Ibnu Bajjah - Cahaya dari Saragosa
“Seorang hafidz Qur’an,
Ilmuwan yang multi talenta dan lihai dalam berpolitik, membuatnya mampu
menerangi jalan ilmu pengetahuan di dunia Barat.”
Sumber : republika |
Oleh : Dodi
Iqbal Christian
Islam mulai
masuk ke Andalusia (Spanyol) pada permulaan abad ke 8 M. Kemunculan Islam
membuka cakrawala baru dalam sejarah Islam. Kurang lebih dalam rentang waktu
tujuh abad, umat Islam di Andalusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Berbagai macam disiplin ilmu berkembang secara
pesat dimasa itu. Hal tersebut ditandai dengan munculnya figur-figur ilmuwan
yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Hasil pemikiran mereka menjadi
rujukan para akademisi, baik dikalangan akademisi Barat maupun kalangan
akademisi Timur.
Peradaban yang
bergerak maju begitu pesat tersebut, berimbas pada bangkitnya Renaisans di
dunia Barat pada abad pertengahan.[1]
Dalam bentangan sejarah, Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran budaya
yang sangat brilian. Ia menjadi jembatan penyebrangan yang dilalui ilmu
pengetahuan Yunani dengan Arab ke Eropa pada abad ke 12. Minat untuk
mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke 19
selama pemerintahan Banu Umayyah ke 5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Al-Hakam berinisiatif untuk mengimpor karya filosofis dan ilmiah dari Timur
salam jumlah yang besar, sehingga perpustakaan Cordova beserta
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad yang pada saat itu merupakan
pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Tokoh utama dalam sejarah filsafat
Andalusia adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, atau yang lebih dikenal
dengan nama Ibn Bajjah.[2]
Avempac, seperti
itulah ilmuwan barat biasa memanggil namanya,[3]
seorang filsuf muslim pertama di dunia barat, dan juga ilmuwan terkemuka pada
era kejayaan Islam di Spanyol.[4]
Manusia yang multi talenta ini bukan hanya seorang filosof an sich,[5]
tetapi juga ahli dalam bidang astronomi, matematika, fisika, kedokteran, sastra,
botani, filsafat, logika, musik dan sastra. [6] Ia muncul pada tiga atau empat
dasawarsa pertama abad ke-12 di Andalusia (Spanyol). Dikenal dengan julukan Ibnul – Shaigh (anak emas).
Terlahir dengan
nama Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shaigh at-Tujibi bin Bajjah, sang
ilmuwan agung dari Saragosa, Spanyol
pada tahun 1082 M.[7] Ia
menempa diri dengan pengetahuan dalam bidang sastra di kota tersebut, sehingga
membuat kemampuannya menjadi sangat mumpuni dalam hal sastra. Namanya meroket
saat ia merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat nan indah mendapatkan
apresiasi dalam kemenangan kompetisi puisi bergengsi yang mencatatkan namanya
sebagai seorang sastrawan hebat dimasa itu.
Kepandaiannya
merangkai kata-kata juga sebanding dengan kepiawaiannya bermain musik, ilmuwan
penyuka alat musik gambus ini merupakan seorang yang hafal al-Quran. Tidak ada
orang yang meragukan keindahan kata-katanya ketika berpuisi, alunan musiknya
menggugah energi tersendiri di dalam jiwa.
Manusia multi
talenta ini rupanya seorang yang lihai dalam berpolitik, kemampuan dan
kehebatannya berpolitik menarik perhatian Gubernur Saragosa, Abu Bakar ibn
Ibrahim ibn Tifalwit, yang kemudian mengangkatnya sebagai menteri saat Abu
Bakar Ibrahim ibn Tifalwit berkuasa di Saragosa. Namun Saragosa berhasil jatuh
ditangan Raja Alphonso I dari Aragon ditahun 1118 M. Peristiwa ini mengharuskan
sang ilmuwan berpindah ke tempat lain yaitu Sevile. Kecintaannya terhadap ilmu
pun ia bawa serta kemanapun kaki melangkah. Di sevile, Ibnu Bajjah aktif dalam
menulis banyak buku, terutama mengenai ilmu logika. Selain itu Bajjah juga
menolong orang-orang sakit dengan ilmu pengobatan yang ia miliki.
Semenjak
Saragosa beralih kekuasaan, Ibnu Bajjah memulai kisah pengembaraannya, dimulai
dari Sevile, kemudian Granada, dan berlanjut ke Afrika Utara. Dari berbagai
tempat ia kemudian memahami bagaimana sebagian masyarakat memperlakukan ilmu
pengetahuan secara berbeda-beda, terlebih saat ia ditangkap di kota Syatibah,
Afrika. Amir Abu Ishak Ibrahim ibn Yusuf ibn
Tasfin menuduh bahwa Ibnu Bajjah telah melakukan berbagai macam
perbuatan dan pemikiran bid’ah sehingga menjadi murtad. Hal ini menyebabkan
sang ilmuwan merasakan dinginnya ruang tahanan. Namun hal ini tidak berlangsung
telalu lama, seorang muridnya bernama Ibn Rusyd berhasil membebaskan Ibnu
Bajjah. [8]
Sadar bahwa
dirinya tidak memiliki tempat di Afrika, maka Ibnu Bajjah melanjutkan
pengembaraannya ke kota Fez di Maroko. Di kota ini, ilmu dan kepiawaiannya
dalam berpolitik kembali dilirik oleh sang penguasa, yaitu Abu Bakar ibn Yusuf
ibn Tahfin. Ibnu Bajjah kemudian diangkat sebagai seorang Wazir[9],
ia menjabat sebagai Wazir selama 20 tahun.
Kecemerlangannya
dalam karir politik juga berbanding lurus dengan keahliannya dalam bidang
filsafat. Kehebatannya yang setara dengan al-Farabi dan Aristoteles, mampu
mempengaruhi pemikiran Albertus Magnus dan Ibnu Rusyd. Konsep mengenai ‘makhluk
sosial’ telah ia cetuskan jauh sebelum para sarjana barat merumuskannya. Pada
abad ke-11 ia telah menguraikan secara detail mengenai masyarakat madani.
Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan, mengantarkannya ketempat yang tinggi dalam tatanan
sosial masyarakat. Bukan hal yang aneh ketika ada segelintir orang yang mulai
iri atas pencapaiannya dalam berbagai bidang. Sama-sama berprofesi sebagai
dokter, teman Ibnu Bajjah merasa iri terhadap kejeniusannya, juga merasa
dirinya tersingkir dan kalah dalam perjalanan karirnya. Hingga pada tahun 1138
M, Ibnu Bajah meninggal dengan cara diracun oleh kawannya tersebut. [10]
Kematiannya yang
terlalu cepat itu, membuat beberapa karyanya menjadi tidak lengkap.[11]
Namun demikian, ia telah mampu menjadi seorang muslim yang menjadi cahaya
penerang jalan di dunia Barat.
[1] Dedi Supriadi, Pengantar
Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan ajarannya), Bandung: Pustaka Setia,
2009 hlm 119-120.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 101-102.
[3] Op Cit, hlm.197.
[4] A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2009, hlm 225.
[5] Sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara harfiah memilik arti
“Pada dirinya sendiri”, “pada hakekatnya”. An
sich dapat dijelaskan sebagai semua objek yang kita kenal yang berada di
luar tubuh kita. Objek-objek tersebut hadir kedalam kesadaran kita melalui
panca indra. Id.wikipedia.org/wiki/an_sich, diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
[6] Id.wikipedia.org/wiki.ibnu_bajjah, diakses pada tanggal 18 Maret 2018.
[7] ibid
[8] Dedi Supriadi, Pengantar
Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan ajarannya), Bandung: Pustaka Setia,
2009 Hlm. 197-198
[9] Wazir atau dalam bahasa inggris vizier, adalah seorang penasihat atau
menteri politik dan/atau keagamaan, memiliki kedudukan tinggi yang biasanya
ditemui pada sistem monarki Islam.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:
Filosof dan Filsafatnya, hlm 186
[11] Id.wikipedia.org/wiki.ibnu_bajjah, diakses pada tanggal 18 Maret 2018.
0 Response to "Ibnu Bajjah - Cahaya dari Saragosa"
Posting Komentar