Civil Society dan Otonomi Daerah (Bag 1) - Prolog
Perbincangan
mengenai civil society di Indonesia mulai berkembang sejak dekade 1970
bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat di Indonesia.
Maraknya wacana civil society juga dipengaruhi oleh berbagai peristiwa
politik dunia yang mendesak proses demokrasi ke berbagai belahan dunia. Desakan
demokratisasi dan redemokratisasi ini oleh Huntington dinilai sebagai
“gelombang demokrasi ketiga”.[1]
Ciri dari gelombang demokratisasi ketiga ini diantaranya adalah perubahan lebih
bersifat global dari sebelumnya, dan sebagai konsekuensinya mempengaruhi lebih
banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang bersifat otoritarian dan
totaliter. Dengan kata lain demokrasi merupakan suatu sistem politik yang
bersifat keharusan.[2]
Paris Street Rainy Day - Gustave Caillebotte, Sumber: nocaptionneeded |
Dalam
konteks Indonesia, gaung demokratisasi yang dimulai sejak tahun 1990-an dan
mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden
Suharto, tidak dapat melepaskan dari peranan masyarakat atau civil society dalam
proses tranformasi demokrasi tersebut. Dan, pengaruh reformasi di tingkat
nasional dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Berbagai
tuntutan keadilan regional bahkan pemisahan diri mulai bermunculan. Kondisi
sosial politik di daerah ini merupakan salah satu faktor yang mendorong
Pemerintah Pusat mencairkan sentralisme kekuasaan yang sudah sekian lama berada
di tangannya. Otonomi daerah dijadikan semacam kebijakan untuk meresolusi
konflik pusat-daerah itu dengan pemberian otoritas politik, administratif, dan
ekonomi yang sangat luas kepada daerah.
Pada
umumnya dalam perspektif teori liberal tentang negara berpendapat bahwa
demokrasi lokal memberi kontribusi yang positif terhadap kematangan
demokrasi nasional (national democracy). Hal ini disebabkan banyaknya
kesempatan bagi berkembangnya partisipasi dalam menentukan kebijakan pemerintah
karena adanya iklim demokrasi yang menghargai pendapat dan kebebasan berbicara.
Dengan demikian demokrasi lokal (local democracy) menjadi sangat
besar perannya dalam mendukung demokrasi nasional. Oleh karena itu pemberian
otonomi yang seluas-luasnya pada daerah justru akan sangat berpengaruh pada
kehidupan demokrasi negara secara keseluruhan.
Berbagai
pandangan yang menyebutkan bahwa pemerintahan daerah merupakan cara yang
terbaik dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, bersandar pada dua
asumsi. Pertama, kehidupan demokrasi di tingkat pemerintahan daerah akan
berimbas pada baiknya kehidupan demokrasi di tingkat nasional. Pada
tingkat nasional ini terkait dengan pendidikan politik, latihan dalam
kepemimpinan politik dan stabilitas politik. Kedua, mengembangkan
kehidupan demokrasi di tingkat daerah mempunyai manfaat yang sangat besar,
seperti berkembangnya kesamaan (equality), kebebasan (liberty),
dan bersikap tanggap (responsiveness).[3]
Lebih
lanjut Mill mengatakan:
“Local government on the ground that it provides
extra opportunities for political participation, both in electing and being
elected to local offices, for people who otherwise would have few chances to
act politically between national election. Local government extends such
opportunities to the ‘lower grades’ of society, local positions rarely being
sought by the higher ranks”.[4]
Untuk
itu, dalam kerangka civil society, menarik untuk mengkaji sejauhmana
otonomi daerah dapat memainkan peran dalam mengakomodasi berbagai aspirasi
masyarakat, sehingga ia berfungsi sebagai akselerator demokrasi di tingkat
lokal. Makalah ini mencoba mencari jawaban bagaimana konstruksi civil
society mendapat tempat dalam implementasi otonomi daerah.
[1] Samuel Huntington, Gelombang
Demokratisasi Ketiga.Grafiti: Jakarta. 1995
[2] Richard Falk, On Human Government,
Toward a New Global Politics. Pennsylvania State University Press:
Pensylvania. 1995. hlm. 104
[3] Lihat
BC Smith, Desentalization, The Territorial Dimentional of The State, (Australia:
George Allen & Unwim, 1985). hlm. 18-44
[4] John Stuart Mill, Representative
Government, dalam BC Smith Decentralitation the Territorial Dimensional of
The State. Australia: George Allen & Unwim. hlm. 21
0 Response to "Civil Society dan Otonomi Daerah (Bag 1) - Prolog"
Posting Komentar