Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 9) - Wacana Besar dan Ironi Kapitalisme
Kapitalisme
telah menebarkan nilai estetika ke dalam praktek-praktek kehidupan, sehingga
realitas tidak menjadi lebih penting dari pada representasi. Kualitas estetika
menjadi acuan bagi kualitas hidup. Kekuatan estetika yang ditanamkan
kapitalisme tersebut mengancam nilai-nilai tradisional yang telah mapan.
Oleh: Fachriza A. Rahman
Perkembangan kapitalisme menjadi sistem perekonomian
global merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari. Kapitalisme merupakan
sistem perekonomian yang berhasil melakukan evaluasi dan reposisi, sehingga
dapat terus berkembang sebagai salah satu bentuk peradaban diakhir abad keduapuluh
ini. Menurut Dillard, sejak diterapkan
pertama kali pada masyarakat Inggris, kapitalisme sudah menghadapi banyak
problem dan kesulitan, sehingga para pemilik modal saat itu meninjau kembali
konsep ekonomi yang diterapkannya. Peninjauan tersebut berhasil menempatkan kapitalisme
sebagai konsep perekonomian yang diterima masyarakat Inggris. Industri sandang
di Inggris berkembang pesat selama abad XVI dan XVII. Sukses usaha kapitalis
term ekonomi sepenuhnya, dapat terlihat pada era laissez-faire (classic
capitalism). Kapitalisme menjadi kekuatan politis yang mampu mempengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintah (1987: 17).
Romantic Capitalism, Sumber: The Consolation of Blogging |
Menjelang awal abad ke-20,
kapitalisme dengan ideologi laissez-faire dipermalukan oleh perang dan
pergolakan kelas sosial. Revolusi Bolshevik telah memepertegas tantangannya
terhadap organisasi ekonomi kapitalisme sebagai sebuah sistem produksi.
Kapitalisme melakukan reposisi dan tampil kembali sebagai sistem ekonomi
monopoli. Sistem monopoli tersebut tidak bertahan lama, karena sejak
pertengahan abad keduapuluh, kapitalisme bergerak sebagai sistem ekonomi yang
tidak terarah (disorganized capitalism) (Hikmat Budiman, 1997: 68).
Kapitalisme dikatakan sebagai sistem ekonomi yang tidak terarah, karena
terdapat ketidakpaduan antara institusi representasi politik dalam sebuah
sistem demokrasi dan berbagai persyaratan yang dituntut demi profit kapital
serta reproduksi. Habermas menyebut fase ini sebagai fase kapitalisme-lanjut.
Prinsip organisasi pada fase ini ditandai dengan melemahnya otoritas negara dan
penguatan masyarakat sipil (Budi Hardiman, 1993: 153).
Pasar menjadi kekuatan dominan
dan mendepolitisasikan hubungan-hubungan kelas sosial yang sudah mapan.
Aturan-aturan pasar menjadi sistem pengendalian yang melembaga. Sebagaimana
disebutkan Budi Hardiman: Dalam
masyarakat ini, pertukaran ekonomis dipasar bebas menjadi medium pengendalian, jadi sistem ekonomi mengintegrasikan sistem pengendalian. Jika dalam masyarakat
tradisional sistem ekonomi tergantung pada legitimasi sistem sosio-kultural,
dalam masyarakat kapitalis liberal sistem ekonomi itu sendiri melegitimasikan diri,
maka mengambilalih tugas ikatan-ikatan sosio-kultural tradisional untuk
integrasi sosial (1993: 153).
Kapitalisme berkembang sebagai kekuatan yang bebas dari
hambatan apapun. Sosialisme yang memiliki media perjuangan 'perencanaan tata
negara' (state planning), terbukti tidak dapat melakukan campur tangan terhadap
sistem ekonomi ini (Sakakibara, 1995: 8). Kapitalisme melalui mekanisme pasar jauh
lebih mudah untuk diterima masyarakat modern. Alasan utama terletak pada
nilai-nilai yang dikonstruksikan oleh modernitas. Modernisme adalah semangat
kebebasan manusia untuk menaklukkan alam dan hidup di muka bumi dengan segala
kemampuannya.
Manusia modern, sebagaimana dikatakan Nietzsche (Sunardi, 1996:
29), adalah manusia yang tidak membutuhkan peran Tuhan, karena tuhan-tuhan
telah menjelma dalam sains, teknologi, dan kemajuan. Kapitalisme menjanjikan
kepuasan dan kesenangan sebagai bentuk pemerdekaan individu. Hal ini sangat
ironi dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa kapitalisme justru berkembang
melalui dukungan moral Protestanisme Calvinistik (Hikmat Budiman, 1997: 63).
Semangat Protestanisme hanya berhenti sebagai orientasi dasar pertumbuhan
kapitalisme. Perkembangan kapitalisme selanjutnya lebih banyak menjadi ancaman
terhadap agama dari pada sebagai penyokong kehidupan religius. Kapitalisme
melalui perangkat media dapat leluasa mengobrak-abrik otoritas Vatikan.
Vatikan tidak dapat berbuat banyak, ketika Madonna yang ditopang oleh kekuatan media,
menyusun representasi dikotomi perawan dan pelacur, salib, jubah pastur, seks interrasial,
dan masturbasi di gereja dengan sosok yang mirip Kristus. Madonna menyanyikan
lagu yang khusus mengundang murka Paus, 'Like a prayer.' Lagu tersebut justru
mendapat sambutan hangat oleh para penggemar Madonna ketika ia tampil di
London, Barcelona, dan Tokyo (Ahmed, 1992: 223). Contoh tersebut menunjukkan
bahwa melalui kapitalisme, masyarakat bukan saja berhasil menemukan kebebasannya, melainkan mampu menciptakan kebebasan-kebebasan
lain yang tidak pernah terbayangkan. Kapitalisme tidak saja berhasil menentang
institusi tradisional, tetapi telah sukses membentuk institusi tradisional
menjadi sebuah parodi.
Sebaliknya, sosialisme tidak menjanjikan apa-apa bagi
peradaban modern, kecuali hukum-hukum diktator. Uni Soviet yang sempat menjadi
adikuasa sosialisme hanya berhasil menciptakan perangkat hukum yang menakutkan.
Uni Soviet belum berhasil menciptakan masyarakat yang bebas dari struktur dominasi.
Hukum yang ditetapkan para diktator sosialis justru merupakan sistem dominasi
yang menghantui masyarakat di negara-negara satelit. Meskipun antara sosialisme
dan kapitalisme sama-sama memiliki semangat kemajuan (progressivism)
(Sakakibara, 1995: 8), akan tetapi semangat kemajuan yang dicanangkan
kapitalisme lebih mudah diterima karena mengandung daya hidup (lan vitale) yang
membebaskan.
Dengan semangat kebebasan tersebut, masyarakat bersedia membiarkan
dirinya dikendalikan oleh mekanisme pertukaran bebas di pasar (Budi Hardiman,
1993: 153). Sedangkan semangat kemajuan yang dicanangkan sosialisme adalah
semangat pengekangan kebebasan untuk menghargai kebebasan orang lain.
Sosialisme bercita-cita membangun peradaban bebas dominasi dengan hukum absolut
dialektika materialisme (Franz-Magnis, 1992: 132). Untuk mencapai tujuan tersebut
hukum dapat difungsikan secara maksimal sebagai mekanisme kontrol masyarakat.
Otoritas hukum diktator tersebut justru melemahkan posisi sosialisme, dan pada
saat demikian kapitalisme mampu menampilkan diri sebagai solusi yang lebih
membebaskan. Hal tersebut dapat terlihat ketika Uni Soviet sedang kolaps,
kapitalisme Barat memberikan dukungan ekonomi bagi masyarakat di negara itu. Dukungan
tersebut tidak berhasil memulihkan sosialisme, sebaliknya malah meruntuhkan Uni
Soviet sebagai adikuasa. Kapitalisme kemudian berhasil melembagakan diri di
wilayah Eropa timur dalam institusi negara 'Russia.'
Menjelang akhir abad keduapuluh ini kapitalisme telah
menjadi ideologi global (the dominant world ideology) (Sakakibara, 1995: 9).
Kerangka teknis yang diterapkan sebagai sistem adalah paradigma neoklasik.
Seperti diungkapkan Sakakibara : The
neoclassical paradigm postulated as the antithesis of socialism after World War
II had some obvious attractions and was thought by many to have
solved the problems of classical capitalism. Throught the mass
production of such consumer goods as automobiles, appliances, and electronics
and turning workers into consumers, mass consumption markets were created. The
emergence of consumers at the center of socioeconomic system laid the basis for
a middle-class society, providing the necessary stability for society as a
whole. Neoclassic capitalist economies emphasized consumer sovereignty as the
basis of democratic choice of the mix and quantity of economic goods
againts the bureucratic economic
decison-making under socialism (1995: 10).
Kedaulatan konsumer merupakan daya tarik yang
direpresentasikan oleh pasar. Kesejahteraan, pembangunan, dan kemajuan
merupakan kualitas yang dijanjikan dan memungkinkan kapitalisme beroperasi
sebagai mekanisme hegemonis. Kapitalisme dapat beroperasi secara bebas, karena
masyarakat bersedia membiarkan dirinya dikendalikan oleh mekanisme pasar ( Budi
Hardiman, 1993: 153-154). Masyarakat percaya terhadap kapitalisme, seiring
dengan melemahnya legitimasi sistem sosio-kultural. Kualitas yang dijanjikan kapitalisme
menjadi prinsip-prinsip acuan bagi masyarakat luas. Prinsip-prinsip dan gaya
hidup konsumerisme, produksi massa, dan demokrasi liberal adalah sebagian nilai
yang berhasil diterapkan pada masyarakat dunia.
Derrida memaparkan kerangka
kerja kapitalisme tersebut sebagai "logosentrisme," yaitu suatu
orientasi-orientasi dan prosedur-prosedur praktis yang merupakna hasil dari
pertautan rumit antara pengakuan dan kekuasaan/kesewenangan. Logosentrisme
tersebut, menurut Derrida setidak-tidaknya mengandung dua ciri. Pertama,
prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai suatu orientas yang paling
utama. Kedua, prosedur-prosedur itu harus merupakan seseuatu yang berdaulat dan
tidak lagi diperdebatkan (Bob Sugeng Hadiwinata, 1994: 27). Dengan demikian, kapitalisme
dunia seolah-olah beroperasi sebagai suatu wacana besar (master-discourse) yang
tidak dapat dihindari oleh masyarakat dunia. Para teoritisi kapitalisme
(neoklasik) berhasil menciptakan karakter-karakter tertentu dan membentuk
wacana-wacana hegemonik yang semakin dianggap sebagai suatu hal yang universal.
Kapitalisme menjadi satu-satunya kekuatan transformasi
budaya dalam skala global (Morley dan Robin, 1995: 111). Keberhasilan
aktor-aktor kapitalisme dalam menciptakan karakter-karakter dan wacana-wacana
hegemonis merupakan suatu bentuk dominasi baru yang lebih menakutkan dari pada
sosialisme, sebab seperti telah dikatakan Derrida, kapitalisme bergerak melalui
prosedur-prosedur yang tidak lagi diperdebatkan. Dalam kerangka ini, kapitalisme
tidak lain merupakan ancaman terbesar bagi peradaban manusia.
Standar nilai yang dibentuk oleh kapitalisme dengan
leluasa dapat mempengaruhi tata nilai tradisional, sekaligus melemahkan institusi-institusinya.
Prinsip-prinsip pendidikan di universitas-universitas sekarang ini, tidak lagi
mementingkan "apakah sesuatu itu benar" melainkan "apakah itu
dapat berguna" atau "apakah sesuatu itu dapat dijual."
Prinsip-prinsip pendidikan telah kehilangan sifat idealnya untuk mencari dan
menemukan kebenaran dan keadilan (Tommy F. Awuy, 1994: 51). Naik haji yang
sebenarnya merupakan ibadah sakral dapat menjadi media pembentukan gaya hidup,
karena ritual tersebut telah dikemas oleh tata nilai kapitalisme.
Nilai-nilai sakral di dalam ajaran-ajaran agama tidak menjadi
lebih penting dari kepuasan duniawi yang
dijanjikan kapitalisme. Dengan demikian, agama tidak memiliki pilihan lain
kecuali menampilkan diri dalam bentuk yang lebih relevan dengan realitas yang merupakan
representasi kapitalisme. Individualisme yang diciptakan kapitalisme
setidak-tidaknya berjasa mempertahankan agama sebagai bagian dari kehidupan
pribadi. Meskipun kewibawaan institusi agama melamah, akan tetapi secara
bersama-sama agama tetap menguat dalam kehidupan privat.
Namun privatisasi yang di kembangkan oleh
kapitalisme ternyata tidak sepenuhnya membebaskan individu. Kapitalisme memang
berhasil membebaskan individu dari dominasi doktrin institusional. Individu
menjadi bebas menafsirkan dan mempraktekkan ajaran agama secara pribadi, sesuai
dengan landasan pemahaman yang dimilikinya. Akan tetapi, ketika bentuk-bentuk ritual
yang telah menjadi privat tersebut dilandasi oleh roh kapitalisme, maka
dominasi terhadap individu terulang lagi.
Kapitalisme tidak berbeda dengan
otoritas Vatikan yang berkuasa terhadap wacana keagamaan. Jika kapitalisme
menjanjikan kesenangan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam wilayah profan,
maka institusi agama menggunakan hukum-hukum sakral untuk melembagakan
dominasinya. Kapitalisme menjadi kekuatan pembelenggu dan membuat individu
tunduk pada kekuatan impersonal. Kemerdekaan subjek menjadi mitos Pencerahan,
karena tidak terwujud di dalam kenyataan.
Bersambung..
Baca juga:
Bersambung..
Baca juga:
0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 9) - Wacana Besar dan Ironi Kapitalisme"
Posting Komentar