Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Idealisme Dialektika (Bag 2) - Konsepsi tentang Manusia; Objektifikasi
Hegel menyatakan bahwa kreasi diri manusia merupakan suatu proses. Kreasi
diri tersebut mencakup proses objektifikasi, di mana manusia kehilangan
objeknya dan mengalami proses pengasingan diri.[1]
Van Gogh Pair of Shoes 1886. Sumber: An und für sich |
Oleh: D. Iqbal Christian
Pandangan tentang pengasingan diri sebagai proses objektifikasi sangat
menarik untuk dikaji. Konsepsi ini telah menempatkan manusia sebagai makhluk
khusus yang berbeda dari makhluk lainnya, misalnya binatang. Hegel dengan
sendirinya berupaya mencari titik pembeda (al fashl/differentia) antara
manusia dengan makhluk hidup lainnya. Agaknya, ketika Adam A.S diciptakan pasti
merasa terasing dan berbeda dengan makhluk lainnya. Memakai metode
objektifikasi (versachlichung) Hegel, Adam A.S. mulai menempatkan
dirinya sebagai objek baru dan berusaha mengembangkan “perbedaan”
dirinya berupa meningkatkan kekuatan-kekuatan khusus dengan seperangkat kerja.
Hegel –yang pernah lama menjomblo ini- berusaha menduga bahwa
kekuatan-kekuatan khusus yang dimiliki manusia itu adalah akal. Barangkali dari
sinilah dasar falsafah idealisme yang menjadi madzhabnya bermula.
Lebih lanjut
tentang objektifikasi, sebuah dunia dalam pandangan Hegel, dialami sebagai
suatu kenyataan yang objektif. Ia mempunyai sejarah yang mendahului
kelahiran individu dan tidak bisa dimasuki oleh ingatan biografisnya. Dunia itu
sudah ada sebelum ia lahir, dan akan tetap ada sesudah ia mati. Sejarah itu
sendiri, sebagai tradisi lembaga-lembaga yang ada, mempunyai sifat objektif.
Biografi individu dipahami sebagai suatu episode yang terletak dalam sejarah
masyarakat objektif. Lembaga-lembaga itu, sebagai faktisitas-faktisitas
historis dan objektif, dihadapi oleh individu sebagai fakta-fakta yang tidak
bisa disangkal lagi.
Lembaga-lembaga
itu sudah ada di sana, di luar diri individu, tetap bertahan dalam
kenyataan mereka, tak peduli apakah ia suka atau tidak. Ia tidak bisa berharap
agar lembaga-lembaga itu lenyap. Lembaga-lembaga itu bertahan terhadap
upaya-upayanya untuk mengubah atau menghindari mereka. Mereka mempunyai
kekuatan yang memaksa terhadapnya, baik pada dirinya sendiri, hanya dengan
kekuatan faktisitas mereka semata-mata, maupun melalui mekanisme-mekanisme
pengendali yang biasanya dicantelkan kepada yang paling penting di antara
mereka. Kenyataan objektif lembaga-lembaga itu tidak berkurang apabila individu
tidak memahami tujuan mereka atau cara kerja mereka. Ia mungkin akan merasa
banyak bagian dari dunia sosial sebagai tidak bisa dipahami, barangkali
dirasakannya sebagai menekan dalam kekaburannya, namun demikian tetap nyata.
Oleh karena lembaga-lembaga berada sebagai kenyataan eksternal, maka individu
tidak dapat memahami mereka melalui introspeksi. Ia harus “keluar” dan harus
belajar mengetahui tentang mereka, sama seperti ia harus belajar mengetahui
tentang alam. Hal ini tetap berlaku meskipun dunia sosial, sebagai satu
kenyataan buatan manusia, secara potensial bisa dimengerti dengan cara yang
tidak mungkin terjadi dalam dunia alamiah.[2]
Objektifikasi
dalam kaitannya dengan konsepsi kerja sebagai esensi manusia, paling tidak bisa
dipahami “Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi dan
begitu pula halnya dengan setiap lembaganya. Dengan kata lain, meskipun dunia
sosial dalam pengalaman manusia ditandai oleh objektivitas, ia dengan itu tidak
memperoleh status ontologis terlepas dari aktivitas manusia yang
menghasilkannya”.[3]
Akar nalar Hegel sangat historis dan compatible dengan
pernyataan terkenalnya “I’m an Historian”
Bersambung..
Baca juga:
0 Response to "Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Idealisme Dialektika (Bag 2) - Konsepsi tentang Manusia; Objektifikasi"
Posting Komentar