Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 3) - Diplomat Ulung Pecinta Ilmu Pengetahuan
“Sultanah
memajukan ilmu pengetahuan, seni dan budaya di bumi Nusantara. Kecantikannya di
imbangi dengan ilmu agama, diplomat ulung yang baik hatinya, dan seorang yang
dermawan.”
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin, Sumber: Jendela Jelita |
Oleh, Tri Septiani
Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Muda, baru saja
menjanda setelah kematian suami tercinta Sultan Iskandar Tsani. Kemunculannya
sebagai pemimpin merupakan buah dari perhelatan politik yang sarat dengan
intrik dan perdebatan. Didukung oleh sebagian kelompok ulama dan elit
bangsawan, ia maju memimpin menggantikan sang suami tercinta Sultan Iskandar
Tsani. Perjalanan sebagai penguasa Aceh Darussalam ia lewati dengan perdebatan
ideologi berkenan dengan pemimpin perempuan. Aksi-aksi pemberontakkan mulai
bermunculan dari sebagian kalangan elit bangsawan dan ulama yang tidak
menyepakati dirinya sebagai pemimpin. Selain aksi-aksi tersebut, ia juga
menghadapi pengkhianatan yang berusaha menggeser dirinya dari bangku kekuasaan.
Kondisinya diperburuk dengan adanya ancaman eksternal yang datang dari VOC
setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada Januari tahun 1641.[1]
Bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiuddin Tajul
Alam Syah Johan Berdaulat Zillullahi fil Alam binti almarhum Sri Sultan Iskandar
Muda Mahkota Syah Alam, atau lebih dikenal dengan Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin. Dilahirkan tahun 1612 dengan nama Putri Sri Alam.[2]
Kecantikan Sultanah Tajul Alam Safiuddin di imbangi
dengan ilmu agama yang ia pelajari dari Hamzah Fansury, Seri Faqih Zainul
Abidin, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqqiudin Hasan, dan Syekh Safiuddin
Abdulkahhar. Bukan hannya itu, Sultanah pun menguasai 4 bahasa selain bahasa
Ibu, yaitu bahasa Persia, Arab, Spanyol dan Urdu dengan baik. Menguasai hukum
tata negara, sejarah, mantiq, falsafah, tasawuf, dan sastra. Sultanah pandai
dalam membuat syair, dan ia gemar sekali terhadap ilmu pengetahuan.[3]
Seorang pengembara Muslim dari Timur Tengah,
al-Mutawakkil sempat melukiskan kecerdasan dan kesalehan Sultanah. Ia sempat
dijamu ketika berkunjung ke Aceh, “Sultanah seorang Muslimah yang sempurna,
baik hatinya, dan dermawan. Ia pun pandai membaca (kala itu membaca merupakan
keahlian yang tidak umum dikalangan perempuan) serta menguasai ilmu
pengetahuan.[4]
Ilmu pengetahuan merupakan penerang jalan dalam
meniti kehidupan, Sultanah sangat memahami akan hal tersebut. Dimasa pemerintahannya
perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara mencapai pada zaman yang gemilang.
Ditandai dengan adanya kitab-kita ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
seperti tasawuf, filsafat, sejarah, kesusasteraan, dan hukum. Kitab-kitab
tersebut ditulis dengan bahasa Melayu, Aceh, dan Arab. Tidak sampai disitu,
pada masa pemerintahannya, Aceh melahirkan tokoh-tokoh agamawan hebat
diantaranya Abdurrauf as-Singkili yang bergelar Teungku Syiah Kuala.[5]
Nama ini kemudian diabadikan menjadi nama Universitas di Aceh yaitu Universitas
Syiah Kuala.[6] Kemudian nama lainnya
adalah, Syamsuddin as-Sumatrani, Syekh Burhanuddin, Syekh Ismail bin Abdulah,
Syekh Muhammad Daud Baba Rumy yang lebih dikenal dengan nama Teungku Cik
Dileupeu, ulama keturunan Turki yang merupakan murid dari Syekh Abdurrauf Syiah
Kuala, dan lain-lain.[7]
Universitas Syiah Kuala, Sumber: Quipper |
Pada saat berkuasa, kesuksesan Sultanah memajukan ilmu
pengetahuan, seni dan budaya tidak berbanding lurus dengan kesuksesannya dalam
bidang politik, ekonomi dan militer di Aceh. Angkatan tempur Aceh Darussalam
semakin melemah dengan ditandai semakin canggihnya peralatan tempur yang
dimiliki oleh Belanda. Beberapa wilayah kekuasaan Aceh di Malaysia berhasil
diambil alih oleh pihak Belanda. Namun Aceh masih menjadi wilayah yang disegani
oleh pihak Belanda. Meskipun demikian, Belanda tetap menginginkan agar Aceh
lumpuh total. Seakan kehabisan akal, akhirnya Belanda bersekutu dengan
Kesultanan Johor dan menyuruh agar Sultan Johor yaitu Sultan Abdul Djalil
Riayat Syah III mempersunting Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Usaha yang telah
digagas oleh pihak Belanda itu berakhir mentah. Dengan mendapat dukungan dari
berbagai macam lapisan masyarakat Aceh,
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin menolak pinangan Sultan Johor.[8]
Nampak bahwa Sultanah sangat berbeda dengan ayahnya
dalam bidang militer. Sultanah Safiatuddin memang tidak gemar berperang. Namun,
ia menggaransi bahwa kemampuannya berdiplomasi akan mampu melindungi Aceh dari
segala macam ancaman. Hal ini kemudian menjadikan Sultanah sangat aktif
membangun koalisi dan membangun hubungan-hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain.
Portugis, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Turki
Utsmani memiliki catatan sejarahnya masing-masing mengenai pandangan mereka
terhadap Sultanah. Selama 35 tahun masa pemerintahannya,[9]
Sultanah memanfaatkan kemampuan berberdiplomasi yang secara cermat ia kuasai,
sehingga membuatnya berhasil mencegah Aceh dari tekanan kekuatan kolonialis.
Kemampuan berdiplomasi yang mumpuni, tidak serta-merta menutup mati jalan
peperangan. Dalam beberapa kesempatan, Sultanah dengan tegas menurunkan pasukan
militernya dalam peristiwa peperangan di Perak dan pantai barat Sumatra. Dimana
VOC telah melanggar kedaulatan Aceh. Serangan militernya tersebut membuat VOC tidak
berhasil memperoleh pengaruh dan monopoli di Aceh.[10]
Potensi kepemimpinan yang terbilang sejajar dengan
para pendahulunya, Sultanah sukses mengantar Kerajaan Aceh Darusssalam pada
periode kegemilangan yang sempat tenggelam dimasa almarhum suaminya memimpin.
Diplomat ulung yang mengantarkan Aceh menjadi pusat
kemajuan ilmu pengetahuan ini telah
membantu dan mendirikan perpustakaan besar di Aceh kala itu.[11]
wafat pada 23 Oktober 1675.[12]
Usahanya dalam memimpin kerajaan besar dalam sejarah Islam di Nusantara patut
diberikan apresiasi. Nama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin diabadikan menjadi
nama sebuah taman budaya di Banda Aceh.
Tamat.
[1]
Melaka Portugis, Id.wikipedia.org/wiki/melaka_portugis,
diakses pada tanggal 19 Maret 2018.
[2]
Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang
Perkasa, Kabari, 19 Maret 2008,
id.wikipedia.org/wiki/safiatuddin_dari_aceh, diakses pada tanggal 19 Maret
2018.
[3]
Muhammad Noval, Mengenal Sosok Ratu Aceh
Tajul Alam Safiatuddin, History Nusantara, 2017.
[4]
Fitriyan Zamzami, Almutawakkil dalam
Safiatuddin, sang Muslimah Sempurna, Republika, 2017.
[5]
Abdurauf as-Singkili, Id.wikipedia.org/wiki/abdurrauf_as-singkili,
diakses pada tanggal 19 Maret 2018.
[6]
Universitas Syiah Kuala,
id.wikipedia.org/wiki/universitas_syiah_kuala, diakses pada tanggal 19 Maret
2018.
[7]
Muhammad Noval, Mengenal Sosok Ratu Aceh
Tajul Alam Safiatuddin, History Nusantara, 2017.
[8]
ibid
[9]
Safiatuddin dari Aceh,
Id.wiki.org/wiki/safiatuddin_dari_aceh, diakses pada tanggal 19 Maret 2018.
[10]
Hendra Sugiantoro, Putri Seri Alam yang
Menjadi Sultanah, Humaniora, Kompasiana, 2015.
[11]
Kronik Pperempuan-Perempuan Pejuang Aceh
di Kalyanamedia, idwikipedia.org/wiki/safiatuddin_dari_aceh, diakses pada
tanggal 19 Maret 2018.
[12]
Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang
Perkasa, Kabari 19 Maret 2008
0 Response to "Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 3) - Diplomat Ulung Pecinta Ilmu Pengetahuan"
Posting Komentar