Filsafat Agustinus (Bag 2) - Pemikiran
Epistemologi Augustinus bersifat iluminisme. Ia berkeyakinan bahwa
manusia tidak AKAN sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumen")
khusus dari Allah. Dari sudut yang lain, ia juga berkeyakinan bahwa dalam diri
manusia secara alamiah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam
atau mati. "Apabila tidak ada kebenaran, kiranya benar juga bahwa tidak
ada kebenaran. Dengan itu adanya kebenaran sudah ditegaskan". Hal yang
mirip dengan itu diuraikan Augustinus juga dalam wawancara "De Magistro"
(Guru).
Dikemukakannya bahwa proses belajar-mengajar itu dimungkinkan hanya
karena ternyata dalam diri murid terdapat suatu "dasar pengetahuan" atau
"pengertian" yang tinggal dihidupkan oleh perkataan dan penjelasan
guru. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan "memberikan" pengetahuan
seperti memberikan sebuah jeruk (merujuk pemikiran Sokrates). Itu semua terjadi
dalam rangka pengetahuan iman.Aurelius Augustine, Sumber: Klikenjoyblog |
Unsur-unsur filsafat manusia
muncul dalam karya Augustinus saat ia memandang manusia sebagai ciptaan
Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai
istilah penciptaan ("creatio"), tidak membicarakan
Allah sebagai Pencipta ("Creator"), dan yang tidak
sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme).
Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan "vestigia Dei"
("jejak-jejak Allah") yang memaklumkan bahwa "Allah telah
lewat". Manusia menjadi "vestigium Dei" sedemikian
istimewa, sehingga disebut "imago Dei" ("citra
Allah"). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada
segala ciptaan lainnya.
Dalam rangka itu, Augustinus
menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens - notitita
-amor, sekali-kali juga memoria - intellectus - voluntas. Yang
pertama, ("mens", "memoria") bukan hanya
berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia
sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu
merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua,
("notitia", "intellectus") berkaitan dengan
kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, ("amor", "voluntas")
menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal
seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka
irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate,
secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai
ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian
Baru.
Usaha yang mirip dengan hal itu diucapkannya
dengan perkataan lain yang bergema sampai dewasa ini yaitu, "Tuhanku,
Engkaulah lebih tinggi daripada apa yang paling dalam dalam batinku"
("Deus meus superior summo meo; et interior intimo meo")
("Confessiones", 3, 6, 11).[1]
Ini merupakan ungkapan yang merangkum pengalaman manusia tentang transendensi
dan imanensi Allah dalam satu rumus. Inilah beberapa pokok filsafat
ketuhanan Augustinus.
Dalam bidang etika, perlu
diingat bahwa Augustinus selama bertahun-tahun lamanya mengalami ketidak mampuan untuk
menyelenggarakan hidupnya dengan baik dengan latar belakang dualisme
manikeisme. Sesudah menjadi Kristen dan Uskup, Augustinus menentang keras mengenai anggapan Pelagius
(350-425) dan pelagianisme[2]
yang berpendapat bahwa manusia sendiri karena ketegasan dan kerajinannya dapat
berbuat baik dan menyelamatkan diri. Manusia tetap membutuhkan rahmat dari
Allah. Dengan demikian ada kesejajaran iluminismenya tentang pengetahuan dengan
ketidak mampuan manusia, dalam bidang etika, tanpa rahmat Allah.
Filsafat negara Augustinus juga menjadi
viral. Baginya, filsafat negara tidak bisa lepas dari
etika. Filsafat negaranya termuat dalam "De Civitate Dei"
("Negara Allah") yang lebih merupakan teologi sejarah dengan beberapa
pokok mengenai filsafat sejarah.[3]
Karya ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah selama 20 tahun terakhir
kehidupan Augustinus. Kegemilangan dan kekuatan politik Kerajaan Roma sudah
mulai merosot karena kemewahan dan kelaliman para pemimpin dan karena
penyerbuan bangsa-bangsa sebelah Timur, Timur Laut dan Utara.
Situasi tersebut ditanggapi
Augustinus dalam konteks akhirat. Negara dan masyarakat yang kita alami
merupakan pertempuran terus-menerus antara kekuatan buruk yang duniawi ("civitas
terrena") dengan kekuatan baik yang berasal dari Allah ("civitas Dei").
Akhirnya yang akan menang adalah kekuatan baik dari Allah. Perlu dihindari
pengertian bahwa civitas terrena itu negara dan civitas Dei itu
Gereja, karena keduanya mempunyai kedua unsur, baik dari civitas terrena
maupun civitas Dei. Civitas Dei pun akan menang dalam diri
manusia karena kekuatan Allah dan bukan semata-mata kekuatan manusia.
Akhirnya, Augustinus dan karyanya,
yang menjadi milik kebudayaan Barat dan yang dipengaruhi oleh iman Kristiani,
kiranya lebih mendalam dari pada pemikiran
Plato dan Aristoteles dalam batas-batas tertentu.
Karya-karyanya mempengaruhi sejumlah besar filsuf dan teolog sisalnya seperti, Anselmus
(abad XI), seluruh kelompok filsuf dan teolog sekolah Saint Victor di Paris
(abad XII), Bonaventura, maupun Thomas Aquinas (abad XIII), Martin
Luther, Malebranche, Pascal, Jansenisme? Maurice
Blondel (abad XX). Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi
diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan "filsafat
Kristiani".
Dalam arus filsafat jamannya, Augustinus menawarkan
pemikiran baru yang tidak ditemukan pada filsuf-filsuf sebelumnya. Ia melihat
bahwa filsafat selama itu lebih menempatkan yang ilahi dalam tanda kurung
sehingga menempatkan filsafat sebagai "profan". Agustinus memang
mengagumi pemikiran-pemikiran filsafat, tetapi seabagai orang Kristiani ia
melihata ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa Kristus tidak ditemukan di sana.
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak
sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi.
Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang
memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai
pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang
menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam di dalam diri manusia.
Tamat.
[1] Lihat Prof. Dr. Pe.
Francisco Evaristo Marcos, As Fontes Neoplatonicas
De Santo Agostinho. Algumas Pistas Novas, R. Academica da Prainha,
Fortaleza, hlm 105.
[2] Lihat Pelagianisme, https://id.wikipedia.org/wiki/Pelagianisme,
diakses pada tanggal 6 Mei 2018.
0 Response to "Filsafat Agustinus (Bag 2) - Pemikiran"
Posting Komentar