Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 2) - Kontroversi Pemimpin Perempuan
“Aceh yang lekat dengan penerapan
hukum-hukum Islam pernah dipimpin oleh sultan perempuan atau sultanah yang adil, tawakal, sabar, bijaksana dan mengasihi kaum fakir miskin”
Safiatuddin, Sumber: Aceh Tourism |
Sultan Iskandar Tsani telah berpulang ke Rahmatullah diusianya yang ke 30 tahun (1641 M),[1] setelah 5 Tahun memimpin rakyat Aceh. Namun sayangnya beliau pergi tanpa meninggalkan ahli waris yang harus menggantikan dirinya memimpin rakyat Aceh.
Pada saat pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, beliau dapat mengambil jalan keluar dari masalah
pengganti kepemimpinannya dengan mengangkat Sultan Iskandar Tsani yang
merupakan menantu beliau sendiri, sehingga dapat meredam gejolak politik yang
terjadi pada saat itu. Setelah wafatnya Sultan Iskandar Tsani, situasi politik
kerajaan Aceh Badrussalam menjadi semakin panas. Banyak protes mulai
bermunculan, diawali dengan pertikaian antar ulama yang kian memanas, pangkal
persoalannya tidak lain adalah mengenai tidak adanya penerus laki-laki untuk
menjadi pengganti Sultan Iskandar Tsani.
Kebuntuan itulah yang
membuat nama Tajul Alam Safiatuddin muncul sebagai alternatif pengganti Sultan
Iskandar Tsani. Perbincangan mengenai Safiatuddin muncul cukup lama dan serius,
penyebabnya adalah kecakapan yang ia miliki dari segi agama dan ilmu
pengetahuuan untuk mengelola negara. Kecakapannya ini memang telah terasah
semenjak ia kecil. Semangat belajar yang tinggi Safiatuddin, kemudian membentuk
pribadi dan pengetahuannya yang luar biasa. Bagaimana tidak, ia sangat
menguasai bahasa asing seperti Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Bukan hanya
itu, ia juga menguasai ilmu falsafah, mantiq, fikih, sejarah, tasawuf, dan sastra.
Seperti yang telah diketahui, Aceh merupakan wilayah yang identik dengan wilayah Islam taat, hingga tersematlah julukan untuk Aceh yaitu Serambi Mekah. Hal tersebut mengibaratkan Aceh sebagai berandanya Mekkah, kota suci umat Islam. Dan Aceh juga sebagai pintu gerbang masuknya ajaran Islam ke Nusantara yang datang dari Timur Tengah. Maka tidaklah mengherankan apabila Aceh dalam mengambil keputusan, sangat dominan dengan hukum Islamnya.
Protes mulai
bermunculan dengan keluarnya nama Safiatuddin, khususnya para ulama yang
berpendapat bahwa wanita tidak diperbolehkan untuk menjadi kepala negara. Isu
naiknya Safiatuddin menjadi Pengganti Sultan Iskandar Tsani semakin besar dan
menimbulkan ketegangan dalam berbagai lapisan masyarakat Aceh. Para pembesar negara
dan ulama dibawah kepemimpinan Kadli Maliku Adil, dan Syekh Nuruddin,
mengadakan musyawarah untuk membicarakan siapa yang berhak dinobatkan menjadi
sultan Aceh. Dalam musyawarah inilah, silang pendapat yang tengah terjadi
akhirya mendapat kesepakatan yang dirangkum menjadi suatu rumusan yang
menyatakan “Dalam Islam, perihal kehidupan sosial bukanlah perintah dari
pribadi seseorang yang wajib dipatuhi, kecuali bersumber pada syariat.[2]
Beberapa golongan ulama menegaskan bahwa boleh seorang wanita menjadi Raja asal
memenuhi syarat-syarat keagamaan, akhlak dan ilmu pengetahuan. Setelah bertukar
pikiran yang begitu lama, akhirnya dengan suara bulat dapat diambil keputusan
bahwa permaisuri Sultan Iskandar Tsani, Putri Sultan Iskandar Muda yaitu Tajul
Alam Safiatuddin patut untuk diangkat menjadi Sultanah Aceh Darussalam.[3]
Pada awal
kepemimpinannya, Sultanah melewati masa-masa yang sulit. Bagaimana tidak, dari
hasil kesepakatan pengangkatan dirinya menjadi seorang Sultanah, masih ada
kalangan yang tidak menyepakati dirinya untuk memimpin. Beban yang ia pikul
dimasa awal jabatannya sungguh sangat berat. Bukan hanya menghadapi
manuver-manuver politik dan tipu daya yang dilancarkan oleh pihak VOC, Belanda
yang terus menerus menggerus kekuasaannya. Selain itu Sultanah Safiatuddin juga
masih menghadapi kelompok-kelompok yang tidak menyepakati dirinya sebagai
seorang pemimpin, penganut-penganut paham wujudiyah menentang kedaulatan
Sultanah Safiatuddin. Mereka masih beranggapan bahwa tidak sah hukum yang di
dalam kerajaan dipimpin oleh seorang wanita,[4]
hingga menimbulkan penghianatan dari kalangan istana.
Tuduhan lain juga
dikisahkan oleh H.M Zainuddin dalam bukunya, Sultanah seorang puteri yang
cerdik dan bijaksana, gemar sekali kepada sajak atau syair, dan mengarang, guru
sajaknya Hamzah Fansury, dan guru dalam ilmu Fikih adalah Nuruddin Ar-raniri.
Selagi masih belum dewasa sampai menjadi permaisuri, banyak mengeluarkan
belanja untuk membantu Hamzah Fansury untuk membangun kesusasteraan, yang
karena itu namanya menjadi populer dalam kesusasteraan.[5]
Tuduhan-tuduhan yang
dilayangkan kepada Sultanah pada akhirnya mampu ia halau satu-persatu, rakyat
Aceh yang mula-mula dengan perasaan sangsi untuk memilih Sri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin dan melakukannya semata-mata karena tidak memiliki kaum kerabat
laki-laki almarhum Sultan Iskandar Tsani ataupun Sultan Iskandar Muda. Kemudian
merasa bahwa pilihan itu tidaklah begitu salah. Perjuangan Sultanah Safiatuddin
cukup ulung dalam mempertahankan nasib rakyatnya, sehingga membangkitkat rasa
hormat dan takjub dikalangan masyarakat Aceh Darussalam.[6]
Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin mampu melewati masa-masa sulit, dan dapat terbilang sukses
membangkitkan kejayaan Aceh Darussalam yang sempat redup semasa dipimpin oleh
Sultan Iskandar Tsani suaminya.
Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry dalam bukunya Bustanus Salatin menuliskan,
“Bandar Aceh Darussalam masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur,
makanan sangat murah, dan semua manusia dalam kesentausaan, ia-lah yang adil
dalam perihal hukum, tawakal dalam pekerjaannya, dan sabar dalam pekerjaannya,
lagi mengerasi segala yang durhaka, ia adalah yang hebat pada segala
kelakuannya, dan bijaksana pada segala perkataannya, dan alim perangainya, dan
lagi syafaat akan segala fakir dan miskin, mengasihi dan menghormati segala
ulama dan anak cucu Rasulullah SAW yang datang ke Banda Aceh Darussalam.[7]
Bersambung..
Baca juga:
[1]
Iskandar Tsani dari Aceh, id.wikipedia.org/wiki/iskandar_tsani_dari_aceh,
diakses pada tangal 26 Maret 2018.
[2]
Drs. H. Sayed Mudhahar Ahmad, Ketika Raja
Mulai Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan), Penerbit Pemerintah Tingkat II
Aceh Selatan, Cet. I, 1992, hlm 225-226.
[3]
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah
Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, 1977, hlm 49.
[4]
Zakiah, Sri Ratu Alam Safiatuddin dan
Perannya dalam Pemerintahan di Aceh Darussalam Tahun 1641 -1675 M, Skripsi,
Surabaya, 1993, hlm 71.
[5]
Ibid, hlm 72.
[6]
A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah
Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, 1977, hlm 50-51.
[7]
Zakiah, Sri Ratu Alam Safiatuddin dan
Perannya dalam Pemerintahan di Aceh Darussalam Tahun 1641 -1675 M, Skripsi,
Surabaya, 1993, hlm 70-71.
0 Response to "Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 2) - Kontroversi Pemimpin Perempuan"
Posting Komentar