Socrates
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya”
Robert Fowler - and so Socrates dies, Sumber: art uk |
Kiranya telah banyak pembahasan mengenai tokoh
filsafat yang satu ini. Namun demikian, tidaklah etis apabila situs yang
bertemakan filsafat tidak membahas tentang beliau, meskipun sedikit banyak juga
telah dibahas pada tulisan-tulisan, kajian-kajian, atau diskusi-diskusi kelas
emperan hingga di dalam gedung-gedung akademik. Tetapi semoga tulisan ini
memberi setidaknya sedikit khazanah pengetahuan baru untuk kita.
Sokrates lahir di Athena tahun 469 S.M. dan meninggal tahun 399
S.M.[1]
Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari
tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai
puncak kebesaran yang gilang-gemilang. Sokrates bergaul dengan semua orang, tua
dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan keunikannya sendiri. Ajaran
filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan,
dengan menerapkannya dalam kehidupan. Menurut teman-temannya: Sokrates demikian adil, sehingga
ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia
tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian
cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu
adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalela waktu itu.
Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran yang sebenar-benarnya tidak
tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat "dibenarkan"
dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba memperoleh persetujuan orang
banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu dianggap sudah benar.
Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa
tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan
dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang
diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma
satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan
baginya untuk memperoleh pengetahuan. Sesungguhnya inilah permulaan dialektik.
Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral "ilmu" di tengah-tengah pasar
ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia sebagai yang tidak tahu itu lalu ingin
tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas pertanyaannya disusul dengan pertanyaan
baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan itu makin lanjut makin mendesak.
Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi menjawab dan mengaku tidak tahu. Lalu
Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan berkata: "Demikianlah adanya,
kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu Sokrates banyak memperoleh
kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi sebaliknya, lawannya juga
banyak, terutama guru-guru sofis serta pengikut-pengikutnya yang berpolitik,
yang memperoleh kemenangan dengan jalan retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke
muka pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan
dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua,
bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil (tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates tetap tegas. Melihat susunan
mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan disalahkan dan dihukum. Tetapi
pantang baginya akan menjilat, beriba-iba mengambil hati para hakim supaya
hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia mengatakan, bahwa ia tidak bersalah melainkan
berjasa pada pemuda dan masyarakat Athena. Bukan hukuman, melainkan upah yang
harus diterimanya.
Alangkah terkejut kawan-kawan yang mendengarkan ucapannya itu. Para
hakim tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara terbanyak ia
dihukum mati dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak gentar. Ia berkata
dengan suara tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani hukumannya.Dengan
hati yang tetap pula ia menolak semua bujukan kawan-kawannya untuk lari dari
penjara dan menyingkir ke kota lain. Sokrates, yang selalu patuh kepada
undang-undang, tidak mau durhaka pada saat ia akan meninggal. Cara matinya juga
memberikan contoh, betapa seorang filsuf setia kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika
ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup
berfilosofi. Filosofinya mencari kebenaran. Ia bukan ahli pengetahuan,
melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali
mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan
murid-muridnya, terutama Xenephon
dan Plato.[2]
Catatan Xenephon kurang bisa diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk
mengetahui ajaran Sokrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi
kesukarannya ialah bahwa Plato dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya
sendiri ke dalam mulut Sokrates. Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan
berbentuk dialog, hampir selalu Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir,
tetapi keluar seolah-olah Sokrates yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi sendiri-sendiri kepada ajaran
gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu tentang metode
Sokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk
selama-lamanya. Di sinilah letak perbedaannya dengan guru-guru sofis, yang
mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subjektif dan harus dihadapi dengan
pendirian yang skeptis. Sokrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap ada-nya
dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikirkan dirinya sendiri,
melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain, dengan tanya-jawab. Orang
kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan sebagai kawan yang diajak
bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan
apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala sesuatu.
Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang
disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang "apa itu"
harus lebih dahulu daripada "apa sebab". Ini biasa bagi manusia dalam
hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan "apa itu".
Oleh karena jawab tentang "apa itu", dicarilah dengan tanya-jawab
yang makin meningkat dan mendalam, maka Sokrates diakui pula - sejak keterangan
Arsitoteles - sebagai pembangun
dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat dan
mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana
dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang
ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi. Induksi menjadi
dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan induksi sekarang. Menurut
induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang spesifik,
dan dari sana - dengan mengumpulkan - dibentuk pengertian yang berlaku umum. Sedangkan
induksi yang menjadi metode Sokrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia
tidak berusaha mencapai yang umum dari yang spesifik. Ia mencoba mencapai
definisi dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan
saksi. Seperti disebut di atas, dari kawan bersoal-jawabnya, yang masing-masing
terkenal sebagai ahli dalam vak-nya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi
tentang "berani", "indah", dan sebagainya. Pengertian yang
diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata.
Apabila dalam pasangan itu pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu
dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali
untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi, hasil yang dicapai tidak lagi
takluk kepada paham subjektif seperti yang diajarkan kaum sofis, melainkan umum
sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya. Induksi dan definisi menuju
pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun dalam jiwa orang bahwa kebenaran
tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari dengan perjuangan seperti
memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara mencari kebenaran
seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter.
Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu. Manusia yang dirusak oleh
ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan.
Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka, siapa yang
mengetahui hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak
mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi
berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa etika
Sokrates intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi ialah
tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat jahat.
Apabila budi adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka "jahat"
hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak memiliki
pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat adalah korban
dari kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak
ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan
sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu orang pandai perlu menguasai diri
dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka. Dan apa yang pada hakikatnya baik,
adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadi, menuju kebaikan adalah jalan
yang sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup", tidak pernah dipersoalkan oleh
Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi pendapat mereka sendiri-sendiri yang
bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala
sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa
misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia.
Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu, Sokrates sampai kepada sikap
hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut keyakinannya, menderita
kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya, dengan
kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah orang
yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud yang
tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan
dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa manusia
itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering pula
dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam, yang
menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya
"daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian, katanya. Semua
orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara batin) itu dari
dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan
Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu
menunjukkan kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia
seorang filsuf yang terutama seluruh masa
0 Response to "Socrates"
Posting Komentar