Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 1) - Awal Kemunculan



“Pergolakan politik muncul kembali, Tidak ada pengganti laki-laki untuk menjadi pemimpin yang masih berhubungan dekat dengan keluarga. Antar ulama dan antar kaum elit bangsawanpun saling berseteru”


Safiatuddin, Sumber: Aceh Tourism

Kala itu pada abad ke-16, bangsa Eropa sudah menjelajahi lautan mengunjungi tempat-tempat diberbagai belahan bumi. Mereka mencari sumber keuntungan yang dapat digunakan untuk memperkuat perekonomian bangsanya. Mereka rela menghabiskan banyak logistik dan bersaing dengan berbagai negara dalam perjalanannya mencari rempah-rempah, Primadona bernilai jual tinggi kala itu.

Nusantara merupakan wilayah yang menjadi surga tempat rempah-rempah tumbuh subur, sehingga para penjelajah bangsa Eropa berbondong-bondong mendatangi wilayah Nusantara untuk menguasai komoditi rempah-rempah. Nilai jualnya tidak sembarangan, belum lagi banyaknya makelar rempah yang membuat harga rempah meninggat hingga 1.000%.[1]

Rempah-rempah semisal lada, memiliki banyak kegunaan. Pada umumnya kita mengetahui bahwa lada adalah salah satu bahan penyedap atau pelengkap makanan. Namun selain itu, lada juga berfungsi sebagai pengawet alami, bahan obat-obatan, minyaknya dapat diambil untuk digunakan sebagai wewangian, dan lada juga dapat digunakan sebagai alat tukar layaknya uang pada masa itu.[2] Melihat potensinya, lada menjadi sumberdaya yang menjanjikan dimasa depan bagi orang yang mampu menguasainya.

Kegigihan bangsa Eropa demi menguasai komoditi tersebut terlihat ketika mereka mulai merangsek masuk ke wilayah Nusantara dengan berbagai cara. Namun kegigihan mereka tidak mampu menenggelamkan kokohnya armada laut yang dimiliki Aceh sebagai pertahanan dan perdagangan Negara. Bagaimana tidak, kekuatan armada laut yang dipimpin seorang perempuan berpangkat laksamana bernama Keumalahayati, telah memiliki prestasi yang tidak dapat dipandang remeh. Ia mampu membombardir dua buah kapal angkatan laut Belanda dengan pimpinannya bernama Cornelis beserta Frederik de Houtman pada tahun 1599. Tidak sampai di situ, Laksamana Keumalahayati juga pernah berhadapan dengan armada laut utusan Ratu Inggris bernama Sir James Lancaster yang mencoba membobol pertahanan laut Aceh pada tahun 1602.[3] Aceh melanjutkan kegemilangan dalam mempertahankan wilayahnya hingga kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia telah berhasil sebagai kesultanan maritim yang mempertahankan kedaulatan wilayahnya dengan armada angkatan laut serta mengusir Belanda dan Portugis dalam persaingan monopoli sumberdaya alam lada.[4]

Laksamana Keumalahayati, Sumber: Nusantara News
Kesultanan Aceh tidak hanya direpotkan dengan adanya invasi oleh bangsa Eropa tersebut. Selain itu, Sulta Iskandar Muda juga berkonfrontasi dengan wilayah kerajaan di Semenanjung Malaya. Hal ini berlangsung cukup lama hingga Sultan Iskandar Muda mengambil langkah untuk mempersunting Putri Kamilah (Putroe Phang atau Putri Pahang) yang berasal dari Pahang Malaysia menjadi permaisuri.[5] Langkah ini ia ambil setelah melakukan beberapa kali pertempuran yang pada puncaknya Aceh berhasil menaklukkan Pahang, Malaysia. Tidak ingin ada pertikaian lagi dikemudian hari, maka Sultan Iskandar Muda mempersunting Putri Kamilah. Hal tersebut membuat kerajaan Aceh menjadi semakin kuat. Alasan pernikahannya bukan semata-mata karena alasan politik, Sultan Iskandar Muda menunjukkan rasa cintanya dengan membuat sebuah taman bernama Gunongan atau Taman Putroe Phang yang dipersembahkan untuk putri Kamilah.[6]

Sebagai Sultan yang sukses memimpin rakyatnya, ia memendam kegundahan perihal penerus kekuasan, Sultan Iskandar Muda tidak memiliki anak laki-laki, sebab anak lelakinya bernama Meurah Pupok telah ia hukum mati karena telah terbukti berzina dengan seorang istri perwira kerajaan.[7]. Beliau hanya menyisakan seorang putri nan cantik jelita bernama Tajul Alam Safiatuddin.[8] Kegundahan tersebut mengakibatkan munculnya krisis suksesi dalam kesultanannya. Orang-orang kaya yang merupakan kalangan bangsawan[9] mulai menyusun rencana politik untuk saling berkompetisi dalam rangka mencapai kekuasaan tertinggi menjadi seorang sultan Aceh.[10]

Pada masa krisis yang menimbulkan gejolak politik inilah kemudian Sultan Iskandar Muda membuat keputusan untuk memberikan kekuasannya kepada Sultan Husein bin Sultan Ahmad Perak atau lebih dikenal dengan Sultan Iskandar Tsani Alaiddin Mughayat Syah.[11] Putera dari seorang Sultan Pahang yang pernah ia taklukan.

Sultan Iskandar Tsani adalah suami dari Tajul Alam Safiatuddin, anak kesayangan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Tsani memerintah selama 5 tahun (1636 – 1641) hingga ia wafat. Dalam masa kepemimpinannya yang singkat itu, tentunya Sultan Iskandar Tsani tidaklah mampu untuk menyamai prestasi yang telah diraih penguasa sebelumnya. Pada masa kesultanan Iskandar Muda, beliau mampu mengusir dan melenyapkan pengaruh monopoli perdagangan kaum Eropa yang datang, selain itu juga menekan kekuasaan para bangsawan Aceh dan menetralisirnya. Namun bukannya tanpa prestasi, Sultan Iskandar Tsani juga memiliki sejumlah prestasi diantaranya, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat pendidikan Islam, yang juga merupakan tempat pelindung dari seorang cendikiawan Islam dari Gujarat, India yang datang ke Aceh bernama Nuruddin ar-Raniri.[12]

Sultan Iskandar Tsani,
Sumber: Mirza Advertising
Sepeninggal Sultan Iskandar Tsani, pergolakan politik kembali muncul. Tidak ada pengganti laki-laki yang masih berhubungan dekat dengan keluarga menjadi pemicu utama. Para bangsawan kembali menunjukkan eksistensinya dalam rangka perebutan kekuasaan. Tidak sampai disitu, adanya pertentangan ideologi antar ulama yang muncul karena rekomendasi sebagian kaum elit bangsawan[13] sebagai pengganti Sultan Iskandar Tsani adalah isterinya Tajul Alam Safiatuddin yang juga merupakan putri Sultan Iskandar Muda.

Salah satu golongan ulama menyepakati kepemimpinan diberikan kepada Tajul Alam Safiuddin, terutama  Nuruddin ar-Raniri, orang yang pernah diselamatkan oleh suami Tajul Alam Safiuddin. Keadaan ini diperkuat dengan dukungan sebagian kaum elit bangsawan[14] yang memiliki pengaruh sangat kuat. Tak pelak lagi, akhirnya kericuhan politik itu berakhir dengan diangkatnya Tajul Alam Safiuddin menjadi Sultanah.

Bersambung..

Baca juga:



[1] Laelatul Masroh, Perkebunan dan Perdagangan Lada Lampung Tahun 1816-1942, Universitas Negeri Malang, Fakultas Ilmu Sosial, hlm 64.
[2] Ibid.
[3] H.M. Atho Mudzar, Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001, hlm 287-288.
[4] H.M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961. hlm 404-406.
[5] Hidayat, Peran Sultan Iskandar Muda dalam Mengembangkan Kerajaan Aceh Tahun 1607-1636, Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta, 2017, hlm 18.
[6] Taman Putroe Phang, id.wikipedia.org/wiki/taman_putroe_phang. Diakses pada tanggal 19 Maret 2018.
[7] Dr. Drs. Amran Suadi, SH., M.Hum., M.M. Mardi Candra S.Ag., M.H. Politik Hukum: Perspektif hukum perdata dan perdata Islam serta Ekonomi Syariah, PT. Balebat Dedikasi Prima, 2016, hlm 341
[8] Hj. Pocut Haslinda Syahrul, MD binti H. Teuku Abdul Hamid Azwar, Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad 8-21, Jakarta: Pelita Hidup Insani, 2008, hlm 75.
[9] Kelompok ini pada umumnya bekerja sebagai pedagang. Aceh dalam perjalanan sejarahnya, kelompok ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam konteks politik dan ekonomi.
[10] Prof. Dr. Amirul Hsdi M.A., Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010, hlm 127.
[11] M. Yunus Jamil, Gerak Kebangkitan Aceh, ed Annas, Jaya Mukti, 2005.
[12] Iskandar Tsani dari Aceh, id.wikipedia.org/wiki/iskandar_tsani_dari_aceh, diakses pada tanggal 19 Maret 2018.
[13] Ibid.
[14] Ibid.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Tajul Alam Safiatuddin, Sepak Terjang Perempuan Dibumi Nusantara (Bag 1) - Awal Kemunculan"

Posting Komentar