Plato - Kehidupannya (Bag 1)



"Lebih baik menderita kezaliman dari pada berbuat zalim". Itulah kalimat terakhir sebelum Socrates, Guru panutan Plato menjalani hukuman mati. Kematiannya membuat Plato sempat kehilangan arah.
Plato - Socrates, Modern Physics and Baha’u’llah. Sumber: Bahaiteachis

Ia dilahirkan di Athena pada saat perang Peloponnesos[1] sedang berkecamuk pada tahun 427 S.M. Berasal dari keluarga aristokrat yang secara turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Plato muda bercita-cita untuk menjadi seorang negarawan.[2] Tetapi perkembangan politik kala itu tidak memberi kesempatan kepadanya
Dalam rangka menggapai cita-citanya tersebut, ketika ia berusia 20 tahun, Plato mengikuti pelajaran dari Socrates. Pelajaran yang ia dapatkan memberi kepuasan baginya. Hingga lama-kelamaan pengaruh Socrates semakin mendalam pada dirinya. Ia menjadi murid Socrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Socrates tetap menjadi panutannya. Bagi Plato, Socrates adalah sosok yang adil dan sangat jujur. Hukuman mati yang diberikan pada Socrates dipandangnya sebagai suatu perbuatan yang zalim semata. Saat Socrates meninggal, Plato sangat sedih hingga seperti seorang anak yang kehilangan bapak. Dalam kesedihannya, Plato terpana terhadap pendirian Socrates yang menolak kesempatan untuk melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita kezaliman dari pada berbuat zalim."[3]
Sebagai seorang filosof, Plato memiliki kedudukan yang istimewa. Ia mampu menyatukan seni dan filosofi, puisi dan ilmu. Pemikirannya yang dalam dan abstrak sekalipun dapat ia lukiskan dengan gaya bahasa yang indah. Sebelumnya tidak ada seorang filsuf yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal tersebut.
Setelah Socrates dihukum mati, Plato bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina karena ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal. Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia, hingga ia meninggal pada tahun 348 SM.[4]
Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Socrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.[5]

Bersambung..



[1] Perang Peloponnesos (431-404 SM) merupakan konflik militer pada masa Yunani Kuno. pertikaian tersebut terjadi antara Kekaisaran Athena melawan Liga Peloponnesos. Alasan utama terjadinya perang tersebut adalah, ketakutan Sparta terhadap kekuasaan Athena yang tumbuh semakin kuat dan perekonomian yang makmur.  
[2] Hadi Subroto, Plato (427-347 SM), https://www.kompasiana.com/hadimenulis/plato-427-347-sm_55000ceca33311fb6f50fb7f, diakses pada tanggal 30 Juni 2018
[3] Mudji Sutrisno dkk, Sejarah Filsafat Nusantara, 2005, Galangpress, Yogyakarta, hlm 10.
[4] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, 1997, Kanisius, Yogyakarta, hlm 10.
[5] Ibid, hlm 10

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Plato - Kehidupannya (Bag 1)"

Posting Komentar