Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 4) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (1)
Sejak periode modern, pertahanan
bangsa Iran menjadi saling terkait dengan Islam dan Syiah. Masuknya kaum ulama
ke arena politik dimulai dengan fatwa Ayatullah Shirazi. Pada tahun 1891, ia
melarang penggunaan tembakau selama monopoli yang diberikan kepada sebuah
perusahaan Inggris tidak dicabut. Pada tahun 1906, mayoritas ulama tinggi
mendukung gerakan konstitusionalis Iran. Inilah yang dikenal dengan revolusi
konstitusional.[1]
Jejak Revolusi Iran - Stringer, Sumber: cnn Indonesia |
Terdapat dua kasus menonjol, dimana Ulama kemudian
berhasil menentang pemerintahan. Para Syah, dalam rangka membiayai impor-impor
dari Eropa dan perjalanan mereka ke sana, memberi konsesi-konsesi kepada Eropa seperti, memperoleh hak memungut pajak tertentu pada pembayaran
sejumlah upeti kepada Syah. Pada 1872 suatu konsesi berjangkauan luas diberikan
kepada seorang warga negara Inggris, Baron de Reuter, yang secara khusus
memberi pengaruh merugikan kepada para pedagang pasar. Para pedagang tersebut
bersama ulama berupaya membuat konsesi itu dibatalkan.[2]
Kejadian senada terjadi pada 1891,
ketika hak monopoli tembakau (untuk pemasaran tembakau yang tumbuh di Iran)
diberikan kepada seorang warga negara Inggris lainnya. Pada peristiwa ini,
“sumber taklid” dimasa itu, Ayatullah Syirazi, mengemukakan sutau fatwa bahwa
dalam situasi dewasa ini haram bagi kaum muslimin memakai tembakau atau
terlibat di dalamnya; dan fatwa ini sangat dipatuhi masyarakat pada umumnya sehingga
monopoli dibatalkan. Ulama juga memainkan peran dalam suatu gerakan
konstitusional pada 1905 hingga 1911, tetapi mereka menurut Montgomery Watt
bukanlah satu-satunya unsur penentu dan barangkali bukan yang terpenting.[3]
Namun, sikap para ulama Iran yang memiliki pendirian tegas dan keras untuk
mendukung gerakan ini, sehingga menimbulkan revolusi 1966 menurut Hamid Enayat
merupakan ciri khas tersendiri yang tidak terdapat di negara lain.[4]
Berkuasanya Reza Khan sebagai
perdana menteri Iran pada tahun 1921, dan kemudian sebagai Reza Syah di
masa penggulingan dinasti Qajar pada 1924, telah menimbulkan suatu kemerosotan parah dalam kekuasaan lembaga keagamaan. Saat itulah bermula pembaruan
tidak lebih dari impor kenikmatan dan kemewahan Barat untuk kaum berada dan
sedikit sekali yang dilakukan untuk membangun negeri. Sebagian terbesar hal ini
disebabkan oleh persaingan Inggris dan Rusia untuk mengendalikan Iran. Pada tahun 1907 kedua negara tersebut mengadakan suatu kesepakatan yang
menetapkan bahwa sepertiga daerah lainnya di bagian tengah terbuka untuk
keduanya. Namun kesepakatan ini telah cukup bagi keduanya untuk tetap
membiarkan sebagian besar negeri Iran tidak berkembang. Dengan demikian terbuka
peluang yang luas bagi Reza Syah untuk memacu pembaruan, dan ia memulainya
secara bersemangat. Tipe pendidikan Barat didorong; hukum-hukum baru yang tidak
berpijak pada syariah diundangkan dan pengadilan-pengadilan baru didirikan
untuk mengelola hukum-hukum tersebut oleh dinasti Pahlevi.[5]
Reza Syah jelas sangat mengetahui
kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal Attaturk di Turki dan langkah-langkah yang
ditempuhnya untuk membuat negeri tersebut menjadi negara sekuler serta melumpuhkan
lembaga keagamaan dalam rangka memudahkan proses pembaruan. Pilihan nama
Pahlevi sebagai nama dinasti memperlihatkan hasrat untuk mengagungkan masa lalu
Iran pra-Islam dengan mengorbankan Islam. Pengagungan masa lalu berjalan dan
bahkan lebih bersemangat di bawah pemerintahan anaknya, Mohammad Reza Syah, dan
mencapai titik puncak pada perayaan akbar ulang tahun ke-2500 monarki Iran
1971. Secara wajar hal ini juga dipandang lembaga keagamaan dan kebanyakan
Muslim lainnya sebagai suatu serangan terhadap Islam.[6]
Dampak sosial yang lebih luas dari
program modernisasi Muhammad Reza Pahlevi pembaruan pendidikan, kesehatan dan
pertanian. Akan tetapi manfaatnya tidak proporsional bagi kelompok kecil urban
modern yang sedang berkembang. John L. Esposito menyebutkan situasi Iran dengan
dramatis:
“Cahaya dan kemilau kota-kota modern
menutupi kondisi aktual kaum urban yang miskin dan masyarakat desa di Iran.
Sementara kelompok minoritas merasakan kesejahteraan. Negara yang tadinya
merupakan negara pertanian yang bersifat swasembada, kini membelanjakan lebih
satu milyar dolar untuk barang-barang impor. Orang berdatangan ke kota-kota
besar dari desa-desa, mengharapkan kehidupan yang lebih baik tanpa mempunyai
keterampilan kerja yang diperlukan. Mereka menjadi penduduk pengangguran yang
menghuni daerah-daerah kumuh yang padat. Baik para pedagang tradisional (bazari) maupun
kelompok keagamaan menderita karena program modernisasi Pahlevi yang
berorientasikan Barat, yang mempengaruhi kehidupan mereka mulai pakaian,
pendidikan, dan hukum sampai ke perdangangan dan land reform. Kaum
bazari, seperti kaum ulama, melihat ketergantungan Iran kepada Barat sebagai
suatu ancaman terhadap status, kepentingan ekonomi, dan nilai-nilai
religio-kultural mereka. Peraturan Reza Syah pada tahun 20-an dan 30-an, yang
telah memerintahkan pakaian Barat bagi laki-laki, melarang penggunaan cadar,
dan membatasi penggunaan jubah, kini di bawah puteranya ditambah dengan
westernisasi kaum elit modern Iran dan banyak pusat urban. Kekuasaan dan
kekayaan para pedagang terancam oleh arus bank-bank dan perusahaan Barat serta
kelas wiraswastawan baru yang timbul dan berkembang dengan bantuan negara.” [7]
[1] Revolusi
konstitusional merupakan
desakan agar melakukan perubahan
konstitusi (UUD) Iran. Hal tersebut
terjadi disebabkan
adanya gagasan tentang tata negara dan
pemerintahan harus didasarkan kepada UUD yang menjamin hak-hak dan martabat
warga dan membatasi wewenang kepala negara (pemerintah). Gerakan tersebut memuncak pada 1905-1906 dan berhasil
memaksa Syah menerima UUD yang menciptakan sistem parlementer. UUD ini menggabungkan dua tradisi berbeda:
mengambil UUD revolusi Perancis sebagai model, dan menyatakan Islam sebagai
agama resmi, mewajibkan penerapan syariat, dan menciptakan sebuah majelis untuk
menilai kesesuaian undang-undang baru dengan syariat.
[2] Protes
dan perlawanan terhadap rezim dan tata negara yang mapan dengan merujuk kepada
Islam adalah gejala yang tampak
dibanyak negara, utamanya
dalam bentuk berbagai gerakan yang lazim dicap sebagai “fundamentalis” atau
“islamis” pada periode dasawarsa terakhir. Salah satu ciri khas perlawanan
tersebut di Iran adalah peran lembaga ulama, sedangkan gerakan perlawanan
seperti itu di negara lain biasanya dilakukan oleh orang awam atau bukan ulama.
Lihat Seyyed Hossein Nasr. ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. (Bandung:
Mizan, 2003), hlm 29.
0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 4) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (1)"
Posting Komentar