Toko Pendidikan

Di dalam preambule Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara filosofis, kata “mencerdaskan kehidupan”, paling tidak, dapat diartikan sebagai sebuah upaya membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap dinamika kehidupan yang sangat kompleks.

Orang Miskin Dilarang Sekolah
Sumber: warungarsip
Kesadaran kritis pendidikan, merupakan manifestasi learning process yang mengandaikan sebuah kesinambungan teradap tiga fokus kesadaran yang melekat di dalam diri manusia. Pertama adalah thinking (berpikir), kedua feeling (merasa) dan terakhir doing (melakukan). Pendidikan, dengan demikian, memposisikan dirinya tidak saja sebagai lokus berpikir secara kritis, ia juga melibatkan unsur-unsur sensitivitas (merasa) dalam bentuk keberpihakan terhadap kebenaran dan membangun aktivitas-kreatif (kerja) untuk menjalankan roda kehidupan/kebudayaan.

Ketiga unsur kesadaran itulah kemudian menuntut sebuah ruang yang kita sebut sebagai pendidikan. Lantas apakah ruang yang disebut pendidikan tersebut telah memenuhi tanggung jawabnya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan/atau mencipta “kesadaran kritis”? Atau, justru telah memperangkap kita dalam jejaring sistemik pendidikan yang akhir-akhir ini membuat banyak orang tua di Indonesia merasa segan untuk sekadar memikirkan dana yang harus dibayarkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam menempuh pendidikan?

Pseudo Pendidikan
Alih-alih mencipta dan mencerdaskan kehidupan, pendidikan (khususnya pasca menengah atas) dewasa ini adalah sesosok hantu” kapitalisme yang setiap saat bisa menggerogoti tubuh sosial. Pendidikan tidak ubahnya dengan model “pembangunan-isme” ala Rezim Soeharto yang menganut prinsip-prinsip ekonomi-politik yang berorientasi pada pilihan rasional (rational choice theory) dan menekankan efesiensi.

Penjelasan teoritik dari menonjolnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dalam dunia politik justru lahir pertama kali dari seorang ahli ekonomi, yaitu James Buchanan. Ia telah memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus yang kemudian dikenal sebagai “Teori Pilihan Rasional” (Rational Choice Theory).

James E. Alt dan Alberto Alesina (1996) secara tradisional mengungkapkan bahwa, perilaku ekonomi berarti orang yang memaksimalkan nilai tukar sedangkan perilaku politik menyangkut pemberian suara dan bergabung dengan kelompok kepentingan. Eksistensi paralel dan eksistensi bersama “negara” dan “pasar” dalam dunia modern ini melahirkan apa yang dinamakan “ekonomi politik”. Dalam hal ini, pendidikan dibangun atas dasar hegemoni elit keuasaan yang ditopang oleh pemerintah dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang diambil, termasuk kebijakan pendidikan  menjadi milik bersama dua kekuatan tersebut.

Pendidikan mengalami pembelokan makna ke arah permainan. Tanda komoditas yang saling jalin-menjalin dalam wujud pseudo knowledge (ilmu pengetahuan semu/palsu) yang diatur oleh mekanisme pasar. Alih-alih, menghasilkan kebudayaan, ia justru menciptakan bibit-bibit baru sebuah generasi yang terjebak dalam perangkap logika etalase toko (kapitalisme) yang oleh Jean Baudrillard (seorang Posmodernis asal Perancis) dianggap sebagai the system of object.

Artinya, pendidikan bisa diibaratkan sebagai sebuah etalase toko/mall yang menjadi objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat -konsumen bukan pelajar- melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk (gelar akademik) yang ada di dalam ”toko” pendidikan tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem (pendidikan) untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia berpendidikan”. Dalam sistem ini, akan memunculkan lingkaran setan konsumerisme, di mana seseorang yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu dia juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cinicin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya.

Dengan kata lain, gerak dinamis kesadaran kritis yang ditopang oleh unsur knowing by thinking, feeling and by doing, tidak akan pernah muncul jika saja logika pemenuhan financial capital (modal finansial) sebagai sistem kerjanya. Demikian juga, objektivikasi pasar dalam pendidikan hanya akan menjadikannya sebatas komoditas objek komersialisme ilmu pengetahuan.


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Toko Pendidikan"

Posting Komentar