Membunuh Orang Lain: Memusnahkan Lokus Dari Yang Transenden


Pembunuhan-perang-serangan terorisme merupakan bentuk-bentuk keji dari penyangkalan eksistensi dalam sejarah manusia"
Sejak berabad-abad telah diakui bahwa salah satu kejahatan manusia yang paling keji di muka bumi adalah membunuh. Akar yang paling mendalam dari fenomen ini terletak pada hilangnya dari diri manusia makna tentang nilai hidup, serta lenyapnya rasa hormat terhadap peri kemanusiaan. Di dalam aksi membunuh, hak yang paling asasi, yaitu hak hidup orang lain, tidak dihargai. Ingat saja, misalnya, pembantaian enam juta orang Yahudi di bawah komando Hitler. Peristiwa sejarah ini menunjukkan suatu pembunuhan terencana dan metodis, yang telah mengakibatkan lenyapnya nyawa manusia secara besar-besaran. Melenyapkan nyawa orang berarti mengkhianati satu nilai yang paling hakiki dalam diri seseorang, yaitu hidup itu sendiri. Seorang pembunuh adalah seorang pengkhianat. Ia tidak hanya mengkhianati orang yang dibunuhnya, tetapi lebih dari itu, ia mengkhianati hidup. Dalam anggapannya, hidup itu tidak berarti. Hidup adalah nihil.
Nietzsche (1844 -1900) telah lama menegaskan bahwa nihilisme bukan sekedar sebuah kontemplasi filosofis tentang kesia-siaan nilai dari segala sesuatu, bukan juga sekedar seruan profetis tentang kehancuran segala sesuatu. Nihilisme, yang pada prinsipnya merupakan ajaran yang mewartakan kehancuran nilai, memiliki titik akhir: ketiadaan. Nihilisme berarti segala sesuatu adalah nihil. Menurut orang Romawi, terminologi nihil yang pada awalnya mereka sebut ne-hilum memiliki makna “tidak ada apa-apanya”. Orang Inggris menyebutnya no-thing, orang Italia mempunyai kata niente atau nulla, orang Jerman menyebutnya nicht sementara orang Perancis mempunyai kata rien. Semua makna ini akan menjadi lebih jelas kalau kita merujuk pada konteks ontologis. Nihil, “tidak ada apa-apanya”, adalah sebuah penegasian ontologis tentang eksistensi sesuatu. Jika sesuatu secara ontologis tidak ada, maka ia tidak ber-eksistensi.
Pembunuhan-perang-serangan terorisme merupakan bentuk-bentuk keji dari penyangkalan eksistensi dalam sejarah manusia, di samping pe-negasi-an nilai hidup manusia. Arketipe manusia yang senantiasa menginkarnasikan pembunuhan-kekerasan-perang adalah ceritera tentang figur Kain yang membunuh Abel, saudaranya, dalam Kitab Perjanjian Lama. Bukan semata-mata karena kecemburuan, yang disebabkan korban Abel diterima Tuhan, sehingga Kain membunuh Abel. Melainkan, jauh lebih mendasar dari itu, karena kehadiran Abel dianggap Kain sebagai pengganggu atau juga rival eksistensinya. Kain tidak ingin saudaranya ber-ada di hadapannya; keberadaan Abel tidak diterima. Karenanya Kain menempuh jalan: meniadakan eksistensi Abel. Kain membunuh Abel. Dengan membunuh Abel, Kain mau menegaskan bahwa hanya dia sendiri yang berada. Di sini Kain secara amat egois mengafirmasi eksistensi dirinya. Demikianlah, tindakan membunuh merupakan aktus pengafirmasian “si aku” dalam konteks penegasian yang lain. Kain telah menjadi simbol universal dari penyakit manusia yang paling ngeri, yaitu membunuh.
Orang-orang kristiani telah lama mengetahui hukum ke-7 dari Dekalog, yaitu “Jangan membunuh”. Kata “jangan” memiliki konotasi me-negasi. Sedangkan “membunuh“ (sebagai suatu aktus = meniadakan eksistensi orang lain) adalah suatu larangan; larangan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga, “Jangan membunuh” adalah negasi dari suatu negasi. Negasi dari suatu negasi adalah ekspresi lain dari penegasan positif tentang sesuatu. “Jangan membunuh” berarti: hendaklah bertanggungjawab atas hidup orang lain. Dengan kalimat lain, “Cintailah hak hidup orang lain”.
Cinta, orang Yunani menyebutnya eros (έρως). Dalam epos tentang Perang Troya, Homer berbicara tentang peranan dua tokoh sentral, yaitu Eris (saudari Ares)-Dewa Perang dan Eros (bukan nama yang secara langsung diberikan oleh Homer, tetapi oleh Afrodite)-Dewa Cinta. Eris adalah dewa yang membawa perpecahan dan penghancuran segala sesuatu. Sedangkan Eros adalah dewa yang mengembalikan semuanya kedalam persatuan, keteraturan, kedalam hidup, kedalam cinta. Eros adalah simbol tentang kekuatan cinta.
Plato (427-347 SM) kemudian membagi eros kedalam beberapa tingkatan. Pertama, dalam tingkatan yang paling rendah, eros dimengerti sebagai cinta akan keindahan tubuh (l’amore dellla bellezza del corpo). Tubuh adalah representasi dari keindahan. Tetapi ini tidak cukup karena keindahan tubuh itu bersifat biologis belaka. Keindahan tubuh mesti mengantar kepada keindahan yang lebih dalam. Dalam tingkatan kedua, eros dipahami dalam konteks cinta akan keindahan jiwa (l’amore dellla bellezza dell’anima). Manusia adalah jiwanya. Karenanya, keindahan manusia tidak terletak pada tubuhnya saja tetapi juga pada jiwanya. Pada tingkatan ketiga, eros adalah cinta akan keindahan hasil kreasi jiwa manusia (l’amore dellla bellezza della creazione dell’anima). Dalam tingkatan keempat, eros dilihat sebagai cinta akan keindahan pengetahuan (l’amore della bellezza della scienza).
Cinta akan keindahan pengetahuan ini mesti mengantar kepada tingkatan eros yang paling tinggi dan mulia, yaitu cinta akan keindahan absolut (l’amore del bello assolutto).
Inilah cinta yang paling agung. Cinta yang paling agung adalah cinta akan keindahan itu sendiri, yaitu “keindahan in se”. Keindahan in se di dalam dirinya sendiri adalah sempurna. Karenanya ia adalah baik. Menurut Plato, “eros dalam tingkatan yang paling tinggi” mesti dilihat dari konteks yang paling sempurna. Ia layak disebut demikian ketika ia berada pada level yang sama dengan “kebaikan”. Kebaikan adalah manifestasi keindahan yang paling tinggi. Demikianlah, menurut Plato, “yang paling indah adalah yang paling baik”. Keindahan dan kebaikan adalah satu.
Apabila seseorang telah dapat mengkontemplasikan keindahan absolut yang paling mulia-agung-belum terkontaminasi oleh sesuatu yang lain itu, apa yang kemudian harus dilakukannya ? Plato mengajarkan bahwa cinta akan hal-hal yang kelihatan (visible) mesti mengantar kepada cinta akan hal-hal yang tidak kelihatan (invisible). Ini hanya mungkin lewat jalan kebaikan. Dan kebaikan adalah kebajikan tertinggi. Cinta tidak berhenti pada ketertarikan akan keindahan biologis, tetapi mesti berakhir pada penghormatan atas pewahyuan keindahan absolut, lewat jalan kebaikan (moral).
Manusia yang visible menurut pandangan orang kristiani adalah imago dei, yaitu gambaran Allah-yang invisible. Karenanya, manusia di dalam dirinya bukan saja indah (lebih dalam pengertian estetis), atau mengagumkan [seperti yang pernah dikumandangkan Pico dari Mirandola, magnum miraculum est homo (“keajaiban besar adalah manusia”)], tetapi dia juga adalah baik (lebih dalam pengertian moral). Manusia adalah unitas dari yang indah (pulchrum) dan yang baik (bonum). Karenanya ia tidak boleh diapa-apakan, dalam arti: kehadirannya (manusia) dihadapan-ku tidak boleh diganggu. Menurut Emmanuel Levinas (1906-1995), setiap kehadiran orang lain (l’Autrui) [lAutrui adalah terminologi khusus yang dipakai Levinas untuk berbicara tentang “dia yang lain”] mesti dilihat sebagai suatu kehadiran etis (la prèsence d’èthique). Tidak ada yang lain. Dalam kehadiran etis, “dia yang lain” berbicara (le dire). Dan, firman pertama yang keluar adalah “Jangan bunuh aku!
Karena dia yang mulai berbicara, maka dia yang pertama menyapaku. Sapaannya bukan suatu sapaan basa basi. Sapaannya adalah serius. “Jangan bunuh aku!” adalah suatu sapaan etis. Setiap sapaan atau panggilan biasanya meminta suatu jawaban. Sapaan etis itu mesti ditanggapi dengan suatu jawaban etis pula. Dalam level etis, pihak yang memberi jawaban adalah pihak yang mesti menanggung konsekuensi dari jawaban yang dia berikan. Di sini, menanggung konsekuensi atas jawaban yang diberikan adalah tanggungjawab. Jawaban dari suatu panggilan adalah tanggungjawab. Tidak ada tanggungjawab yang lebih besar kecuali tanggungjawab atas hidup orang lain.
Filsafat tentang orang lain yang dikembangkan Levinas memiliki basis pada abstraksi metafisik. Karena itu secara metafisis, “dia yang lain” (l’Autrui) yang hadir di depanku adalah jejak (enigma) dari “Yang Maha Tinggi” (meski dia sendiri bukanlah “Yang Maha Tinggi”). Sebagai jejak dari Yang Maha Tinggi, dia mempunyai posisi sebagai yang lebih tinggi dari-ku. Di sini, makna yang lebih tinggi memberi gambaran “dia yang lain” sebagai lokus (wadah) pewahyuan dari Yang Agung. Sebagai pewahyuan dari Yang Agung , “dia yang lain” adalah juga lokus dari Yang Transenden. Berjumpa dengan orang lain berarti berjumpa dengan jejak-jejak dari Yang Transenden. Tetapi perlu dipahami di sini: Berjumpa dengan jejak Yang Transenden mengisyaratkan bahwa saya selalu pada posisi yang terlambat, karena yang saya jumpai adalah jejaknya. Yang Transenden seolah-olah telah berjalan lewat. Saya hanya menjumpai kelampauannya (it’s own past). Tetapi menjumpai kelampauannya bukan berarti menjumpai yang daluarsa dan tak berarti. Yang lampau dihadirkan secara baru dalam diri “dia yang lain”. Inilah kehadiran yang meminta respek etis dari-ku, yaitu untuk tidak membunuhnya. Karena membunuh orang lain selalu berarti memusnahkan lokus dari Yang Transenden.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Membunuh Orang Lain: Memusnahkan Lokus Dari Yang Transenden "

Posting Komentar