Analisis Relativitas Keadilan (Bag 2) – Hak dan Kewajiban



Negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.


Oleh: Adjie Agung

Foie Gras, by Amy le Owens, Sumber: All Creatures

Membahas mengenai keadilan, tentu tidak akan pernah ada habisnya, realitas yang terjadi hingga saat ini adalah, masih adanya masyarakat yang memandang bahwa keadilan selalu relatif. Contohnya, kadang adil bagi saya belum tentu adil bagi anda, begitupun sebaliknya adil bagi anda belum tentu adil bagi saya. Begitu kompleksnya membahas mengenai keadilan sehingga banyak masyarakat yang menyerukan keadilan, seolah-olah kata kedilan tersebut menjadi komoditas utama bagi kepentingan banyak pihak. Keadilan bagi wanita, keadilan untuk rakyat miskin, keadilan untuk kaum tertindas hingga terkadang Tuhanpun diadili. Apabila kita merunut dari sejarahnya, masalah keadilan erat kaitannya dengan dasar penutup dan keabadian agama. Sebab, agama mengatakan bahwa keadilan adalah salah satu tujuan diutusnya para Nabi.[1]

Mari kita mengulas kembali mengenai sejarah diutusnya para Nabi. Bahwa para Nabi diutus dan selalu ditempatkan pada suatu wilayah yang bobrok dimana wilayah tersebut, salah satu problemnya adalah perihal keadilan, dan biasanya dikuasai oleh para penguasa korup dan masyarakatnya yang miskin. Disitulah Nabi diturunkan untuk melawan tirani. Tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah, apakah keadilan memiliki berbagai macam bentuk disetiap zaman? Seperti yang kita ketahui bahwa Nabi diutus kedunia ini terdapat rentang waktu yang dilewati. Dan adakah hukum dan Undang-undang yang tetap kekal abadi?

Pada tulisan yang pertama kita sudah membahas bahwa keadilan adalah menjaga keseimbangan dalam berbagai lapisan kelas masyarakat. Bahwa kedilan adalah segala sesuatu yang dapat melahirkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat atau menjaga dan memelihara dalam bentuk yang lebih baik sehingga masyarakat meraih kemajuan.[2] Pemahaman yang muncul dimasyarakat hari ini adalah, keadilan hanya diperuntukan bagi masyarakat umum saja, terbukti dengan banyaknya masyarakat yang  menutut pemerintah untuk selalu memberikan keadilan bagi masyarakat, dari mulai tuntutan sandang pangan dan papan. Kewajiban hanya diperuntukan bagi individu masyarakat saja, tetapi tidak diperhatikan juga pada kelas masyarakat yang lain, seperti pemerintah.

Hak dan kewajiban dalam perspektif keadilan. Hak merupakan satu kata yang mudah sekali diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Tidak sedikit masyarakat yang membicarakan konsep tentang hak, namun ketika turun pada ranah sosial, hanya segelintir orang saja yang mampu bertahan untuk tetap konsisten melaksanakannya. Padahal hak seseorang tidak akan bisa terlaksana kecuali dengan melaksanakan haknya.[3] Artinya setiap orang mempunyai haknya untuk orang lain, dan orang lain punya hak atas diri orang itu.

Hak yang dimiliki oleh seseorang tidak akan terlaksana kecuali bila kewajiban juga terlaksana. Yang menjadi pertanyaan adalah, adakah pihak yang tidak perlu memberikan kewajibannya tetapi haknya harus dipenuhi? Kalaupun ada pihak yang haknya terlaksana namun ia tidak memiliki kewajiban atas yang lain, maka hal tersebut khusus untuk Tuhan.[4] Maksudnya adalah kita selaku manusia punya tanggung jawab dihadapan Tuhan, hak yang dimiki Tuhan atas makhluknya berbeda dari hak yang dimilik setiap orang atau orang lain. Hak yang dimiki selain Tuhan berarti bahwa orang yang punya hak memperoleh manfaat tertentu. Semetara itu hak yang didapatkan Tuhan bukan berarti bahwa Tuhan mendapat manfaat. Artinya kita hanya punya tanggung jawab dihadapan Tuhan, dan kita hanya punya kewajiban saja.

Lantas bagaimana dengan penerapannya dalam kehidupan sosial masyarakat? Ada satu ungkapan yang sarat makna dari imam Ali zainal abidin, yang mengatakan bahwa “sebagai pemimpin kalian, aku punya hak atas diri kalian. Begitu juga kalian sebagai rakyat, punya hak atas diriku.” Kalimat tersebut mengantarkan kita kpada pepemahaman bahwa setiap individu mempunyai hak atas individu lain.

Berbeda dengan Thomas Hobbes salah satu tokoh Realisme (hubungan internasional) yang mengatakan bahwa, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.[5] Negara disini bisa dipahami sebagai seorang pemimpin negara, jadi pemimpin negara yang mempunyai kuasa atas rakyat dan punya hak atas rakyat sedangkan rakyat tidak punya hak atas pemimpin.

Syarat hukum yang disepakati adalah hukum harus bersifat simbiosis mutualisme dan dua arah, seperti perumpamaan yang diterangan sebelumnya, bahwa hak dan kewajiban harus sejalan bahkan pada saat melakukan aktifitas komunikasi, hal tersebut harus berlangsung dua arah. Telah dijabarkan pula bahwa hanya kepada Tuhan sajalah kita punya kewajiban dan tidak memiliki hak terhadapNya.

Baralih pada persoalan hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah diatas. Idelanya rakyat mempunyai hak yang harus diberikan oleh pemimpin, bahwa apa yang menjadi kemaslahatan rakyatnya harus diwujudkan. Kemudian urusan pemimpin tidak akan terlaksana dengan keteguhan rakyatnya, dan urusan rakyat juga tidak akan terlaksana kecuali dengan keteguhan pemimpin. Jadi berhentilah menyalahkan pemerintahan yang tidak berjalan sesuai cita-cita apabila kita sebagai masyarakat juga tidak mempunyai kesadaran untuk membantu pemerintah untuk mewujudkannya. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa  setiap orang punya hak dan punya kewajiban yang telah digambarakan antara pemimpin (pemerintah) dan masyarakat.

Dari serangkaian argumen diatas dapat diatarik kesimpulan bahwa jika keadilan berarti keseimbangan, maka harusnya pengertian ini tidak keluar dari makna memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Karena, tidak akan terjadi keseimbangan dalam suatu masyarakat jika hak-hak sebagai anggota masyarakat saja diabaikan.

Keseimbangan akan tercipta dengan cara menjaga hak-hak. Keadilan ialah hak-hak yang memiliki realitas, yaitu penggabungan antara hak-hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Keadilan bukanlah persamaan. Keadilan juga bukan keseimbangan yang tidak bertumpu pada hak-hak. Akan tetapi keadilan bertumpu pada hak-hak yang punya realitas dan fitrah. Pemimpin atau pemerintah juga memiliki hak, begitu pula dengan masyarakat. Keadilan berawal dari usaha memberikan hak kepada pemimpin atau masyarakat yang memang berhak menerimanya. Keadilan berarti menjaga dan menerima hak-hak itu. Kerena itu pada setiap zaman keadilan adalah suatu realitas yang tidak lebih dari satu dan tidak berubah-ubah.


Tamat.

Baca juga:


[1] Murtadha muthahhari, islam & tantangan zaman, cetakan 1 : oktober 2011 , penerbit : sadra press, hlm 254
[2] Ibid.
[3] Nahj al-balaghah, khutbah 214
[4] ibid
[5] Franz Magnis-Suseno. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 71-72.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Analisis Relativitas Keadilan (Bag 2) – Hak dan Kewajiban"

Posting Komentar