Sinisme Agama Terhadap Hermeneutik
Hermeneutik (interprestasi) dengan segala
kontroversinya, bagi beberapa kalangan agama terkadang masih menaruh semacam
kecuriagaan terhadap hermeneutik.Tulisan ini kurang lebih mencoba mengurai
duduk perkaranya. Sebelum masuk kepada pembahasan judul di atas, kiranya
lebih baik kita mengetahui apa dan bagaimana hermeneutika.
Seperti
pada umumnya hermeneutik mempunyai dua cara pengertian yaitu, secara luas/umum
dan sempit/khusus. Secara umum dapat diartikan sebagai segala pegetahuan
mengenai penafsiran, dalam bahasa yunani hermeneia/hermeneuin
(menafsir). Hal ini sudah dimulai sejak zaman Aristoteles. Dalam
pengertian secara umum sebenarnya segala bentuk tafsir yang sudah
dikembangkan oleh berbagai tradisi termasuk takwil, tafsir hukum, dan lain
sebagainya bisa kita sebut sebagai hermeneutik dalam arti yang umum. Hampir
segala disiplin ilmu, tradisi, dan agama, masing-masing mengembangkan bagaimana
cara menafsir kitab suci, Semua itu sebenarnya bisa disebut sebagai
hermeneutika, atau dengan kata lain filsafat tafsir, namun masih dalam arti
yang luas.
René Magritte, The Philosophers Lamp, private collection 1936, Sumber: Linkedin |
Kemudian mulai menjadi pro dan kontra ketika memasuki
arti sempit/khusus. Dahulu dalam tradisi barat muncul semacam madzhab tertentu
dalam menafsir yang dipelopori oleh Martin Haidegger (Jerman), Hans-Georg
Gadamer (Jerman), Paul Riqouer (Prancis). Hal tersebut menjadi sesuatu
yang unik dan khas, sekaligus menjadi pro dan kontra. Dalam beberapa hal mereka
bertiga tidak sependapat (Gadamer adalah murid dari Haidegger, Riqouer adalah
murid dari Gadamer), namun pada wilayah arti sempit hermeneutik, terdapat
kesamaan diantara mereka, yaitu:
Pertama, hidup adalah menafsir. Sebenarnya
dalam segala hal ketika dalam keadaan sadar, kita melakukan aktifitas menafsir
terhadap segala sesuatu. Misalkan ketika kita melihat matahari, dalam benak
kita, kita akan melakukan aktifitas menafsir, lalu ketika mendengar kegaduhan,
kitapun melakukan penafsiran terhadap suara tersebut, ketika mencium bau
sesuatu, kitapun pasti menafsir bau tersebut. Intinya dalam segalahal
ketika kita sadar, setiap detik kita melakukan aktifitas menfsir sesuatu.
Kedua, tidak ada hal dalam dunia manusia ketika
sadar yang tanpa tafsir, bahkan disebutkan pula bahwa aktifitas alam bawah
sadarpun menafsir (walau tidak selalu menafsir kata, tetapi
imajinasi). Misalnya ketika kita tidur dan bermimpi, kemudian merasa
takut, senang, gelisan dan sebagainya, kesemuanya itu adalah hasil dari
menafsir terhadap imajinasi. Tanpa tafsir, kita tidak akan bisa bereaksi.
Kita akan selalu menafsirkan segala hal (walau
terkadang tidak sistematis), dari sini mulai muncul masalah, karena harus
menghadapi dunia ilmiah yang diukur melalui objektifitas ilmiah
pula. Kemudian menghadapi dunia agama yang erat dengan kitab-kitab
sucinya.Kitab suci yang diyakini sebagai ucapan Tuhan sendiri dan biasanya
sangat sakral, tidak boleh diperkarakan, dan lain sebagainya sebagaimana sakralnya
kitab suci itu sendiri (atmosfer seperti ini masih kental dalam masyarakat kita
yang sebetulnya bagi saya sangatlah naif). Lalu apakah hal ini bisa
melepas kita menjadi tanpa tafsir terhadap hal sakral yang melekat pada
kitab-kitab suci? tentu tidak, secara manusiawi kita akan tetap menafsir hal
tersebut, bedanya hanya pada mereka yang mempunyai otoritas tertentu dalam
masyarakat yang bisa secara bebas dapat mengungkapkan atau menyampaikan
tafsir-tafsir terhadap kitab suci, selain dari pada mereka yang mempunyai
otoritas tersebut, ada faktor-faktor tertentu pula dalam masyarakat yang
menahan sehingga tidak bebas mengungkapkan tafsir-tafsir terhadap kitab suci.
Jika sudah demikian, semua orang mulai menafsir
kitab suci. Artinya ucapan sakral Tuhan dalam kitab suci sudah tidak
menjadi sakral dan suci lagi, karena tercampur oleh penafsiran-penafsiran kita
masing-masing (lebih luas lagi antar kelompok madzhab, masyarakat, lembaga, dan
hari ini ada beberapa kelompok ekstrem yang karena tafsirannya hendak mendirikan
negara berdasar pada keyakinan yang ditafsirnya) sehingga sangat mungkin bukan
menjadi sesuatu yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Tuhan, hingga pada tingkatan
tertentu menjadi kekacauan.
Bahasa
merupakan simbol dan alam pikir yang khas bagi kita untuk berkomunikasi dan
memahami makna terhadap sesuatu. Simbol-simbol inilah yang pada awalnya
diciptakan dan dikumpulkan untuk memahami sesuatu kemudian menjadi
pembatas terhadap sesuatu yang sudah dinamai. Kitab
suci yang disebut-sebut sebagai perkataan Tuhan yang suci, ketika Ia
(Tuhan) menyampaikan gagasan/firmanNya kepada manusia, secara otomatis harus
menggunakan simbol-simbol (bahasa) tertentu untuk masuk kedalam dunia manusia
yang berarti bahwa pemikiran Beliau akan terperangkap didalam tafsir dan
kerangka bahasa. Hal ini menjadi sulit untuk kitab suci menjadi universal,
karena untuk memaknai secara universal, manusia harus menafsir pada tingkat
selanjutnya, sehingga kemudian tercipta standarisasi atau metode-metode
terhadap cara menafsir kitab suci, yang tidak bisa kita pungkiri pula bahwa
standarisasi atau metode-metode terhadap bagaimana cara menafsir kitab suci itu
sendiri adalah hasil dari panafsiran pula.
Melihat
sejarah perjalanan kitab suci ini tidak akan lepas dari si penerima pesan
sang Causa prima (Tuhan), penerima pesan yang dipercaya
oleh Tuhan inilah yang Ia anggap sebagai sesuatu dikalangan manusia yang
sanggup menerjemahkan dan menafsirkan jalan pikiran Tuhan yang kemudian
disampaikan kepada manusia secara luas. Kemudian timbul permasalahan setelah
penerima pesan kepercaan Tuhan ini telah tiada/wafat. Karena kemudian siapa
yang akan sanggup memahami, menerjemahkan, dan meafsirkan perkataan-perkataan
Tuhan dalam kitab suci.
Dalam
literatur islam, Al-quran misalnya. Tuhan menjamin bahwa siapapun tidak akan sanggup
merubah dan mengutak-atik barang sedikitpun tulisan di dalamnya. Tapi kemudian
yang menjadi menarik adalah, walaupun isi tulisannya tidak dapat diubah, akan
tetapi penafsiran dari isi kitab suci yang satu ini sangatlah mudah untuk
berubah, dan menjadi suatu keniscayaan ketika sudah memasuki struktur bahasa
maka timbul penafsiran-penafsiran (walau ada metode-metode bagaimana
menafsirkannya, tetap saja metode-metode tersebut juga hasil dari penafsiran). Kitab
suci ini sendiripun sangat banyak menimbulkan berbagai penafsiran, selanjutnya
dalam Islam mengenal sunnah, yang juga sangat memungkinkan terjadinya banyak
penafsiran yang berbeda (bahkan di tingkatan ulama hal ini terjadi), Sedangkan
penerima dan penafsir pesan kepercaan Tuhan sudah tiada.
Dalam
literatur dan sejarah Islam pula kita dapat menemukan bahwa, kesadaran sang
Nabi SAWW akan terjadinya hal-hal tersebut maka, sang Penerima pesan yang agung
ini memandatkan kepada yang benar-benar sanggup untuk mengartikan dan memahami
jalan pemikiran sang Causa prima. Karena
jika manusia seperti pada kebanyakan, sangat memungkinkan terjadinya perbedaan
tujuan antara Tuhan dan kita. Maka dari itu sang penerima pesan memandatkannya
kepada yang sanggup menafsirkan maksud sesungguhnya Tuhan. Seperti
yang beliau katakan sebelum kepergiannya sebagai berikut:
sesungguhnya
aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian
berpegang dengannya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu Kitabullah, dan
‘itrahku ahlul-baitku” [At-Tirmidziy, no. 3786]
Hal
tersebut juga disampaikan oleh Muslim, Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Mustadrak Al-Haakim, dan yang lainnya.
–
0 Response to "Sinisme Agama Terhadap Hermeneutik"
Posting Komentar