MENCIPTAKAN TRADISI MEMBACA
Istilah
membaca dalam wilayah komunikasi-sosial boleh jadi sering dikesankan sebagai
suatu kata yang biasa saja, paling tidak di telinga kita masing-masing. Saking
biasanya, adakalanya istilah tersebut terkesan menjadi kurang menarik untuk
dipahami secara mendasar. Bahkan istilah membaca, sering kali digunakan sebatas
slogan saja. Entah oleh pemerintah atau para guru di sekolah.
Padahal, ketika istilah membaca itu
sendiri kurang dipahami secara mendalam oleh kita, maka membaca pun akhirnya
hanya dipandang sebatas untuk kebutuhan sementara saja. Bahkan, tidak sedikit
dipahami sebatas formalitas belaka. Alhasil, kegiatan membaca pun menjadi
semakin kehilangan makna paling hakikinya.
Oleh: MI’RAJ DODI KURNIAWAN
Sumber: sf.co.ua |
Membaca dengan demikian menjadi sesuatu
yang dianggap kurang populer. Bahkan tidak sedikit orang memandangnya sebagai
kegiatan yang sia-sia. Dalam istilah lainnya, boleh jadi kegiatan membaca
dipersepsikan sebagai suatu kebiasaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang
yang tidak ada kerjaan alias penganguran.
Sementara kalau coba mengilas balik
sejarah turunnya Al-Qur’an, yang disampaikan Tuhan melalui Muhammad SAW
sendiri, sebenarnya diawali oleh bunyi ayat “iqro”. Dalam struktur bahasa,
istilah “iqro” termasuk ke dalam kata perintah, yang artinya “bacalah!”. Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah, kenapa Tuhan mengawali firman-Nya di
Al-Qur’an dengan istilah “iqro” atau “bacalah!”. Sudah barang tentu, tersimpan
makna atau hikmah yang menentukan dari itu semua.
Sebagai kumpulan ayat-ayat Firman Tuhan,
kehadiran Al-Qur’an tentu saja diharapkan dapat dibaca ummat manusia. Sehingga
menjadi sesuatu yang logis, bila akhirnya perintah untuk membaca pun menjadi
tugas pertama bagi seluruh ummat manusia. Tanpa ada perintah untuk membacanya,
Al-Qur’an tentu saja menjadi tidak berguna. Karena kitab suci itu diberikan
kepada manusia, untuk dibaca.
Dengan demikian, membaca menjadi penting
artinya sebagai alat atau metode untuk mengetahui pelbagai realitas. Tanpa
membaca, ummat manusia akan berada dalam ketidak-tahuan. Sementara
ketidak-tahuan akan berefek pada tidak adanya kesadaran. Sementara orang yang
tidak sadar, akan berada dalam ketidak-jelasan pandangan, sikap dan prilaku.
Alhasil, dirinya menjadi sulit untuk berkembang, memperbaiki dan mencari solusi
dari segala permasalahan hidup.
Sejarah perjalanan ummat manusia di
dunia memiliki akar historis yang panjang. Dan sejarah telah membuktikan
sendiri bahwa kepintaran itu tidak hadir dengan sendirinya. Di sini, ikhtiar
yang serius dan jujur dari ummat manusia sangat dibutuhkan. Karena itu, Tuhan
pun dalam memberi pahala (reward) dan siksa (punishment)
disandarkan pada niat atau pengetahuan si pelakunya. Artinya, Tuhan senantiasa
melihat proses manusia, tidak semata-mata hasil.
Demikian halnya dengan kehidupan di
dunia. Perintah Tuhan dalam Al-Qur’an itu ternyata menemukan relevansinya dalam
kehidupan kita. Relevansi itu dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teoritis, orang cerdas adalah yang mampu menemukan solusi dari setiap
permasalahan. Sementara itu, kecerdasan sendiri merupakan sinonim dari istilah
berpengetahuan. Lalu, yang menjadi persoalan adalah bagaimana caranya agar
manusia dapat menjadi berpengetahuan?
Membaca dan Berpengetahuan
Tidak ada jalan lain untuk menuju jalan
berpengetahuan, kecuali dengan menyerap pelbagai informasi. Dan kegiatan ini,
disebut dengan istilah membaca, yang selaras dengan perintah Tuhan yang
berbunyi “Iqro” atau “bacalah!”. Istilah membaca, dapat diartikan secara
bermacam-macam dalam segi bentuknya secara komprehensif.
Dalam pengertian, bisa dicontohkan
dengan membaca teks-teks tertulis dalam bentuk buku, artikel, atau koran.
Bahkan dalam arti luasnya, bisa jadi membaca segala sesuatu yang ada di alam
ini, seperti membaca diri-sendiri, manusia lain, gunung, air, tanah, binatang,
tumbuh-tumbuhan, sejarah manusia, dan sebagainya.
Kalau saja kegiatan membaca di atas dilakukan dengan
sepenuh hati, maka keniscayaanlah untuk menjadikan kita berpengetahuan.
Imbasnya, pengetahuan itu, lambat-laun akan menggiring kita pada sebuah
kesadaran. Minimal, kesadaran tentang keadaan, fungsi dan bagaimana
memperlakukan tentang sesuatu yang kita baca.
Dengan membaca diri, minimal kita tengah
berikhtiar untuk belajar mengenal diri sendiri. Hal ini senada dengan pepatah
Yunani yang berbunyi “gnothi-seathon” (kenalilah dirimu). Sebab, dengan
membaca diri, manusia setahap demi setahap akan mulai mengenal siapa dirinya
sesungguhnya. Ketika sudah mengenal diri, manusia pun akan mudah untuk
menguasai atau mengontrol dirinya sendiri.
Akan tetapi, kegiatan membaca di atas,
jelas hanya berada pada konteks internal manusia saja. Akan sangat berbeda
halnya dengan membaca segala sesuatu yang berada di luar diri (eksternal).
Beberapa contohnya adalah membaca apa yang ada di alam sekitar serta sejarah
ummat manusia di sepanjang masa.
Bila ini dilakukan, bermacam realitas, sebab-sebab
terjadinya permasalahan, serta jalan keluar (solusi) pun akan mudah ditemukan.
Kebahagiaan dan kedamaian dengan demikian menjadi konsekuensi logis. Kegelapan
berfikir sebagai cermin adanya kebingungan, lambat namun pasti mulai
tergantikan.
Kondisi diri yang tercerahkan (raushan-fikr)
serta dunia yang penuh kebahagiaan dan kedamaian jelas menjadi keinginan firah
manusia. Barangkali pantas juga kalau hal itu disebut sebagai visi seluruh
ummat manusia dari zaman dulu hingga sekarang. Akan tetapi, adanya visi atau
tujuan saja ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah. Selain itu kita
membutuhkan cara atau metode untuk mencapainya.
Akhirnya, keinginan itu pun mesti
ditindak-lanjuti oleh ikhtiar yang dilakukan secara bertahap. Sementara sebelum
melakukan ikhtiar, hadirnya pengetahuan mengenai apa yang tengah kita lakukan
menjadi syarat awal bagi efektifnya ikhtiar tersebut. Sehingga lagi-lagi,
kegiatan untuk berpengetahuan pun menjadi mutlak sifatnya. Karena itu, kegiatan
membaca sebagai cara untuk berpengetahuan menjadi langkah awal yang mesti
dilakukan untuk mecapai visi kedamaian dan kebahagiaan.
Dalam wilayah individual, ikhtiar
membaca memang dilakukan oleh setiap pribadi. Tapi, itu tidak akan cukup
mempermudah setiap pribadi untuk sampai pada kedamaian dan kebahagiaan. Karena
di samping adanya masalah pribadi, juga hadir masalah sosial, yang sifatnya
lebih kompleks dan menyangkut individu-individu yang lainnya, yang tentu saja
memiliki karekater yang beragam.
Dengan demikian, kegiatan membaca harus
dilakukan oleh kita semua. Bila dilakukan oleh semua kalangan dengan konsisten,
maka hal itu akan membentuk kebiasaan. Saat itulah membaca mulai menjadi tradisi.
Masyarakat yang berpengetahuan pun imbas dari membaca menjadi suatu
keniscayaan. Alhasil, pengetahuan yang diibaratkan sebagai cahaya (nur)
itu akan menerangi kita dari gelapnya masalah dunia.
Dalam tataran praktis, langkah awal yang
harus kita lakukan semenjak sekarang adalah berperan menjadi para pencetus (triggers)
kegiatan membaca. Pelan tapi pasti, tradisi membaca akan menjadi nyata dan
akhirnya kedamaian dan kebahagiaan pun akan terwujud dengan sendirinya sebagai
sebuah akibat. Mulai dari diri sendiri, lalu berpengaruh terhadap keluarga,
teman, masyarakat dan bangsa.
Dalam prakteknya, tentu saja ada masalah
dan batu-sandungan yang tidak mudah untuk dilalui. Dan masalah ini terutama
akan terkait-erat dengan konsepsi berfikir masing-masing yang boleh jadi telah
membatu dalam memandang arti membaca. Wajar sekali memang, karena bukankah
segala bentuk perilaku itu muncul dari cara berfikir masing-masing individu
tadi.
Dengan demikian, kebiasaan membaca sudah
barang tentu melebihi ritual gerak semata. Yang tidak kalah pentingnya adalah
makna dari membaca itu sendiri. Karena kalau sekedar dipahami sebatas ritual
gerak, boleh jadi kegiatan membaca pun akan sama nilainya dengan melamum,
nonton, dan sebagainya.
Sudah barang tentu, membaca seperti yang
telah diperintahkan Tuhan melalui istilah ‘iqro’ tersebut lebih dari sekedar
ritual seperti itu. Di dalamnya sudah barang tentu menyimpan makna tersirat (implisit)
yang dijadikan semacam jembatan atau metode agar manusia memahami dunianya.
Membaca, dengan demikian merupakan kerja
aktif yang dilakukan manusia untuk menjadi berpengetahuan. Dari kegiatan
inilah, kita dapat mengumpulkan dan mengelola berbagai informasi sebagai
landasan (reference) untuk menyongsong kehidupan di alam ini.
Jelaslah sudah, bahwa membaca adalah
kata kunci (key-word) untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Akan
tetapi, tidak tepat juga bila membaca dimaknai sebagai tujuan hidup yang hakiki
itu. Membaca adalah cara atau metode laiknya jembatan yang akan memudahkan
setiap langkah kita guna mencapai pencerahan (enlightenment).
situs yg mendidik dan mencerdaskan
BalasHapusBagaimana cara mengirimkan tulisan saya di filsapedia.?
BalasHapusKirim tulisanmu ke email: filsapedia@gmail.com
Hapus