Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 6) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (3)
Selama Revolusi Islam Iran berlangsung, terdapat sejumlah pergeseran yang penting. Di antaranya, sampai sekitar bulan
September 1978, gerakan protes dipimpin orang-orang kelas menengah, baik dari
kalangan mahasiswa, ulama, maupun pedagang bazaar. Namun, sejak bulan
tersebut, golongan penduduk miskin yang baru di daerah perkotaan menjadi unsur
paling menonjol dalam gerakan demonstrasi massa.[1]
Iran Revolution 1978, Sumber: lobelog |
Selain itu, Bazargan dan
pemerintahannya yang terdiri atas orang-orang dari golongan profesi yang
berpaham moderat semakin kehilangan pengaruh dibandingkan dengan Dewan Revolusi
Islam. Pada bulan November 1979 pemerintah Bazargan jatuh dan diganti,
sedangkan unsur ulama yang radikal juga semakin menonjol dalam Dewan Revolusi
Islam. pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan penyanderaan pegawainya (4
November 1979-21 Januari 1981) oleh kelompok radikal menjadi saat penting dalam
proses pergeseran prakarsa dari kelompok lebih moderat ke kelompok lebih
radikal.
Pemusatan penolakan terhadap dunia
luar, khususnya Amerika Serikat merupakan momentum kebencian yang lama
terpendam sebagai akibat pengaruh besar Amerika di Iran sejak Perang Dunia II.
Satu langkah lagi dalam proses itu adalah pemilihan majelis pada bulan
Maret-Mei 1980, yang membawa Hizb-i Jumhur-yi Islami (Partai Republik
Islam) ke kekuasaan di parlemen. Parlemen itu terlibat dalam perebutan
kekuasaan yang sengit dengan Abulhasan Bani Sadr, yang dipilih sebagai presiden
Iran pertama bulan Januari 1980, yang berusaha untuk memulihkan lembaga
tradisional dan membatasi peranan lembaga revolusioner. Akhirnya Bani Sadr
terpaksa melarikan diri (Juni 1981).
Tidak hanya kelompok moderat,
sejumlah ulama tua menentang banyaknya kekerasan, kelompok berhaluan kiri
(kelompok yang mengutamakan pembagian kembali sarana produksi dan kekayaan),
dan kelompok berpaham sekuler juga disingkirkan dalam periode sampai April
1983. kelompok kiri diwakili oleh Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), Fida’iyin-i
Khalaq (pecahan dari Tudeh berpaham sekuler), dan Mujahidin-i
Khalq yang menggabungkan gagasan Islam reformis dengan gagasan marxis.
Perjuangan antara partai dan gerakan berlangsung penuh kekerasan dan
menimbulkan banyak korban jiwa, termasuk Ayatullah Muhammad Husaini Bahesyti,
pemimpin Partai Republik Islam. Jumlah hukuman mati yang dijatuhkan juga sangat
banyak pada periode ini.[2]
Pergeseran pengaruh dan kekuasaan
lain yang semakin menonjol pada perkembangan belakangan di Iran, merupakan
dampak revolusi yang justru bertentangan dengan salah satu tujuan utamanya:
revolusi menimbulkan perkembangan birokrasi negara secara besar-besaran, dan
akibatnya, pada periode terakhir kedudukan negara dan aparatnya mengungguli
pimpinan spiritual atau korps ulama.[3]
Sejak tahun 1983, pokok perselisihan
pendapat utama di Iran menjadi kebijakan luar negeri: apakah pengeksporan
revolusi, terutama ke Libanon, dan perang menentang Irak harus diutamakan
atau pembangunan dalam negeri, dan kebijakan ekonomi, yaitu apakah Iran
memerlukan pembaruan tata kepemilikan tanah dan nasionalisasi secara radikal
atau tidak.[4]
Perang dengan Irak, selama delapan
tahun (22 September 1980 sampai Juli 1988), semakin memperparah kondisi Iran.
Tanpa persenjataan yang memadai, kondisi perekonomian yang buruk, fasilitas
umum yang amburadul, tidak menyurutkan langkah Iran untuk tetap berjuang dalam
bingkai Republik Islam. Dibalik semua kondisi itu, Pemerintahan Iran, tetap
melakukan dukungan baik secara terbuka atau tersembunyi, terhadap sejumlah
gerakan pembebasan dari ketertindasan di wilayah-wilyah lainnya, seperti
kelompok Sandinista di Nicaragua, African National Congres (ANC- Kongres
Nasional Afrika) di Afrika Selatan, dan bahkan Irish Republican Army (IRA –
Tentara Republiken Irlandia) di Irlandia Utara.
Dalam bidang ekonomi, setelah 1982, majelis
ataupun Dewan Pengawas Undang-Undang Dasar menentang undang-undang mengenai
nasionalisasi perdagangan luar negeri dan kepemilikan tanah serta menghentikan
pemberlakuan undang-undang dari April 1980 yang membatasi kepemilikan tanah.
Perang dan kebijakan ekonomi yang tidak berdasarkan pandangan yang jelas
mengakibatkan pendapatan nasional turun sejak revolusi. Hal ini dapat diketahui
dengan melihat komposisi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan masih
sekitar 50 persen dengan angka pengangguran mencapai 30 persen. Padahal, Iran kaya
dengan minyak dan gas bumi, batu bara, tembaga, bijih besi, timah dan sulfur.
Imam Khomeini meninggal dunia pada 4
Juni 1989 dan Sayid Ali Khamenei dipilih untuk menggantikannya sebagai Wali
faqih. Sedangkan Presiden terpilih adalah Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani.
Pada pemilu tahun 2000, Iran
memasuki babak baru dengan sistem multipartai. Sebelumnya, pemilu Iran hanya
diikuti tiga kontestan yaitu Majma’e Rouhaniyoun Mobarez, Jame’e
Rouhaniyat Mobarez dan Partai Pelaksana Pembangunan.
Pada pemilu tersebut, Mohammad
Khatami untuk keduakalinya terpilih menjadi presiden Iran. Kemenangan Khatami
dianggap sebagai kemenangan reformasi Iran. Oleh Barat, Khatami dipandang lebih
kooperatif dibandingkan para pendahulunya. Ini sangat positif dalam pemulihan
hubungan diplomatik kedua belah pihak. Namun Khatami dinilai gagal dalam
memulihkan ekonomi Iran. Indikasinya, kurs rial Iran terhadap dolar AS terus
melemah. Pada 1980-an, satu dolar AS setara 500 rial Iran. Kini 1.755 rial Iran
per dolar AS. Bahkan di pasar gelap, nilainya hanya 8.300 rial per dolar AS.
Demikianlah, makna revolusi Islam
tidak terbatas pada Iran, tetapi menimbulkan semangat besar di kalangan luas
seluruh dunia Islam. Semangat itu, melewati batas-batas territorial, suku, ras,
budaya, bahkan agama. Perbedaan antara Syiah dan Sunni mencair dalam perlawanan
di Libanon dan Palestina. Dilain pihak, semangat revolusi tersebut juga menarik
perhatian sejumlah Muslim Sunni pada tradisi Syiah dan menjadi salah satu
faktor konversinya sejumlah Muslim Sunni ke paham Syiah pada periode terakhir.
Namun di sisi lain, berbagai rezim
tradisional di dunia Islam secara umum dan di dunia Arab secara khusus
menganggap Republik Islam Iran sebagai ancaman. Itu sebabnya tokoh seperti Raja
Husain dari Yordania dan Dinasti Saudi mendukung Irak dalam perang terhadap
Iran, dan kelompok yang tertarik pada aspek tertentu dari Islam Syiah dianggap
sebagai kelompok subversif di banyak negara di dunia Islam. Di kalangan
non-Muslim tertentu, Revolusi Islam Iran memeperkuat citra para muslim sebagai
orang fanatik, teroris, dan anti-demokrasi.[5]
0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 6) - Kondisi Politik dan Sosial di Iran (3)"
Posting Komentar