Filsafat Agustinus (Bag 1) - Prolog
Markus Aurelius Augustinus (354-430)[1]
lahir dan hidup dalam kondisi jaman yang sudah berkembang, di wilayah sekitar
Laut Tengah sampai sebelah timur Teluk Persia. Dalam masa tersebut ada tiga
unsur pokok yang mewarnai dan menentukan, yaitu tersebarnya kebudayaan
Helenisme, muncul dan meluasnya Kerajaan Roma, dan tampilnya
Gereja Kristiani.
Meski pengaruhnya positif luar biasa, gaya hidup,
kebudayaan, pemikiran dan cara bernegara dari Helenisme mempunyai unsur
negatif juga, yakni hilangnya kedaulatan sebagian besar "negara kota"
(polis), dengan seluruh adat-istiadat, ketatanegaraan, undang-undang,
logat bahasa, agama dengan dewa-dewanya.Saint Augustine by Botticelli, Sumber: Emerson Kent |
Pada awalnya, Helenisme tidak
langsung mengarah ke rasa keterlibatan untuk mempertahankan dan meneruskan
kesatuan wilayah raksasa yang telah didirikan oleh Iskandar Agung.
Kenyataan historis menunjukkan bahwa kesatuan dan keterlibatan itu tetap
kondusif dan semakin kuat kalau diwujudkan atas dasar kesatuan kebudayaan,
bukan kesatuan negara. Helenisme mengakibatkan lunturnya adat istiadat dan
agama lokal yang sudah mapan. Dalam masa itu bermunculanlah aliran-aliran yang
mengacu pada pandangan hidup, keagamaan, filsafat, "kebatinan"
khususnya di kalangan para cendikiawan dan petugas tinggi pemerintahan dan
tentara. Pada saat itu ada dua aliran yang berpengaruh luas dan lama yaitu Stoa
dan Epikurisme. Para penganut aliran tersebut merasa telah mendapatkan
dasar pandangan hidup untuk bisa bertahan dalam gejolak-gejolak politik yang
baru. Dewa-dewi kuno diganti dengan keyakinan pada penyelenggaraan akal ("logos")
yang "ilahi", di luar dan di atas semua peristiwa dan semua manusia.
Penyelenggaraan itu malah sudah terpantul dan dapat ditemukan pada setiap
manusia secara mikrokosmis. Untuk itu, manusia harus mencapai ketenangan batin
dengan melaksanakan askesis.
Sekitar abad pertama Sebelum Masehi,
terjadi pergeseran titik besar peta kekuasaan politik dari Timur ke Barat
dengan pusat di Roma. Kerajaan Roma mencapai jaman keemasannya sekitar abad
pertama Masehi sampai pertengahan abad ketiga (1000 tahun kota Roma). Bahasa
Latin cukup mendukung juga karena cocok sebagai bahasa hukum yang seragam,
bahasa pemerintahan yang tegas, dan bahasa tentara yang patuh. "The
Roman Genius" berhasil menciptakan suatu kesatuan politik yang
menjamin keamanan dan kemakmuran selama beberapa abad untuk wilayah yang luas
(sekitar 2000 kali 5000 km²). Aliran-aliran kebudayaan, filsafat dan pandangan
hidup yang sudah lama berkembang dalam Heleneisme tetap bertahan. Di samping
itu pemerintah Roma memberikan kebebasan besar kepada semua aliran, asal tidak
membahayakan keamanan dan kesatuan negara. Saat itu juga ada pejabat tinggi
negara yang sekaligus filsuf terkenal, yaitu kaisar Markus Aurelius
(121-180) penganut Stoa dan pengarang dalam bahasa Yunani.[2]
Muncul juga aliran filsafat kuno yang terakhir, yaitu Neo-Platonisme
dengan pendirinya Plotinos (205-270).[3]
Aliran ini berasal dari Mesir dengan dipengaruhi alam pikiran Timur (India) dan
cepat berpengaruh di Roma. Plotinos ingin memperbarui filsafat Plato yang
dianggapnya cocok bagi kebutuhan religius pada jamannya, sekaligus belajar dari
aliran Stoa. Dibandingkan dengan filsafat Plato (dan Aristoteles),
Neo-Platonisme lebih dinamis.
Secara singkat bisa dikatakan,
aliran Neo-Platonisme berpandangan bahwa semua yang ada dan yang dapat
disaksikan, termasuk manusia sendiri, berasal dari "Yang Esa", dan
terus menerus mengalir ("emanasi") dari Yang Esa itu tanpa ada
batas yang jelas antara keduanya (selain emanasi dipakai juga istilah "perilampsis",
"penyinaran". Oleh karena itu selain lambang air dipakai juga lambang
sinar cahaya dan terang). Apa saja yang berasal dari Yang Esa itu tidak bisa
lain kecuali mau kembali kepada-Nya. Semuanya merupakan suatu lingkaran besar
yang bersifat ilahi. Manusia tergoda untuk "berhenti" di tengah
jalan, melekat pada materi (ingat "hyle"-nya Aristoteles) yang
paling jauh dari Yang Esa, seakan-akan seperti "titik balik" dari
gerak "keluar kembali". Kemacetan itu bisa dihindari dengan askesis
sehingga di tengah jalan manusia dapat memperoleh ekstasis berhadapan
dengan Yang Esa yang mungkin hanya sekejap saja.
Pada pertengahan abad pertama muncul
juga Gereja Kristiani. Penyebaran ajaran iman Kristiani dan kesatuan
umatnya cukup didukung dengan adanya kebudayaan Helenisme dan kesatuan serta
semua fasilitasi (misalnya perjalanan) dalam Kerajaan Roma. Meskipun demikian,
terjadi pertentangan juga karena orang Kristiani tidak ikut dalam pendewaan
kaisar yang dituntut bagi semua warga demi kesatuan dan kemuliaan Kerajaan
Roma. Ini mengakibatkan pengejaran dan penganiayaan atas orang Kristiani.
Meskipun demikian, selama beberap periode, Gereja cukup berkembang di seluruh
wilayah Roma (dan di sebelah Timur: Persia, India). Setelah penganiayaan hebat
pada permulaan abad IV, akhirnya pada tahun 313 Kaisar Konstantinus
mengeluarkan maklumat di kota Milano yang memberi kebebasan beragama kepada
semua penduduk Kerajaan Roma.[4]
Sebelum meninggal, ia sendiri dibaptis menjadi Kristiani. sesudah itu,
kedudukan dan peranan Gereja Kristiani menjadi sangat mencolok, bukan hanya
dalam penghaytan iman dan ibadat, tetapi juga dalam refleksi atas iman baik
dalam tukar pikiran dengan orang-orang bukan Kristiani (cendikiawan, filsuf dan
sebagainya) maupun usaha orang Kristiani sendiri untuk memperdalam unsur
pengetahuan atas iman.
Refleksi itu sebenarnya sudah
dirintis dalam lingkungan Yahudi di wilayah yang dipengaruhi Helenisme.
Misalnya tokoh Filo dari Aleksandria di Mesir (20 S.M.-50 M.)[5]
yang berkeyakinan bahwa ada kesinambungan antara iman dengan akal karena
kedua-duanya berasal dari Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, yang
dikenal baik melalui iman maupun akal. Pemikiran seperti itu juga masih muncul
dalam umat Kristiani purba antara lain dari Yustinus (100-165)[6]
dan dari sekelompok pengajar Kristiani di Mesir seperti Clemnes
(150-212)[7]
dan Origenes (184-253),[8]
yang sebangsa dengan Plotinos. Pada saat yang sama, muncul juga pemikiran yang
menantang dengan keras, khususnya Tertulianus (160-223),[9]
dan juga dari Afrika utara (Kartago, wilayah Tunisia sekarang) yang sangat
menekankan perbedaan dasar antara iman Kristiani dengan akal, baik karena Allah
itu tak terjangkau oleh akal yang lemah, maupun karena manusia berdosa secara
menyeluruh sehingga hasil akal budinya tidak bisa diandalkan: "credo
quia absurdum" (aku percaya justru karena tidak masuk akal).
Le néoplatonisme à la Renaissance, Sumber: Passion Lattres |
Setelah tahun 313, dalam lingkungan
Gereja Kristiani muncul puluhan pemikir besar yang berusaha menyoroti
pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari sudut pengertian dan akal budi. Mereka
sering dinamai "pujangga Gereja" dan dianggap sebagai teolog, dengan
akibat filsafat yang termuat dalam ajaran mereka kurang diangkat meskipun tetap
sejalur dengan lanjutan Neo-Platonisme. Salah satu dari antara mereka adalah
Augustinus.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi
Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan
Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak
berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago
untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu
berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena
ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di
lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama
masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran
filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup
dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham
manusia dengan beranggapan bahwa kaum "jasmani" atau para
"pendengar" tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan
kembali, mereka akan lahir sebagai yang "terpilih" dan mendapatkan
keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup "jasamani" ini mereka
memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah
pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan,
ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli
waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato
karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian
atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa
Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun
penilaian norma-norma etika.
Usahanya mendirikan perguruan di
Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme
para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau
menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk
mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah
dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam
situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius
(233-304)[10]
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula
Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi
sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut
terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada
suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang
jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan
dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani
yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan
Augustinus, ajaran ini belum memepunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam
baginya.
Pada saat tersebut, melalui beberapa
temannya (di samping ibu Monika yang dengan setia mengikuti putranya), ia
diharapkan kembali pada iman Kristiani. Di samping itu ia juga berkenalan
dengan Uskup Ambrosius di Milano yang pemikirannya sangat dipengaruhi
oleh Origenes.[11]
Menurut pengakuannya sendiri, ia semakin sanggup melihat bahwa keyakinan
intelektual yang telah diperoleh melalui Neo-Platonisme seakan-akan menuntut
suatu kelanjutan dalam praktik hidup yang kiranya tidak berasal dari filsafat
tersebut.
Ia dibaptis menjadi seorang
Kristiani oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387. Dari masa dua tahun di
sekitar peristiwa tersebut, kita mempunyai banyak karya filsafat dari
Augustinus; meskipun jarang hanya filsafat semata-mata, karena karyanya waktu
itu cukup dilatarbelakangi dan diwarnai oleh pengalaman pertobatannya. Salah
satu rumus refleksi Augustinus mengenai perjalanannya menuju iman Kristiani
termuat dalam karyanya yang termasyur, "Confessiones"
("Pengakuan" sekaligus "Puji-pujian kepada Allah").
Augustinus menggoreskan kekagumannya ketika membaca karya Plotinos, sekaligus
menggoreskan perasaannya bahwa seakan-akan "belum sampai" kepada
"sesuatu", yang baru sanggup dirumuskannya sesudah ia mulai beriman.
Ialah bahwa "Nomen Christi non erat ibi" (nama Kristus
belum terdapat dalam tulisan Neo-Platonisme itu). Demikian ringkasan atau kunci
pemikiran dan filsafat Augustinus yang tetap bertahan untuk seterusnya dan yang
termuat dalam karya besar dan khotbah-khotbahnya (ia menjadi imam tahun 391,
lalu menjadi Uskup kota Hippo di Afrika Utara tahun 396 sampai akhir hidupnya).
Perpisahan Augustinus dengan filsafat gaya Neo-Platonisme murni, terdapat dalam
Confessiones (9, 100) mengenai hari terakhir sebelum Monika meninggal.
Di situ terdapat percakapan mereka mengenai pengalaman hidup di bumi ini dan
mengenai kebahagiaan di surga yang dijanjikan Tuhan. Peristilahan dalam
percakapan itu secara mendalam bernada Neo-Platonisme sekaligus seluruhnya
bernafaskan iman Krsitiani. Berikut ini disampaikan anggapan pandangan
Augustinus mengenai sejumlah bidang dan cabang filsafat.
Bersambung...
Baca juga:
Bersambung...
Baca juga:
[1] Lihat Agustinus dari Hippo, https://id.wikipedia.org/wiki/Agustinus_dari_Hippo, diakses pada tanggal 3 Mei 2018.
[2] Lihat Marcus Aurelius, https://id.wikipedia.org/wiki/Marcus_Aurelius,
diakses pada tanggal 3 Mei 2018.
[5] Lihat Mengenal Filosof Philo dari Alexandria, https://banuabiznet.com/mengenal-filosof-philo-dari-alexandria/,
diakses pada tanggal 3 Mei 2018
[6] Lihat Gereja Kelahiran, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Kelahiran,
diakses pada tanggal 3 Mei 2018.
[7] Lihat, Yaohushua,
Nama Yahwh, http://www.angelfire.com/id2/yaohushua/nama/yahuweh.html,
diakses pada tanggal 3 Mei 2018.
0 Response to "Filsafat Agustinus (Bag 1) - Prolog"
Posting Komentar