah dengan menyajikan inferioritas dan keterpahaman makhluk
berhadapan dengan superioritas dan ketidakterpahaman Tuhan dengan kata-kata:
“Tuhan-lah
Yang bisa dibedakan. Yang berbeda dari alam semesta dan melampauinya. Meskipun
makhluk adalah ciptaan-Nya, Namun ciptaan itu tidak bicara apa-apa tentang Dia.
Mengapa demikian? Karena tidak ada analogi yang memadai untuknya. Jika aku
mengatakan Dia adalah seniman dan alam semesta adalah lukisan-Nya, kau akan
berkata bahwa kita bisa belajar sedikit tentang Dia dari lukisan-Nya. Padahal
ini tidak berlaku bagi-Nya dan alam semesta. Mereka yang memberi penilaian
terhadap lukisan seseorang dengan sendirinya meniupkan napas kehidupan ke dalam
lukisan, ikut ambil bagian dalam penciptaan lukisan bersama sang seniman.”
Kalimat tersebut mengingatkan kepada buku
Dunia Sophie, karangan Jostein Gaarder, saat Alberto menjelaskan mengenai
Thomas Aquinas.[10] Alberto
juga sama-sama menjelaskan keretkaitan Ciptaan Tuhan dengan Tuhan sendiri.
Alberto mencontohkan Tuhan hanya dapat ditemui dalam otobiografi-Nya yaitu kitab
suci, tidak melalui persepsi yang manusia tanamkan kepada Tuhan semata.
Penelaahan kitab suci yang tidak akan purna akan membuat Tuhan menjadi realitas
yang transenden, jauh dan susah dipahami.
Siraaj secara berkelanjutan berusaha mengasung
pemikiran bahwa Abrahah tidak sepatutnya menjelma menjadi Tuhan dengan menjadi
hakim yang memutuskan secara semena-mena terhadap suatu kejadian, meskipun
kejadiannya terkait dengan penistaan Tuhan Abrahah. Siraaj menyindir Abrahah
yang telah mencoba menerjemahkan firman Tuhan namun malah berujung pada pemelintiran
firman Tuhan sendiri. Abrahah menjadikan Tuhan sebagai argumen pembenaran
terhadap penyerangan yang dilakukannya ke Makkah.
Siraaj kemudian memaparkan lebih lanjut tentang
ketidak mengertian manusia mengenai Tuhan, dengan menceritakan Ibrahim yang
diperintahkan untuk menyembelih Ishaq. Bagaimana mungkin tindakan Ibrahim yang
mengorbankan putranya sendiri dianggap masuk akal dan nalar. Tapi, dibalik
tindakan penyembelihan itu, ada firman Tuhan ihwal berkurban yang luhur, yang
dapat dimengerti setelah Ibrahim menjalankan perintah-Nya, yaitu ketika ujung
pisau sudah sampai ke leher Ishaq.
Ketidak pahaman tersebut diejawantahkan kembali
dalam fragmen cerita selanjutnya, saat Abrahah akhirnya menggempur Makkah dan
pasukan gajahnya terjungkal sempurna oleh badai debu panas. Pasukan gajah tersebut
dihantam awan-awan panas hingga tercerai-berai. Sekali lagi, ketidakpahaman manusia
kepada Tuhan dapat berujung pada keterpurukan itu sendiri. Abrahah merasa perlu
untuk menawarkan keyakinan yang benar pada kaum Arab yang masih menyembah Latta
dan Uzza pada saat itu, tapi Tuhan Abrahah sendiri yang menggagalkan Abrahah.
Secara bijak dan paripurna, Siraaj kemudian
berkata secara sederhana, “Pekerjaan menyadarkan orang lain menuju keyakinan
yang benar bukanlah tugasmu, kau juga tidak dapat melakukan apa yang menjadi
tugasNya.”
Jika The Madness of God membelah
kepercayaan tentang kehendak bebas (Free
will) dalam berketuhanan dan di sisi lain menjadikan determinisme sebagai
sebuah perspektif pendapat, maka The Men Who Have The Elephant membawa
kita untuk mempertanyakan Tuhan sebagai sebuah realitas yang jauh dan tidak
dapat dipahami. The Madness of God mengetengahkan imanensi Tuhan yang
kemudian diprotes habis-habisan, sedangkan The Men Who Have The
Elephant membawa fakta manusia yang mencampurkan Tuhan kedalam
dirinya sebagai pembenaran atas segala tindakan yang diperbuat. Keduanya
memiliki muasal yang sama, yaitu Tuhan yang imanen.
Dialog antara Abrahah dan Siraaj atau Buhairah
dengan Iblis membuat kita memilih sekaligus memproyeksikan Tuhan yang kita
sembah. Apakah Tuhan dianggap “Besar” karena manusia yang “Kecil” dan lemah
sehingga jauh dan susah dipahami? Ataukah Tuhan berada dalam transformasi
keseharian manusia sehingga Tuhan juga berperan dalam perilaku kita?
Pergulatan menemui Tuhan bukanlan persoalan
yang mudah, baik dalam persepsi Tuhan imanen maupun transenden, sebab manusia
hanya menziarahi perintah-Nya. Tuhan (mengutip Siraaj) adalah Lukisan yang terlampau
besar. Manusia hanya dapat mengagumi dan menerka-nerka, namun Dia sebenarnya
jauh melampaui segala kekaguman dan ke-terka-an. Tuhan adalah ada dan tiada,
sekaligus pencipta ada dan ketiadaan.
[1] Imanensi atau imanen adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri
sendiri atau subjektif, imanensi berasal dari bahasa latin immanere yang berarti “tinggal di dalam”. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
[2] Marcionites adalah sebuah sekte dalam agama Kristen yang menolak kitab
Perjanjian lama dan sebagian Kitab Perjanjian baru. Bermula dari seorang
bernama Marsion dari Sinope, ia adalah seorang uskup dalam gereja di kota
Sinope, salah satu pemikirannya yang banyak memicu perdebatan adalah pemisahan
radikal antara Perjanjian baru dan Perjanjian lama. Lihat Marsion, https://id.wikipedia.org/wiki/Marsion,
diakses pada 10 Mei 2018.
[3] Merupakan hal yang berkaitan dengan Jacques Derida, ia mengusung teori
dekonstruksi untuk menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan
teks dari konteksnya. Lihat Jacques
Derrida, https://id.wikipedia.org/wiki/Jacques_Derrida#Dekonstruksi,
diakses pada 10 Mei 2018.
[4] Albert Einstein adalah seorang ilmuawan fisika teoritis yang dipandang
sebagai ilmuwan terbesar pada abad 20. Ia mengemukakan mengenai teori
relativitas dan juga banyak menyumbang bagi perkembangan mekanika kuantum,
mekanika statistika, serta kosmologi. Lihat Biografi
Albert Einstein Ilmuwan Fisika, http://www.biografipedia.com/2015/07/biografi-albert-einstein-ilmuwan-fisika.html,
diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
[5] David Hume adalah seorang filsuf asal Skotlandia, salah satu pemikiran
skeptis radikal Hume dapat diringkas secara sederhana sebagai berikut: Dia
menyatakan bahwa teori kausalitas itu tidak ada. Lihat David Hume, https://id.wikipedia.org/wiki/David_Hume,
diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
[6] Demea, Philo, dan Cleanthes merupakan tiga karakter fiksi yang ditulis oleh
David Hume. Ketiga karakter tersebut dalam dialognya memperdebatkan keberadaan
Tuhan. Mereka bertiga bersepakat bahwa Tuhan itu tidak ada, namun mereka
berbeda pendapat mengenai bagaimana manusia mengenal Tuhan. Lihat Dialogues Concerning Natural Religion, https://id.wikipedia.org/wiki/Dialogues_Concerning_Natural_Religion,
diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
[8][8] Keyakinan filosofis bahwa semua peristiwa terjadi sebagai akibat dari
adanya beberapa keharusan dan karenanya tidak terelakan. Lihat Determinisme, https://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme,
diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
[9] Epikuros adalah seorang
filsuf yang mendirikan mazhab Epikuros yang berpendapat bahwa kebahagiaan hidup
adalah kenikmatan, kenikmatan adalah satu-satunya yang baik, serta menjadi awal
dan tujuan hidup bahagia. Lihat Epikuros,
https://id.wikipedia.org/wiki/Epikuros,
diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
[10] Santo Thomas Aquinas, adalah seorang yuris, teolog, dan filsuf yang sangat
berpengaruh dalam tradisi skolastisisme. Ia pernah mengkritik filsuf-filsuf
lain yang dalam pandangannya merupakan kaum padan karena selalu gagal
memahamihikmat yang benar dan patut yang ditemukan dalam wahyu Kristiani. Lihat
Thomas Aquinas, https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas_Aquinas#Filsafat,
diakses pada tanggal 3 Mei 2018.
Terimakasih, apakah tuhan menyuruh iblis menggoda Adam ?
BalasHapusAda yg masih punya bukunya ga..? Saya udh cari kmn mana gak nemu soalnya..
BalasHapus