Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 2) - Modernisme dan Cara Pandang Terhadap Agama
Perkembangan masyarakat modern merupakan revolusi
kebudayaan terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Modernisasi adalah pemacu
prestasi manusia dalam memahami dunianya secara rasional setelah
kebekuan pemikiran abad Pertengahan.
Oleh: Fachrizal A. Halim
Mahasiswa University of Saskatchewan
Momentum sejarah peradaban modern merupakan renaisans (renaissance). Renaisans adalah
suatu gerakan yang membawa semangat kelahiran kembali diri manusia dari
belenggu dogma agama abad Pertengahan. Meskipun belum dapat ditentukan kurun
waktu permulaan peradaban modern, akan tetapi gerakan humanisme Italia pada
abad ke-14 dapat dijadikan sebagai awal gerakan modernisasi (Harun Hadiwijono,
1993 : 11). Humanisme Italia tersebut merupakan gerakan pembaharuan di bidang
kerohanian, kemasyarakatan, dan kegerejaan yang bertujuan untuk menyempurnakan pandangan
hidup Kristiani.
Modern Art, Sumber: Giphy |
Gerakan pembaharuan
tersebut, menurut Harun Hadiwijono dilaksanakan dengan menghubungkan hikmah
klasik dengan wahyu. Hikmah klasik dijadikan sebagai penuntun untuk
meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan
kecakapan-kecakapan alamiah manusia (1993 : 11). Namun dalam perkembangan
selanjutnya humanisme berkembang bukan lagi sebagai gerakan pembaharuan untuk
kesempurnaan iman Kristiani, melainkan telah mengarah pada aspek-aspek yang
profan dalam hidup manusia. Manusia tidak lagi terpaku pada wahyu dan dunia
akhirat, tetapi lebih menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagaimana
adanya.
Di dalam Renaisans manusia mulai memperhatikan segala hal
yang konkrit berupa alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah. Manusia
mulai berusaha memahami dunia dan dirinya sendiri serta hidup dan kehidupannya.
Hal tersebut merupakan permulaan pengukuhan relasi subjek (rasio), wacana dan
dunia. Relasi tersebut kemudian berkembang subur dalam peradaban modern.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektifitas
individu atas alam semesta, tradisi dan agama.
Manusia dalam subjektifitasnya, dengan kesadarannya dan dalam
keunikannya, menurut Franz Magnis telah menjadi titik acuan pengertian terhadap
realitas (1992 : 60). Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu
pada dirinya sendiri. Supremasi keyakinan teologis telah melebur dalam
relasi-relasi kehidupan. Kekuasaan Tuhan atas alam semesta telah diambil oleh
subjektifitas manusia sebagai penakluk alam semesta. Manusia menjadi lebih
bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain
diluar dirinya sendiri. Manusia berkembang sebagai makhluk pekerja (homo faber)
yang bebas untuk menata kehidupannya di dunia.
Dalam konteks keyakinan teologis, menguatnya
subjektifitas manusia modern menunjukkan dimulainya kebebasan individu dalam
menolak kepercayaan yang tidak sesuai dengan suara hatinya. Gereja sebagai
pemegang otoritas agama tidak lagi dipahami sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Tafsiran arti kitab suci
bukan lagi hak para pemimpin gereja, melainkan setiap orang
berhak membaca dan merenungkan kitab suci sendiri
(Franz Magnis, 1992 : 63).
Kebebasan manusia atas kekuasaan yang datang dari luar
dirinya menandai mulainya zaman "Pencerahan" (Aufklrung). Zaman
Pencerahan adalah zaman akal. Sebagaimana dijelaskan Immanuel Kant, zaman
Pencerahan adalah zaman manusia keluar dari keadaan tidak akil balik yang
disebabkan karena manusia tidak memanfaatkan akal budinya (Harun Hadiwijono,
1993 : 47). Pada zaman ini kesadaran manusia untuk melepaskan diri dari ikatan
mitos tentang rahasia dunia semakin kuat.
Pencerahan adalah sebuah periode dalam sejarah yang
membentuk ajaran hidup, motto serta aturan-aturannya sendiri. Pencerahan
meruapakan sebuah periode yang mampu menggambarkan apa yang harus dilakukan
dalam hubungannya dengan sejarah umum pemikiran dan kekiniannya, serta
bentuk-bentuk pengetahuan, kebodohan dan ilusi yang memungkiknkan manusia untuk
sanggup menyadari kondisi historis yang dihidupinya (Foucault, 1988 : 89).
Esensi Pencerahan adalah 'energi hidup' (lan vitale) yang
berusaha menghargai keutamaan akal budi sebagai penuntun kehidupan manusia
dalam sejarah yang dijalankannya (Hikmat Budiman, 1997 : 23). Akal budi Pencerahan
kemudian membentuk disensus terhadap sistem pemikiran yang telah mapan dalam
institusi-institusi kerohanian dan kerajaan abad Pertengahan. Para pemikir
Pencerahan berkeyakinan bahwa kebenaran ada di kepala (akal) setiap orang. Oleh
karena itu manusia harus berpartisipasi untuk menyempurnakan diri secara
personal. Dengan demikian semangat Pencerahan telah membentuk suatu keyakinan
bahwa apa yang sebelumnya dianggap universal dan mutlak sudah saatnya
diragukan.
Menurut Hikmat Budiman, inti masalah yang dihasilkan dari
pemikiran Pencerahan adalah pemisahan keutuhan antara dimensi-dimensi subjek
dan objek pengalaman umat manusia. Pemisahan tersebut kemudian termanifestasikan
dalam sejumlah dikotomi berupa teoritis-praktis,
pikiran-badan, ilmiah-moral, fakta-nilai, publik-privat,
alam-budaya dan sebagainya. Manusia Pencerahan adalah mereka yang telah
menjalani denaturalisasi dan desosialisasi alam secara bersama-sama. Identitas manusia
modern adalah budaya (culture), karena kebudayaan dengan sendirinya merupakan
jalan bagi pemerdekaan manusia dari
relasi-relasi yang penuh dengan mitos tradisonal. Manusia Pencerahan adalah
sosok personal yang sempurna melalui pembudayaan dengan pedoman akal budi (1997
: 29).
Zaman Pencerahan telah menempatkan arti penting rasio
sebagai sesuatu yang mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental.
Rasio dijadikan sebagai kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.
Melalui dialektika pemikiran para pemikir Pencerahan, kebudayaan modern
berkembang dalam sejarah peradaban dunia. Immanuel Kant yang memunculkan konsep
"kritisisme" telah membentuk prinsip-prinsip kehidupan yang
berlandaskan pada batas-batas kemampuan dan syarat kemungkinan rasio. Menurut
Ahmad Sahal, kritisisme Kant tersebut selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan
prinsip universal (Ahmad Sahal, 1994 : 13). Keunggulan rasio dianggap mampu mengatasi
semua pengalaman yang bersifat partikular dan khusus, sehingga dapat
menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak yang universal.
Keunggulan rasio yang mampu menghasilkan kebenaran mutlak
tersebut semakin jelas dalam pemikiran Hegel. Dalam pandangan Hegel, sejarah
adalah gerak rasionalitas yang
menaik secara dialektis
untuk mencapai totalitas (Ahmad Sahal, 1994 : 13). Semua
unsur yang berbeda dan terpisah, dalam konsep Hegel dipandang sebagai kriteria
yang harus disatukan dalam totalitas. Tidak ada satu kriteria pun yang dapat
terpisah dari dialektika rasio dalam rangka mencapai totalitas absolut. Oleh
karena itu modernitas tidak hanya dipandang sebagai proyek kekinian, melainkan
meliputi kondisi historis yang melatarbelakanginya. Dialektika adalah konsep
waktu yang bergerak terarah, dan didalamnya manusia mengalami waktu sebagai
sumber yang langka untuk memecahkan masalah. Dengan kelangkaan itu manusia memandang
masa kini sebagai suatu peralihan ke masa depan yang diharapkan lebih baik dari
sebelumnya (Budi Hardiman, 1993 : 185). Rancangan masa depan yang lebih baik
tersebut dijadikan landasan bagi kebudayaan modern. Ilmu pengetahuan, moralitas,
dan seni berkembang dengan rasio sebagai proses kemajuan yang bersifat
dialektis. Pengukuhan rasio sebagai
dasar metode pemikiran telah memperjelas perpecahan antara filsafat dan agama. Hal
tersebut pernah diantisipasi oleh Hegel dengan menempatkan agama dalam proses
dialektika menuju totalitas etis. Dalam pandangan Hegel, agama dapat diterima
dan menjadi unsur kehidupan publik kalau ajaran-ajarannya berdasarkan rasio
universal. Subjektifitas yang bebas adalah usaha Roh untuk mengatasi
keterasingan yang membelenggu. Seperti dikemukakan Budi Hardiman (1993 : 187) :
Hegel menjelaskan bahwa agama Kristen membebaskan diri dari legalisme agama
Yahudi, agama Protestan menyingkirkan pemujaan-pemujaan terhadap benda-benda
sakral dalam agama Katholik abad Pertengahan, dan akhirnya agama rasional dalam
filsafat Kant mengatasi dogmatisme iman Protestan.
Menurut Budi Hardiman (1993 : 188-189), ide rekonsiliasi
rasio terhadap agama seperti dikemukakan Hegel tersebut bertujuan untuk
menghindari demitologisasi agama. Hegel cenderung lebih lunak dalam memandang
agama, karena agama masa lalu merupakan dasar yang penting dalam dialektika
menuju totalitas etis. Agama tidak dipandang sebagai mitos yang harus disingkirkan,
melainkan sebagai pangkal demi tercapainya cita-cita sosial. Akan tetapi upaya
Hegel tersebut tidak dapat sepenuhnya terlaksana, karena rasio Pencerahan masih
merupakan negasi terhadap agama. Hegel tidak dapat membendung aneka ragam rasio
yang berpusat pada subjek. Seperti dikemukakan Habermas, cita-cita totalitas
etis Hegel tersebut pada dasarnya adalah komunikasi intersubjektifitas. Namun
Hegel mengalihkan penyelesaian itu dan melangkah pada subjek yang transenden
berupa Roh Absolut.
Melalui rekonsiliasi dalam Roh Absolut, Hegel mengharapkan terciptanya tatanan masyarakat
rasional yang mampu mengatasi konflik kepentingan, sehingga praktek
administrasi birokratis sebagai agen masyarakat rasional mendapat pembenaran.
Konsep Roh Absolut Hegel tersebut ternyata mengabaikan realitas kehidupan
manusia sehari-hari. Roh tidak mampu mengatasi keterasingan akibat rasio yang
dikembangkan oleh manusia. Pada titik inilah pemikiran Hegel ditolak oleh para
pengikutnya yang dikenal sebagai kaum Hegelian Kiri.
0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 2) - Modernisme dan Cara Pandang Terhadap Agama"
Posting Komentar