Rhapsody Sang Bidadari
Sore itu ketika sampai dan
beristirahat di tepi sungai setelah lelah sehaian berjalan dan bekerja di sawah.
Rasanya lega sekali, padi-padi yang selama ini kurawat sudah mulai gemuk
berisi, kelopaknya panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang
mulai merunduk. Melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan
penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi,
semakin berisi maka semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi
merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu pengetahuan.
Hari sudah mulai gelap,
temaram cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai terlihat. Dalam temaramnya
cahaya tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan
menuju sungai, seorang wanita yang memakai kemben[1]
dan menjinjing keranjang kecil. Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan
berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya.
Rambut panjangnya
segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya ke dalam air sungai yang mulai
dingin. Mataku tak berkedip sama sekali melihat kejadian itu, jarak yang
memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh hingga sayup-sayup kudengar
dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya begitu magis yang
didukung oleh suasana sore yang dihiasi cakrawala jingga. Putri-putri keraton
yang tertulis didalam lembaran daun-daun lontar Majapahit yang katanya cantik
nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan
mataku ini tidak akan kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan
dan gemulainya tidak tertulis didaun lontar, tapi tertulis di alam raya, dengan
tinta sang cakrawala.
Dia berputar-putar,
bermain air, dan terkadang menyelam mengambil pasir halus dari dasar, dan
diusapkannya di seluruh badannya.
Heart beat, Sumber: rebloggy |
Rupanya perempuan itu telah
menyadari sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya yang indah, dan ia
mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke
arahnya. Dia membalas lambaian tanganku, sambil tak henti-hentinyanya ia
bersenandung kemudian ia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi.
Aku tidak berpikir
panjang, meski hawa dingin membekukan tulang sekalipun, kupaksakan diri juga
untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai ini. Aku berenang ke seberang, menelusuri
riak air yang memancarkan aroma eksotis dimalam hari. Bayang wajahnya semakin
jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan
pandangan tajam berwarna biru.
Ternyata dia menyanyi
Asmarandana,[2] tembang ritmis tentang
cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melemparkan air ke mukaku
sambil tertawa-tawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa riang bersama,
akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang
tinggal melanjutkan saja. Hanyasaja aku merasa heran, kenapa aku baru bertemu
dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang?
Dia tertawa lagi,
tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah
dia berhenti tertawa, tawanya terganti dengan senyuman yang menyiratkan makna surgawi,
senyum yang bukan berasal dari bumi ini, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa
lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, aku menoleh ke kanan dan ke kiri
untuk mencari sosoknya, tapi ia tak kunjung muncul juga.
Sedang sibuk mencari,
tiba-tiba ada benda serupa pasir menabrak punggungku, secepat cahaya menoleh
kebelakang, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnyalah yang menabrak punggungku, kini ia tepat berada
beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar dan mencium aroma
nafasnya. Seperti angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir nan
tandus. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku
dari belakang.
Aku baru benar-benar
sadar sekarang, betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini, lebih cantik
dari apa yang aku bayangkan. Rambut panjangnya yang hitam legam mengkilat oleh
sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.
"Cantik."
Tiba-tiba terdengar
suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, suaranya menimbulkan
gema yang sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian
lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya
dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa,
aku langsung menghambur ke darat, aku mencoba mengingat-ingat dimana dia tadi
meletakkan keranjang kecil itu.
Sinar rembulan yang
tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat
keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain,
kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang
kecil terbuat dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.
"Terima kasih ya
sudah menemaniku.." dan diapun pergi.
Dua belas purnama sudah
aku mengenalnya, semenjak perkenalan itu kehidupanku selalu diwarnai oleh canda
dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai
itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa bersama. Dia memang cantik,
seperti namanya.
Semakin lama aku
mengenalnya, kecantikannya semakin membuatku tergila-gila. Karena cantik yang
terpancar lebih kuat justru dari sikapnya melebihi kecantikan raganya yang
memang sudah luar biasa. Namun ia selalu saja menolak ketika kubilang bahwa
dirinya cantik, apalagi ketika kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat
cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku sedang ngegombal,
padahal belum pernah sekalipun terpikir dalam hidupku untuk memiliki hobi ngegombal
terhadap perempuan.
Hobi yang sangat elitis
itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin berkata dengan jujur. Aku hanya
bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak pula ingin menambahi. Tapi memang
sebenarnya kata-kata tidaklah cukup melukiskan keindahannya.
Aku tidak akan
menyerah, aku akan terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu sampai pada
tujuannya atau tidak sama sekali. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang
bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara
halus dan rayuan.
Aku sering mengajaknya
untuk bicara tentang masa depan. Bicara mengenai langkah-langkah manusia di
bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Diapun menimpalinya dengan suara
dan kata-kata yang lembut diucapkan dengan yakin. Segala protesnya terhadap
manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu
anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang
wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun
bercanda lagi.
Bicara tentang kucing
yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga,
atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki.
Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala
beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai
manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.
Pada suatu malam aku
menanyakan sesuatu padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku,
tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh
kehidupan. Dia hanya terdiam, menerawang, dan akhirnya dia bilang dia juga
takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti
dibalik semua ayat-ayat Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi
bahtera bersama menuju teluk bahagia di ujung sana.
Rona wajahnya berubah,
dia terlihat bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi,
seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit,
bertanya kepada bintang-gemintang akan risaunya.
Di remang rembulan, dia
berbisik kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.
"Biarkan aku
sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati
rumpunan padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke
desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu terasa begitu
cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak
memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.
Dia mungkin belum mengetahui,
bahwa dia tidak pernah mengecewakanku sama sekali, dan tidak akan pernah.
Karena seperti yang telah aku bilang dahulu ketika aku pertama kali menyatakan
bahwa aku cinta padanya.
Cintaku apa adanya,
kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari
seperti dia. Tidak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku
bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada
keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku
tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, dan aku yakin kecantikan hatinya
abadi.
Biarlah semua manusia itu
silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia
seperti begitu adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama
kurasakan bagiku. Aku hanya ingin dia kembali lagi berbagi tawa bersamaku,
setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan
tetap menjadi masa depan.
___________________________
Penggubahan Rhapsody seorang bidadari
[1]
Kemben (Jawa) atau Kemban (Indonesia), merupakan pakaian tradisional pembungkus
tubuh wanita yang secara historis, umum ditemui di daerah Jawa dan Bali. Kemben
dapat berupa sepotong kain pembungkus tubuh, baik kain polos, batik, beludru,
ataupun jenis kain lain yang menutupi dada melilit tubuh wanita. Lihat Kemben, https://id.wikipedia.org/wiki/Kemben,
diakses pada tanggal 8 Mei 2018.
[2]
Asmaradana atau asmarandana merupakan jenis tembang macapat, Tembang
asmarandana umumnya untuk mereka yang gandrung terhadap suara (lagu).
Asmarandana diambil dari kata asmara yang berarti cinta, dan dahana yang
berarti api. Dari sinilah asmarandana mengandung ritme dan segala hal yang
berhubungan dengan tresna (cinta).
Lihat Asmaradana, http://www.wikiwand.com/jv/Asmaradana,
diakses pada tanggal 8 Mei 2018.
0 Response to "Rhapsody Sang Bidadari"
Posting Komentar