Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 7) - Intelektualitas
Telah di akui, bahwa Persia merupakan salah satu
mercusuar peradaban dunia pra Islam, disamping Yunani, Mesir,
India, dan Romawi. Tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas sebuah perdaban
maju, telah mewarnai masyarakat Persia sehingga saat Islam menjadi agama yang
mendominasi di wilayahnya, tradisi keilmuan tersebut tetap terjaga dengan baik.
Bahkan, dapat dikatakan, mayoritas intelektual Islam klasik adalah bangsa non
Arab yakni Persia.
Tusi, Sumber: maydan |
Jika kita telusuri, perkembangan
matang keilmuan Islam di tangan bangsa Persia, selain memang penghargaan mereka
terhadap ilmu pengetahuan, adalah daya tarik Islam yang mengedepankan nalar dan
pemikiran dengan seabrek argumentasi-argumentasi untuk membuktikan
doktrin-doktrinya. Sifat elastisitas namun penuh filter dari ajaran Islam,
tidak menafikan pentingnya ilmu pengetahuan, bahkan dengan kreatifitas yang
maju, para pemikir Islam telah berhasil memberikan sintesa besar antara nalar
dan wahyu yang dalam tradisi-tradisi agama lain, selalu dipandang saling
berseberangan. Untuk itu, jika di urut secara kronologis, perkembangan dan
kemajuan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan, sulit diidentifikasi dimana
puncak kejayaanya. Karena, bagaikan air ia terus mengalir dan senantiasa
memperbaharui dirinya dari masa ke masa agar tetap urgen dan tidak ketinggalan
zaman.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
tradisi keilmuan tidak pernah sirna di dunia Islam, terutama di Persia (Iran)
hingga kini, di mana beragam disiplin ilmu-ilmu kebanggan Islam yang bersifat
akliah maupun naqliyah mendapat tempat yang semestinya. Ini membuktikan bahwa
usaha ijtihadis tidak pernah tertutup.
Dalam filsafat misalnya, nalar yang
sering di tuduh sesat dan tidak agamis ini pasca serangan al-Ghazali, tetap
mendapat tempat di Persia, bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa, sehingga
bagi sebagian peneliti filsafat yang khas Islami justru baru berkembang
beberapa abad kemudian di mana para pemikir Syiah menjadi pelopor utamanya.[1]
Diantaranya adalah Suhrawardi (1153-1191 M) yang berhasil membangun aliran baru
dalam filsafat yang dikenal dengan Hikmah Isyraqiyah (Illuminatif);
kemudian al-Thusi (1201-1274 M), pemikir besar syiah, yang mengkaji nalar
filosofis aliran masyaiyyah (Parepatetik) cetusan Abu Ali ibn Sina
(980-1037 M). Pada abad yang sama, di wilayah Barat, tepatnya Andalusia, nalar
‘irfani (gnosis) dirumuskan secara kreatif oleh Ibn ‘Arabi
(1165-1240 M). Dan puncaknya pada sintesa orisinil dari pemikiran besar sang
filosof agung Mulla Sadra (979-1050 H/1572-1640 M),[2]
yang mencetuskan tradisi filosofis baru yang hingga kini mewarnai dan menjadi
anutan resmi filsafat di Persia yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah (Teosofi
Transenden). Atas usahanya tersebut, beliau mendapat gelar Shadr
al-Muta’allihin yang berarti Sang Pemimpin Filosof Ketuhanan.
Al-Ghazali - The Alchemy of Happiness Sumber: riding the spiral |
Hikmah Muta’aliyah ini terus disosialisasikan dan
dikembangkan oleh para murid Mulla Sadra yang tersebar di berbagai kota,
seperti Mulla Muhsin Faidz Kasyani (1007-1091 H), Mulla Abdul Razaq Lahiji (w.
1071 H), Muhammad bin ‘Ali Ridho bin Agha Jhani, dan Mulla Husayn Tankobani (w.
1105 H). Berikutnya adalah Qadhi Said Al-Qommi (w. 1090 H) dan Agha Muhammad
Beyd Abadi (w. 1097 H). Menariknya, karena serangan dari beberapa ulama
ortodoks terhadap nalar filosofis, para filosof ini kemudian juga mendalami ilmu-ilmu
syariat seperti hadits, tafsir, fiqih dan kalam, serta memberikan dasar-dasar
pijakan yang kuat bagi pengkajian kalam dari ilmu-ilmu tersebut.[3]
Meskipun memiliki perjalanan
panjang, tradisi filsafat Islam di Persia ini, mengalami perkembangan pesat
pada saat Dinasti Safawid memerintah (1502 M-1722 M). Aneka aliran pemikiran
berkembang dan berpusat di Isfahan sehingga dikenal sebagai mazhab Isfahan,
dengan tokohnya adalah Mir Damad (w. 1041 H/1631 M) dan Mir Findiriski (w. 1050
H/1641 M).[4]
Inilah cikal bakal, untuk timbulnya suatu sintesa filosofis besar yang
dicetuskan Mulla Sadra. Syaifan Nur menyimpulkan dengan menulis :
“Pemikiran filosofis dalam Islam
tidak pernah mengalami dekadensi dan membeku setelah invansi mongol. Sampai
periode Safawid, kreatifitas intelektual Islam mengalami perkembangan yang
begitu pesat dan mencapai kematangannya di kalangan orang-orang Syiah Persia.
Pada batas waktu tertentu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jenis filsafat
yang khas Islami justru baru berkembang setelah Ibn Rusyd, bukan sebelumnya.”[5]
Begitu pula dengan pemikiran Kalam,
yang telah ditegakkan fondasinya Imam-imam Syiah, dilanjutkan oleh
perawi-perawi hadits mereka seperti al-Kulaini, juga terus dikembangkan secara
signifikan oleh Nashiruddin at-Thusi (1201-1274 M), ‘Allamah al-Hilli
(1250-1325 M), Ibnu Babawaih al-Qummi, dan pemikir lainnya.
Setelah peralihan dari Dinasti
Safawid kepada Dinasti Qajar, seorang filosof yang cukup terkenal, Mulla
Muhammad Shadiq Ardistani (w. 1134/1721 M) dan muridnya Mulla Hamzah Ghilani
(w. 1134 H) menjadi jembatan emas keberlanjutan tradisi keilmuan di Persia.
Terutama, saat Ardistani diasingkan dan berlindung di Qum.[6]
Selanjutnya, beberapa filosof besar
tercatat sebagai pewaris intelektual Persia, diantaranya Mulla Isma’il Khajui
(w. 1173 H/1760 M) di Isfahan, Mulla Ali Nuri (w. 1246 H/1830 M) di Qazwin dan
Isfahan, Mulla Ali Zunuzi (w. 1307 H/1890 M) di Teheran, dan tentu saja Mulla
Hadi Sabzawari (w. 1878 M) di Kirman dan Masyhad.[7]
Sejak Dinasti Qajar berkuasa
(1786-1925 M), tradisi tersebut tetap dan terus berkembang. Teheran secara
bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat. Sejumlah guru besar terkenal
muncul dan menghiasi dunia pemikiran Islam seperti Mahdi Naraqi, Mulla Muhammad
Kazhim Khorasani, Mulla Muhammad Kazhim Sabzewari, Mulla Muhammad Reza Sabzewari,
Mulla Muhammad Shadiq Shabagh Sabzewari, Syekh Ali Fadhil Tibti, Mulla Muhammad
Shadiq Hakim, Mirza Hakim Abbas Darabi, Mirza Muhammad Yazdi, Mulla Ghulam
Husein, dan banyak lagi tokoh lainnya. Di akhir priode Dinasti Qajar hingga
Dinasti Pahlevi berkuasa pada tahun 1925 M, kita juga mengenal sederetan
pemikir besar yang antara lain seperti Mirza Mahdi Asytiyani (1306-1372 H),
Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar (1305-1394 H), dan Sayyid Abul Hasan Qazwini (w.
1394 H/1975 M).[8]
Dengan seabrek fakta ini, Seyyed
Hossein Nasr meyimpulkan dengan tegas bahwa tradisi keilmuan kaum muslimin
tetap terjaga dan bertahan sejak masa klasik hingga kini. Tidak ada bukti kuat
bahwa tradisi intelektual Islam tersebut pernah vakum secara keseluruhan di
dunia Muslim, meskipun harus diakui terjadi pasang surut perkembangan di
beberapa wilayah kekuasaan Islam.[9]
Meskipun begitu, harus diakui bahwa
perkembangan ilmu-ilmu Islam mengalami pasang surut antara keilmuan syariat
(seperti fiqih dan ushul fiqih) dengan ilmu-ilmu filsafat. Adakalanya nalar
filosofis mendapat tempat tertinggi, tetapi ada masanya pula ia tersingkirkan
dan diganti oleh nalar syariat. Di akhir Dinasti Qajar dan memasuki Dinasti
Pahlevi berkuasa (1925-1979 M), kondisi intelektual di Iran dan Irak lesu dari
pemikiran filsafat dan ‘Irfan, Bahkan para ulama syiah ortodoks
memandang negatif serta menolak pengajaran filsafat di hauzah-hauzah ilmiah,
baik di Iran maupun di Irak. Sebagai gantinya, para ulama syiah memuliakan ilmu
fiqih dan ushul fiqih untuk mencapai gelar mujtahid. [10]
Allamah Thabathaba'i Sumber: hassandeviantart |
Kondisi ini disikapi secara serius
oleh ‘Allamah Thabathaba’i. Ia berjuang keras mengembalikan filsafat
kepada singgasananya. Usaha ini mendapat respon keras dari sebagian ulama,
termasuk Ayatullah Burujerdi, seorang marja taklid yang paling
berpengaruh saat itu. Namun, dengan segala kegigihannya, Allamah Thabthaba'i
berhasil meluluhkan perlawanan mereka dan membuktikan pentingnya kembali di
ajarkan filsafat di hauzah-hauzah ilmiah syiah. Bahkan, kegigihannya
mengajarkan filsafat ini, menjadi alasan kuat mengapa Allamah Thabathabi tidak
menjadi marja’.
Usaha mulia sang Allamah dari Tabriz
ini, tidaklah kosong dari harapan. Sinar keberhasilan mulai tampak dengan
besarnya minat para generasi muda untuk belajar filsafat di samping ilmu-ilmu istinbath
hukum, sehingga generasi pasca Allamah Thabthabai, lahir para ulama-ulama besar
yang bergelar mujtahid atau Ayatullah dalam penyimpulan hukum
Islam, tetapi mahir pula berbicara filsafat dan ‘irfan. Bahkan Jika kita
mengamati dialektika ilmu-ilmu syariat dengan filsafat, maka belakangan ini
terjadi perubahan menarik, bahwa keduanya telah saling isi dan mempengaruhi.
Ilmu ushul fiqh, misalnya, dalam perkembangan terakhir, telah diwarnai oleh
pemikiran filsafat sebagaimana terlihat dari gagasan revolusioner Muhammad
Baqir Shadr dengan karyanya yang berjudul ‘al-Halaqat’. Hal yang sama
pun terjadi pula pada kajian tafsir, yang juga turut diwarnai filsafat dan
gnostik, sebagaimana yang terlihat dari kitab ‘Mizan fi Tafsir al-Quran’
karya ‘Allamah Thabathaba’i.
Selain Allamah Thabathaba'i, tidak
pula bisa dilepaskan peran Imam Khomaini, dalam menyebarkan gagasan-gagasan
filosofis dan irfanis. Menariknya, kajian-kajian filsafat mereka tidak bercorak
sama. Mehdi Ha’iri Yazdi menerangkan bahwa kuliah ‘Allamah Thabathaba’i
cenderung bernuansa rasional. Sedangkan kuliah Imam Khomeini yang cenderung
bernuansa gnostik.[11]
Buah dari usaha tersebut adalah sederetan
tokoh kaliber dunia yang diakui seperti Ayatullah Ali Khamene’i, Ayatullah
Murtadha Muthahhari, Ayatullah Behesyti, Ayatullah Behjat, Ayatullah Montazeri,
Ayatullah Ja’far Subhani, Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Ayatullah Jalaluddin
Asytiyani, Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi, Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah
Fadhel Lankarani, Ayatullah Musawi Ardabeli, Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah
Hasan Zadeh Amoli, Ayatullah Jawadi Amoli, dan banyak lagi lainya. Mereka
inilah yang hingga saat ini menjadi pewaris tradisi keilmuan di Iran.
Menariknya, pada saat ini, kekayaan
tradisi keilmuan Iran juga di masuki oleh pemikiran-pemikiran komparatif
ilmu-ilmu modern dan filsafat Barat. Materialisme, eksistensialisme, marxisme,
positvisme, dan beberapa aliran pemikiran Barat lainnya mulai diulas dan
dikomentari serta dikritisi oleh para mullah ini. Sehingga tidaklah
menjadi asing di tanah Iran untuk mengutarakan pikiran-pikiran seperti Sartre,
Immanuel Kant, Descartes, Charles Darwin, Betrand Russel, Thomas Aquinas,
Fransisco Bacon, bahkan Karl Marx atau Nitszhe, dan lainnya.
Perkembangan ini mempengaruhi
gambaran dan penjabaran pengajaran filsafat di Iran. Ini terlihat dari
penulisan buku-buku yang dijadikan pegangan resmi para pelajar. Menurut Muhsin
Labib, penulisan buku-buku filsafat di Qom pada umumnya mengikuti dua pola.
Pertama, pola tradisional, yang umumnya merupakan buku pelajaran sehingga
kitab tersebut ditulis cukup sistematis dan runtut. Contohnya kitab Bidayatul
Hikmah dan Nihayatul Hikmah maha karya ‘Allamah Thabathaba’i.
Kedua, pola modern, yaitu menulis buku filsafat Islam sekaligus mencoba
membandingkannya dengan filsafat Barat, misalnya kitab Ushul Falsafah Wa
Realism karya ‘Allamah Thabathaba’i dan kitab al-Manhaj al-Jadid karya
Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.[12]
Dengan demikian, pada masa kini,
selain perkembangan fiqih dan ushul fiqih untuk mendidik para calon mujtahid,
maka filsafat pun telah mendapat terhormat dan menjadi bagian pelajaran
penting di seluruh hauzah-hauzah yang tersebar di Iran. Dengan begitu,
setiap pelajar agama di hawzah tidak hanya berpeluang untuk menjadi mujtahid
tetapi juga berpotensi menjadi filosof kawakan.
Untuk lebih jauh mengetahui
bagaimana tradisi keilmuan di Iran, Muhsin Labib memetakan enam corak pemikiran
yang mewarnai Iran.[13]
- Rasionalisme-Tekstualisme. Corak Ini cenderung menjadikan
rasio sebagai dasar pemikiran, yang kemudian mengaitkannya dengan
teks-teks agama sebagai pembenarnya. Tokohnya antara lain Ayatullah
Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari.
- Tekstualisme-Rasionalisme. Corak ini sebaliknya menjadikan
teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat
pendampingnya. Tokohnya adalah Ayatullah Nashir Makarim Syirazi dan
Ayatullah Ja’far Subhani.
- Tekstualisme–Rasionalisme–Teosofisme. Ini merupakan
corak pemikiran yang menggabungkan rasio, teks-teks agama dan ‘irfan.
Tokohnya adalah Ayatullah Jawadi Amuli.
- Teosofisme. Aliran ini mengutamakan ‘irfan dalam
memahami realitas. Tokohnya adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
- Rasionalisme-Modernisme. Pemikiran ini diisi oleh
sejumlah filosof yang terdidik secara modern dan pernah berguru kepada
‘Allamah Thabathaba’i seperti Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi dan Seyyed
Hossein Nasr.
- Neo-Parapatetisme. Ini adalah aliran yang secara
metodologis hampir sama dengan pemikiran Ibn Sina. Sebab, aliran ini sering
mengandalkan deduksi dalam telaahannya. Salah satu tokohnya adalah
Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.[14]
Sedangkan, berkaitan dengan
perkembangan Sadraisme (pengaruh tradisi filsafat Mulla Sadra), pada saat ini
pemikir-pemikir Iran terbagi atas beberapa kelompok. Pertama, kelompok
mediator murni filsafat Mulla Shadra. Kelompok ini hanya mengajarkan dan
menguraikan pandangan Sadra tanpa melakukan penambahan dan kritik. Kelompok ini
seperti Ayatullah Hasan Zadeh Amuli. Kedua, kelompok kritikus
Sadra. Kelompok ini mengkritisi sebagian argumen Mulla Shadra dan sistematika
bukunya, terutama tentang pola pembagian dan pengurutan sub-tema. Filosof yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah Ayatullah Jawadi Amuli. Dan ketiga,
kelompok pembaharu. Yaitu kelompok yang melakukan kritik dan berusaha mengubah
sebagian struktur bangunan filsafat dengan menawarkan sistematika baru dalam
penyajian dan pengajaran filsafat Islam. Kelompok ini dipelopori oleh Ayatullah
Muhammad Taqi Mizbah Yazdi. Meskipun demikian, ketiga kelompok ini
menyepakati tema-tema yang merupakan prinsip utama dalam Mazhab Qum.[15]
Jika kita cermati, salah satu
kelebihan syiah adalah doktrin keterbukaan pintu ijtihad dan keharusan adanya faqih
dalam setiap masa, sehingga membuat komunitas ini senantiasa berusaha dengan
semaksimal mungkin menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung tumbuh
suburnya tradisi keilmuan sebagai sayarat penting melahirkan para faqih dan
ulama-ulama yang mumpuni dalam Islam.
Tamat.
[1] Lihat
Syaifan Nur. Filsafat, h 2; lihat juga Seyyed Hossein Nasr. Pengantar,
h 22; Seyyed Hossein Nasr. Intelektual, h 69-74. Seyyed Hossein Nasr.
Pengantar ke Tradisi, hlm 56;
dan Jalaluddin Rakhmat. Hikmah
Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd, dalam Hasan Bakti Nasution.
Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer. (Bandung:
Citapustaka Media, 2006), xii-xiv.
[2] Beliau
lahir di daerah Fars (Syiraz), Iran
Selatan. Setelah menyelesaikan
studinya di Syiraz dan Isfahan, beliau melakukan latihan ruhani di desa Kahak,
dekat kota Qom. Hasil latihan ruhani tersebut telah melahirkan sebuah sistem
filsafat Islam yang lebih canggih, yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah.
Beliau pun kemudian mengajarkan filsafatnya tersebut di Syiraz, kampung
halamannya hingga wafat pada tahun 1640 M. Filsafatnya merupakan sintesis final
antara Masya’iyah, Isyraqiyah, ‘Irfan, dan Kalam. Pada dasarnya,
ada tiga prinsip utama yang mendasari pemikiran Mulla Shadra, yang dikenal Hikmah
Muta’aliyah ini antara lain: Illuminasi intelektual (kasyf, zauq, atau
isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (aql, burhan, atau
istidlal), dan agama atau wahyu (syar’i atau wahy). Beliau
pun telah berhasil mensintesakan antara ketiga prinsip tersebut. Lihat Syaifan
Nur. Filsafat, hlm
5.
[7] Lebih
nama-nama filosof pewaris intelektual
Persia lihat Muhsin Labib. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. (Jakarta:
Lentera, 2005), hlm 56.
[8] Lihat Muhsin Labib. Filosof, hlm 56. Menurut Seyyed
Hossein Nasr, pada paruh abad ke-20 ini (1950-an), ketertarikan pada filsafat
Sadra kembali mengemuka dan terus berlangsung hingga kini terlebih lagi setelah
masuknya pemikiran asing dan filsafat Barat mewarnai Persia. Lihat juga Seyed Hossein Nasr.
Intelektual, hlm 86.
[9] Lihat Seyyed Hossein Nasr.
Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996); Sayyed Hossein Nasr. Pengantar ke Tradisi Mistis, dalam
Jurnal Al Huda, Vol. II, No. 4, 2001, h 53-59; Seyyed Hossein Nasr.
Pengantar, dalam Mehdi Ha’eri Yazdi. Menghadirkan Cahaya Tuhan;
Epistemologi Illuminasionis dalam Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2003), hlm 21-30; Seyyed Hossein Nasr. Tiga
Mazhab Utama Filsafat Islam. (Yogyakarta: Ircisod, 2005), hlm 103.
0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 7) - Intelektualitas"
Posting Komentar