Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 2) - Transformasi Syiah ke Wilayah Iran
Iran merupakan wilayah yang memiliki luas
hampir 1,65 km², Ia juga memiliki kedudukan unik sebagai satu-satunya negeri Islam yang
menjadikan syiah sebagai mazhab resmi dan mayoritas penduduknya bermazhab
syiah, lebih tepat lagi mazhab syiah Itsna ‘asyariyah. Memang, terdapat
kelompok besar syiah itsna ‘asyariyah yang penting di Irak dan
kelompok-kelompok kecil di Libanon, Bahrain serta daerah-daerah lainya. Namun
secara keseluruhan, komunitas syiah itsna ‘asyariyah hanya 8%[1] dari komunitas umat Islam dunia,
dibandingkan pengikut mazhab sunni yang berjumlah 90%.[2] Syiah itsna ‘asyariyah mempunyai
banyak nama sebutan yang lain seperti syiah Imamiyah, mazhab ja’fari, atau
mazhab ahlul bait.
Muslim Ummah, Sumber: Kelas Kita |
Transformasi syiah ke Iran (Persia)
mencerminkan proses historis yang panjang dengan beberapa faktor pembentuknya, diantaranya
:[3]
- Tiadanya fanatisme kebangsaan, kepentingan-kepentingan
kelompok, dan motif-motif kesukuan pada masyarakat Iran. Sebab, mereka
tidak bernisbat pada salah satu kabilah diantara kabilah-kabilah Quraisy
atau kabilah-kabilah lain yang ada di Semenanjung Arab. Kefanatikan dan
kepentingan kelompok tidak menghalangi mereka dari jalan dan mazhab Ahlul
bait.
- Tradisi keilmuan yang telah berkembang di Iran memberi
mereka semangat untuk mengkaji Islam yang mengklaim memerintahkan pada
ilmu pengetahuan dan membuang taklid buta. Oleh karena itu, para penganut
Majusi di tengah mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu setelah mempelajari
Islam. Mereka berdialog dengan kaum muslimin dan mendalami ajaran Islam,
kemudian masuk Islam tanpa dipaksa.
- Kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib yang mengesankan
bagi masyarakat Iran. Misalnya, sewaktu para tawanan dari Iran di bawa ke
Madinah, Imam Ali membela dan memberikan hak-hak mereka yang saat itu
sebagian telah diabaikan. Terutama terhadap putri Kisra, Syah Zanan dan
Syahr Banu yang mana, Imam Ali menyuruh dua orang putri Kisra untuk
memilih pemuda Islam untuk menikahinya. Syah Zanan memilih Muhammad bin
Abu Bakar, sedangkan Syahr Banu memilih Imam Husain. Dari keturunan
keduanya kelak lahir para Imam-Imam Syiah. Ini merupakan salah satu sebab
penting ketertarikan penduduk Iran pada pribadi Imam Ali.
- Hubungan penduduk Iran dengan Salman al-Farisi yang
memiliki keagungan dan kemuliaan serta menjadi pengikut setia Imam Ali.
Namun demikian tahap terpenting
perkembangan Syiah di Iran terjadi pada masa berkuasanya Dinasti Buwaihi dan
Dinasti Safawid pada abad ke-16. Yang mana pada saat itu terbentuk suatu
jaringan ulama utuh, menyeluruh dan terbuka secara progresif.
Sejak abd ke-15 M, pengikut Syiah
bertaburan di seluruh pelosok negeri Islam dalam kelompok-kelompok kecil,
termasuk orang Arab maupun Iran. Suatu perubahan besar terjadi pada 1501 ketika
seorang pemimpin – belakangan dikenal sebagai Syah Ismail – menaklukkan
sebagian besar daerah Iran, dan mendirikan Dinasti Safawid dengan menjadikan
mazhab Imamiyah sebagai mazhab resmi di wilayah kekuasannya. Secara bertahap
penaklukan ini mengarah kepada suatu pemusatan kaum syiah di Iran, di samping
sekelompok besar masyarakat Irak di mana terdapat tempat-tempat suci Imamiyah
yang penting, dan beberapa kelompok kecil di daerah lainnya.
Setelah menaklukkan Iran awal abad
ke-16, Syah Ismail mengundang para ulama syiah dari berbagai daerah lainnya ke
Iran.[4] Menurut Olivier Roy, hal ini ia
lakukan untuk membersihkan diri dari asal-usul mereka yang murni kesukuan dan
sektarian agar bisa membangun negara yang stabil. Mereka memilih syiah itsna
‘asyariyah sebagai mazhab resmi negara,[5] dan para Syah Iran mengklaim
memerintah pada saat gaibnya Imam ke-12.[6]
Kendatipun pada awalnya, ulama-ulama
ini sangat tergantung kepada Syah Ismail, namun secara bertahap mereka
memapankan diri dan diterima secara umum.[7] Hanya mereka yang mengepalai
pengadilan-pengadilan agama, meskipun terdapat pengadilan-pengadilan adat
lainnya yang tidak dicampuri para ulama. Terdapat suatu lembaga keagamaan yang
belum sempurna, karena ulama di masa itu memiliki seorang wakil di pengadilan
yang dikenal dengan shadr, dan orang inilah yang memilih kepala
penasehat hakim dengan gelar Syeikh Islam.
Iran juga menjadi pusat kesarjanaan
syiah, dan terjadi perkembangan-perkembangan dalam lapangan hukum serta
teologi. Dinasti Safawid terus memerintah Iran hingga 1722, dan pada waktu itu
syiah telah sangat mapan. Bagian selanjutnya abad ke-18 merupakan suatu periode
yang tidak menentu dengan ditaklukkannya Iran oleh panglima perang Afghan dan
penguasa sunni, Nadir Syah (1736-1747). Akan tetapi syiah tetap merupakan
mazhab yang berpengaruh di Iran. Dinasti Qajar, yang mulai berkuasa menjelang
penghujung abad tersebut hingga 1924, membutuhkan dukungan ulama-ulama Imamiyah
dan sebagai imbalannya, balik mendukung mereka.[8]
Kemudian terjadi perkembangan, yang
mana mulai diterima secara luas pandangan yang dikemukakan para ulama bahwa
hanya mereka – berdasarkan pengetahuan mengenai Al-quran, hadis dan ajaran para
imam – yang dapat menafsirkan agama kepada orang-orang sezaman dengan mereka.
Akibatnya adalah kekuasaan militer tidak memberikan kepada pemegangnya hak
untuk memerintah. Kekuasaan hanya sah jika penguasanya bertindak selaras dengan
ajaran-ajaran keagamaan. Seluruh kekuasaan lainnya adalah tidak sah.
Kepercayaan kepada Imam Mahdi dipandang secara tidak langsung bermakna bahwa
lembaga keagamaan berada di atas penguasa yang sebenarnya. Implikasi semacam
ini, hingga taraf tertentu diakui Dinasti Qajar karena mereka membutuhkan
dukungan lembaga keagamaan. Namun hal ini tidaklah berarti para penguasa selalu
mengerjakan yang dikehendaki ulama.
Selama abad ke-19 dinasti Qajar
mengambil langkah-langkah tertentu untuk memperbarui negerinya secara
kecil-kecilan, dan kebijakan ini ditentang para ulama karena mencemaskan bahwa
pembaruan tersebut akan mengarah kepada penggembosan kekuasaan mereka. Namun
sejauh kaum fakir miskin dan pedagang pasar dapat dipengaruhi, maka ulama mampu
memperoleh reputasi sebagai pembela masyarakat awam menentang penguasa-penguasa
yang menindas.[9]
Bersambung..
Baca juga:
[1] Menurut Seyyed Hossein Nasr
persentasi syiah di dunia bukan 8 %, tapi mencapai 13 %. Beberapa negara
berpenduduk mayoritas syiah seperti Iran (90 %), Irak (70 %), Azerbaijan,
Bahrain, dan Libanon. Sementara India, Pakistan, Afghanistan, Suriah, Arab
Saudi, Turki, negara-negara Teluk Persia dan Afrika Timur, Asia Tengah,
termasuk Indonesia, syiah menjadi minoritas. Lihat Seyyed Hossein Nasr. The
Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (Bandung:
Mizan, 2003), h.79. Nasir Tamara, Agama dan Revolusi di Iran: Peranan Aliran
Syiah sebagai Ideologi Revolusi. dalam Al-Chaidar. ed. Islam, Fundamentalisme
& Ideologi Revolusi. (Madani Press, 2000), hlm 45.
[2] Lihat William
Mongomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufiq Adnan
Amal. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263. Bandingkan dengan
Olivier Roy. Gagalnya Islam Politik. (Jakarta: Serambi, 1992), hlm 211-212.
[3] Disarikan dari Sayid Muhammad
al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahhari Press, 2005), hlm 63-65.
[4] Untuk mengetahui sejarah Iran pra
abad ke-6 belas dapat dibaca dalam Vladinir
Minorski. Iran: Oposisi, Kesyahidan dan Pemberontakan. dalam Gustave L.
Von Grunebaum. Islam Kesatuan Dalam Keragaman. (Jakarta: Karya Unipres,
1975), hlm 211-237.
[6] Lihat John L. Esposito. Ancaman Islam:
Mitos atau Realitas. Terj. Alwiyah Abdurrahman. (Bandung: Mizan, 1995), h.
114. Dilip Hiro. Iran Under the Ayatollahs. (New York: Routledge Kegan
Paul Inc. in association with Methuen Inch, 1987), hlm 15.
[7] Ada beberapa faktor yang menyebabkan ulama Syiah lebih
mandiri, diantaranya: Pertama, pengelolaan zakat dan khumus (bagian
seperlima dari pendapatan tertentu) umat secara langsung oleh para mujtahid
dari. Zakat itu digunakan untuk membiayai
banyak lembaga dan pelayanan luas dalam bidang pendidikan dan sosial. Sistem
zakat dan khumus serta wakaf juga menjamin otonomi keuangan, dan karena itu
menjadi otonomi politik dari para ulama terhadap penguasa negara. Kedua, hierarki
dan kekuasaan ulamanya lintas geografis, artinya tidak terbatas pada wilayah
Iran saja.
0 Response to "Negara Syiah Modern, Republik Islam Iran (Bag 2) - Transformasi Syiah ke Wilayah Iran"
Posting Komentar