Ibnu Khaldun - Ilmuwan dan Politikus
Memiliki
nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waiuddin bin Khaldun. Akrab terdengar dengan
sebutan Ibnu Khaldun. Ia lahir Tunisia tanggal 1 Ramadhan 732 H yang bertepatan
dengan tanggal 27 Mei 1333 M. Leluhur Ibn Khaldun berasal dari golongan Arab
Yman di Hadramaut. Kemudian setelah Islam kehilangan kekuasaan di Andalusia,
seluruh keluarganya pindah ke Tunisia.[1]
Ibnu Khaldun dikenal sebagai seorang sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang telah menghafal al-Quran sejak usia dini. Selain sebgai ahli politik Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak ekonomi Islam, sebab pemikirannya mengenai teori ekonomi yang logis dan realistis telah dicetuskan jauh sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Richardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya.[2]
Ibnu Khaldun dikenal sebagai seorang sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang telah menghafal al-Quran sejak usia dini. Selain sebgai ahli politik Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak ekonomi Islam, sebab pemikirannya mengenai teori ekonomi yang logis dan realistis telah dicetuskan jauh sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Richardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya.[2]
Statue d'Ibn Khaldoun kassus. Sumber: fr.wikimedia |
Mengenai
konsep negara, Ibnu Khaldun meyakini sekali, bahwa pada dasarnya
negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama yang merupakan pendiri
negara (the Founding Father) yang
memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. kemudian, dilanjutkan oleh
generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang dibangun oleh generasi
pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan,
kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit
bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat
kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang
selalu mengawasi kelemahannya.[3]
Karena pemikirannya yang brilian Ibnu Khaldun
dipandang sebagai peletak dasar-dasar ilmu sosial dan politik Islam. Dasar
pendidikan al-Quran yang diterapkan oleh ayahnya, sehingga membuat Ibnu Khaldun mengerti
tentang Islam, serta membuatnya giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman.
Sebagai seorang Muslim yang hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi kehebatan al-Quran. Sebagaimana dikatakan
olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan al-Quran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia
Islam. Oleh kerena itu pendidikan al-Quran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat
iman. Dan pengajaran al-Quran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan
ilmu-ilmu yang lain.”[4]
Ketika
berusia remaja, karaya berupa tulisan-tulisan yang dibuat oleh Ibnu Khaldun
sudah menyebar kemana-mana. Tulisan dan pemikirannya tercipta karena studinya
yang sangat dalam melaui pengamatan
terhadap berbagai bentuk masyarakat yang dikenalinya dengan ilmu
pengetahuan yang luas. Ibnu Khaldun juga merupakan seorang pengembara.
Ibnu
Khaldun, pertama kali mendapat perhatian dari dunia Barat pada tahun 1697,
ketika sebuah biografi tentang dirinya muncul di Bibliothèque Orientale Barthélemy d'Herbelot de Molainville. Ibnu
Khaldun mulai mendapatkan perhatian lebih pada tahun 1806, ketika Silvestre de Sacy's Chrestomathie Arabe
memasukkan biografinya bersama dengan terjemahan bagian Muqaddimah sebagai Prolegomena.[5]
Prolegomena muncul selama bertahun-tahun
sampai edisi bahasa Arab yang lengkap diterbitkan pada tahun 1858. Sejak saat
itu, karya Ibnu Khaldun telah dipelajari secara luas di dunia Barat dengan
minat khusus.
Secara
garis besar, kehidupan Ibnu Khaldun terbagi kedalam 4 fase yaitu,
Pertama,
Pertumbuhan dan studinya yang diawali semenjak tahun 732 H hingga 751 H. Ayah Ibnu
Khaldun merupakan guru pertamyanya, hal ini merupakan kebiasaan orang pada
waktu itu. Dalam mempelajari ilmu bahasa, Ibnu Khaldu mempelajarinya dari Abu
al-Qasim Muhammad al-Qashir. Disamping mempelajari ilmu agama, Khaldun juga
mempelajari ilmu Teologi, Filsafat, Matematika, ilmu alam, dan ilmu astronomi.[6]
Geometry enlighten the intellect and sets one's mind right. Sumber: geometry |
Kedua,
Ibnu Khaldun memiliki keterlibatan dalam bidang politik. Kondisi politik pada
masa itu ditandai dengan kemajemukan kerajaan-kerajaan Islam yang membuat dunia
politik dipenuhi dengan intrik. Dalam menghadapi intrikan politik, Khaldun
tidak mengelak. Yang membedakan Khaldun dengan politisi kala itu adalah latar
belakang pendidikannya. Selain terlibat secara penuh dalam dinamika intrik
politik tersebut, ia juga melakukan pengamatan-pengamatan terhadap perilaku
politik kaum elit.[7]
Karir
politik Ibnu Khaldun diawali sebagai seorang tukang stempel surat dalam
pemerintahan Ibnu Tafrakin. Saat Ibnu Tafrakin ditaklukan oleh Abu Zaid dalam
sebuah intrik dan perebutan kekuasaan, Ibnu Khaldun melarikan diri dan kemudian
bekerja sama dengan sultan Abu Inan di Tlemeen sebagai sekertaris. Lalu kemudia
Khaldun melibatkan dirinya kedalam sebuah intrik politik dimana ia bergabung
bersama Amir Abu Abdullah yang berupakan rival dari Sultan Abu Inan, dalam
rangka merebut kekuasaan Sultan Abu Inan. Keterlibatannya ini membuat
malapetaha bagi Khaldun, Ia dipenjara selama dua tahun oleh Sultan Abu Inan
setelah persekongkolan politik itu terungkap dan ditumpas. Setelah kejadian
tersebut, Ibnu Khaldun kemudian mengabdi kepada Abu Salim yang merupakan penguasa
Maroko. Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekertaris dan penasehatnnya.
Kemudian setelah
Abu Salim wafat 1362, Ibnu Khaldun bergabung dengan pemerintahan Muhammad V dari
Granada. Ia menjadikan Ibnu Khaldun seorang Duta Besar. Khaldun pernah
mengemban tugas sebagai utusan Sultan Muhammad V untuk menemui Pedri dari
Castilla, Spanyol. Khaldun juga dipercaya sebagai wakil penuh sang raja, sebab
Ibnu Khaldun bertindak sebagai penandatangan perjanjian perdamaian antara kedua
negara. Karena tidak sepaham dengan sebagain pembesar Granada, Ibnu Khaldun
menerima tawaran Abdullah Muhammad Al-hafsi sebagai perdana menteri. Dalam perjalanan
kariernya, intrik dan pergolakan politik yang tidak kenal henti yang melanda
kerajaan-kerajaan Islam menjadikannya beralih loyalitasnya kepada Abu Abbas,
sepupu Muhammad Al-Hafsi, yang merebut kekuasaan.[8]
Ibn Khaldun and the rise and fall. Sumber: muslimheritage |
Ketiga,
Ibnu Khaldun mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang berlangsung dari tahun
776 H sampai 780 H. Hal ini ia lakukan setelah fase pengabdiannya kepada
kekuasaan dalam berbagai pemerintahan. Nampaknya Ibnu Khaldun merasa lelah
dalam petualangan politiknya dan memutuskan untuk hidup menyendiri guna
menyusun karya-karyanya di benteng Banu Salamah. Dalam masa kontemplasinya yang
relatif singkat ini, Khaldun berhasil menyelesaikan salah satu karya
monumentalnya, Al-Ibar beserta Muqaddimah-nya,[9]
yang bercorak sosiologis, historis, dan filosofis. Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab yang berisikan
tentang persoalan dan pendapat-pendapat teologi, merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa
al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru
besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari mengenai
karya-karya Ibnu Khaldun. Ia mengatakan bahwa, “Tulisan-tulisan sosial dan
sejarah dari Ibnu Khaldun hanyalah satu-satunya dari tradisi intelektual yang
diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa
Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan
yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah atau pendahuluan, merupakan
buku terpenting mengenai ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.[10]
the Muqaddimah. sumber: beopen |
Keempat,
merupakan babak akhir kehidupan Ibnu Khaldun. Pada tahap ini Khaldun menarik
diri dari kehidupan politik. Ia dengan tekun dan serius mengerjakan tugas
intelektualnya. Seluruh karya yang ia hasilkan, diberikan pada penguasa. Meski demikian,
intrik politik tidak selesai menghantamnya, Ibnu Khaldun menjadi sasaran tembak
para elit politik alam lingkar kekuasaan. Pembesar negeri tersebut telah
merusak persahabatannya dengan Abu al-Abbas. Hal inilah kemudian yang membuat
dirinya meninggalkan wilayang kekuasaan itu. Dengan berkamuflase meminta izin
kepada sultan untuk pergi berhaji, Khaldun tidak megarahkan kakinya keMekkah,
namun ke Iskandaria.[11]
Di sini Ibnu Khaldun diterima oleh Sultan Al-Malik Al-Zahir Barquq. Sultan yang
mengagumi pemikiran Ibnu Khaldun kemudian menjadikan dirinya sebagai hakim
agung.
Statue Ibn Khaldoun. Sumber photos.linternaute |
Bukan
hannya Sultan Al-malik Al-Zahir Barquq yang mengagumi pemikiran Ibnu Khaldun,
seorang penakluk dan penguasa baru yang terkenal dalam sejarah kekuasaan
peradaban Islam di Timur Tengah tepatnya di Syiria bernama Timur Lenk, pun
mengagumi pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun, hingga menawari Ibnu Khaldun untuk
bekerja di istananya. Namun sepertinya dalam sisa kehidupannya Ibnu Khaldun
sama sekali menghilangkan nafsu politik dan kekuasaan, dan Khaldun menolak
tawaran tersebut.
Pada
fase akhir kehidupannya, Ia tidak menghiraukan godaan-godaan kekuasaan, bahkan
ia tidak bereaksi sedikitpun terhadap pancingan lawan-lawan politiknya. Khaldun
tetap berkhidmat menjadi seorang ilmuwan dan hakim agung.
[1]
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat,
Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm269
[2]
Id.wikipedia, Ibnu Khaldun, diakses
pada tanggal 13 Maret 2018.
[3]
ibid
[4]
ibid
[5]
Abdullah Enan, Muhammed, Ibn Khaldun: His
Life and Works, dalam id.wikipedia, Ibnu
Khaldun, di akses pada tanggal 13 Maret 2018
[6]
Zainab, Perkembangan Pemikiran Filsafat
Sejarah Ibnu Khaldun, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm 10.
[7]
Dr. Ahmad Syafei Ma’arif, Ibnu Khaldun
dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta, Gema Insani Press, 1996,
hlm 12.
[8]
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibu Khaldun and
Islamic Thougt-style a Social Perspective. Terj. Mansuruddin dan Ahmadie
Thaha, cet II, Ibn Khaldun dan Pola
Pemikiran Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003 hlm 10-11
[9]
Repository Uin Alaudin, Muhliadi, Kekuasaan
dan Legitimasi Politik Menurut Ibnu Khaldun, diakses pada tanggal 13 Maret
2018.
[10]
Id.wikipedia, Ibnu Khaldun, diakses
pada tanggal 13 Maret 2018.
[11]
Zainab, Perkembangan Pemikiran Filsafat
Sejarah Ibnu Khaldun, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm 15-16
0 Response to "Ibnu Khaldun - Ilmuwan dan Politikus"
Posting Komentar