Tindak Pidana Berjamaah - Membedah Epistemologi Koruptor
Pejabat publik memiliki
peluang yang cukup besar untuk melakukan tindak pidana korupsi. Posisinya dapat
dimanfaatkan sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi. Tujuannya bermacam-macam,
bisa untuk memperkaya diri, kelompok, atau untuk kepentingan serupa pembiayaan
ongkos politik. Singkatnya, para koruptor menari di atas penderitaan rakyat. Bukan tidak tahu, namun
tindakan korupsi masih dilakukan, mengapa demikian?
Super Flamands. Sacha Goldberger. Sumber: pinterest |
Para koruptor berfikir
dalam sudut pandang materialistis sempit, menjadikan pandangan ini sebagai
prinsip dasar mereka dalam berfikir sehingga menjadi kebiasaan yang tertuang
kedalam tindakan sehari-hari. Hingga output
nya mendorong kepada tindakan yang
salah dan merugikan orang lain. Ini merupakan tindakan yang menjadi sumber mala
petaka, baik untuk dirinya dan orang lain.
Koruptor menolak hidup
secara sederhana, sederhana dalam segala aspek karier yang melekat pada dirinya.
Mereka rela melakukan penolakan tersebut dengan cara-cara yang luar biasa kejam
yang disebut dengan korupsi, mengingat tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Apabila segala
sesuatunya selalu dipandang secara materialistis sempit, maka seseorang
khususnya pejabat publik dapat dengan mudah menjadi seorang koruptor. Sebab ia
akan selalu merasa tidak memiliki, hingga pada tingkat paling kuat sekalipun dalam karir jabatannya.
Ilustrasi Uang Pengganti, Sumber: hukumonline |
Kesadaran mental
mengenai tiga epistemologi koruptor mestinya ditanamkan semenjak dini. Segala bentuk
norma, nilai-nilai dalam masyarakat dan agama, serta produk hukum dengan bentuk
paling canggihnya, tetap tidak akan mampu melawan korupsi apabila tidak
dibarengi dengan kesadaran mental mengenai epistemologi koruptor.
0 Response to "Tindak Pidana Berjamaah - Membedah Epistemologi Koruptor"
Posting Komentar