Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 6) - Privatisasi Agama dan Dinamika Kapitalisme



Berbagai bidang kehidupan telah disatukan dalam sebuah sistem kerja dan pola ketergantungan yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi. Konsep-konsep kehidupan yang telah mapan dikaji ulang dan disesuaikan dengan standar nilai yang diciptakan oleh kapitalisme.



Kekuatan kapitalisme global telah mendorong masyarakat agar melakukan pendefinisian ulang terhadap konsep-konsep kehidupan yang telah mapan. Kapitalisme global secara evolutif telah menggeser nilai-nilai sakral dalam ajaran agama dan tradisi, sehingga menjadi instrumen bagi pembentukan gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan (leisure) dan kepuasan (gratification) (Featherstone, 1988 : 63).
Destroy Capitalism By Banksy, Sumber: Global art traders
Sejak awal pertumbuhannya, kapitalisme tidak pernah mereproduksi dirinya sendiri secara mapan. Kapitalisme tidak memiliki basis kebudayaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Sejarah perkembangan kapitalisme selalu menunjukkan konteks realitas sosial budaya yang melatarbelakanginya, sehingga dapat terlihat bahwa kapitalisme selalu tergantung pada pandangan-pandangan dunia yang telah mapan. Meskipun demikian, kapitalisme bukan sistem kebudayaan yang reaksioner. Kapitalisme merasuki kehidupan modern secara halus dan evolutif, sehingga ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya nyaris tidak terasa dan dianggap sebagai konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja. Kapitalisme tidak pernah mengambil posisi secara frontal dengan misionaris Marxian. Akan tetapi kapitalisme dapat meruntuhkan anggapan para Marxian yang menunggu kehancuran kapitalisme karena antagonisme inheren antara kapital dan tenaga  kerja. Sosialisme yang ditawarkan para Marxian sebagai alternatif terbukti tidak dapat bertahan lama dan belum mampu menjamah seluruh bagian dunia.

Sebaliknya, kapitalisme juga tidak dapat sepenuhnya bergerak sebagai mekanisme otomatis. Kapitalisme tidak dapat diyakini sebagai keharusan sejarah atau sesuatu yang "alamiah." Kapitalisme adalah sistem rekayasa perekonomian oleh para teoritisi dan pemilik modal yang memiliki orientasi terhadap perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mekanisme pasar yang berlaku dalam kapitalisme adalah pola ketergantungan yang sengaja diciptakan oleh para pemilik modal. Dengan demikian, keyakinan Adam Smith tentang "tangan gaib" (the invisible hand) yang mampu mengelola keseimbangan sistem ekonomi tersebut (Heilbroner,1991 : 22), pada dasarnya adalah upaya koreksi dan reposisi para pemilik modal sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Kapitalisme senantiasa melakukan evaluasi dan peninjauan ulang terhadap wilayah-wilayah kehidupan yang akan dirasukinya. Evaluasi dan peninjauan ulang tersebut pada akhirnya membentuk standar nilai baru dengan mengatasnamakan rasionalitas modern. Rasionalitas modern dijadikan legitimasi, sehingga standar nilai kapitalisme dapat diterapkan pada masyarakat.

Atas nama rasionalitas modern itulah masyarakat dapat menerima perluasan-perluasan kekuasaan kapitalisme. Perangkat-perangkat kapitalisme global yang telah mapan, seperti industri media, teknologi komunikasi, transportasi dapat diterima sebagai tuntutan masyarakat modern. Masyarakat tidak merasa aneh dengan inovasi teknologi yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya dan secara spontan dapat menerimanya sebagai pelengkap kehidupan modern. (Hikmat Budiman, 1997 : 91-92). Dalam keadaan demikian kehidupan masyarakat selalu bergerak melalui standar nilai yang telah diciptakan kapitalisme. Pasar menjadi kekuatan penting yang menentukan tingkah laku masyarakat yang telah terintegrasi sebagai konsumen.

Perluasan-perluasan kekuasaan kapitalisme, terutama pada aktifitas integrasi dan ekspansi pasar telah mensosialisasikan nilai-nilai ekonomi ke dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai ekonomi tersebut mempengaruhi sistem norma dan hubungan-hubungan sosial, sehingga kehidupan secara perlahan berubah menjadi suatu proses transaksi. Di dalam proses transaksi tersebut, setiap orang menghitung 'harga' (cost) dan 'kegunaan' (benefit) dari setiap hubungan sosial dan praktek-praktek kehidupan yang dijalani setiap hari. Prinsip ekonomi dan aturan-aturan pasar menjadi "aturan main" yang harus ditaati. Pasar kemudian memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai penekan individu melalui batasan-batasan dan peraturan yang telah diciptakan dan sebagai solusi yang memberikan jalan keluar dengan menyedikan berbagai fasilitas untuk meninngkatkan kapasitas dan kualitas pribadi dalam usaha memenuhi "aturan main"  yang telah ditetapkan oleh pasar (Irwan Abdullah, 1995 : 8).

Masyarakat yang berorientasi pada pasar secara bertahap akan melakukan peninjauan ulang terhadap pandangan-pandangan dunia yang sudah ada sebelumnya. Cara pandang lama tentang praktek-praktek kehidupan dituntut agar memiliki relevansi dengan standar nilai yang diciptakan kapitalisme. Agama secara berangsur-angsur digeser dari kedudukannya sebagai sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, menjadi instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Kehidupan keagamaan telah ditarik dari wilayah sakral menuju pola kompetisi yang bersifat profan (Haedar Nahsir, 1997 : 115). Pola kompetisi tersebut menciptakan kekuatan dominasi sebagai sesuatu yang belum tentu sesuai dengan roh agama.

Ibadah haji yang dikemas sebagai wisata religius (ONH plus), merupakan contoh aktual yang menunjukkan bahwa ibadah bukan semata-mata persoalan spiritual, tetapi telah menjadi komoditi yang menghasilkan keuntungan. Kapitalisme menciptakan segmentasi pasar, sehingga tidak semua orang dapat mengkonsumsi produk 'paket ibadah haji' tersebut. Daya beli menjadi faktor utama yang menentukan apakah seseorang dapat mengkonsumsi atau tidak. Aturan pasar telah menciptakan stratifikasi konsumen dalam rangka memilih paket wisata religius sesuai dengan kemampuan daya beli masing-masing. Keadaan ini menunjukkan bahwa ibadah haji dapat menjadi aktifitas identifikasi (act of identification) (Frideman, 1994 : 104). Naik haji adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Pasar senantiasa merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi haji untuk menciptakan kesan gaya, sehingga naik haji bukan lagi suatu  transaksi ekonomi "sederhana,"  melainkan interakasi simbolis untuk mendapatkan kesan. Konsumsi terhadap kesan tersebut, menurut Featherstone (1988 : 57) menyingkapkan individualitas konsumen. Di lain pihak, kemampuan daya beli turut membentuk diferensiasi individu dan kelompok sosial dalam menunaikan ibadah tersebut.

Stratifikasi konsumen yang telah ditetapkan pasar secara tidak langsung melestarikan diferensiasi sosial dalam masyarakat. Kapitalisme terus-menerus menciptakan kebutuhan baru untuk menjaga kelangsungan konsumerisme. Pasar sengaja menciptakan perilaku konsumsi secara terus menerus hingga melampaui kebutuhan material. Ketika kebutuhan material telah terpenuhi, konsumsi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan imaterial. Komoditi imaterial seperti kepuasan, kenyamanan, gaya, pemenuhan impian (the realization of a daydream) adalah sesuatu yang semu dan tidak pernah selesai. Mengkonsumsi komoditi imaterial selalu berakhir pada "penipuan" (deception) dan pencarian gaya hidup dan kepuasan lain secara terus menerus. Sesuai dengan pemikiran William Leis yang mengatakan bahwa ketika suatu kebutuhan telah terpenuhi, maka hal itu merupakan permulaan bagi kebutuhan berikutnya. Menurut Leiss, kepuasan masyarakat tidak bertambah apabila persediaan barang bertambah. Kepuasan tidak memiliki hubungan dengan tingkat absolut konsumsi benda, melainkan merupakan hasil keterkaitan antara apa yang dimiliki oleh seseorang dan apa yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, kepuasan bergantung pada pemilikan "barang status" yang dinilai tinggi dalam masyarakat dan sengaja dibuat langka (Featherstone, 1988 : 64).

Menurut Featherstone (1988 : 55), produksi berbagai kesan adalah ciri utama budaya konsumen. Konsumsi terhadap kesan merupakan proses yang berakar pada 'ketidakberesan' (dissolution) identitas sosial yang telah mapan dan kerancuan kompleksitas fenomena modernitas. Sifat-sifat konsumerisme yang ditandai dengan kemunculan subyektifitas individu modern, membentuk separasi wilayah privat (natural sphere) dan wilayah publik (social and cultural sphere) (Friedman, 1994: 150). Separasi wilayah kehidupan antara publik dan privat tersebut menimbulkan efek pluralisasi dalam bidang agama (Berger dkk, 1992 : 75). Struktur-struktur institusional dan struktur-struktur kesadaran yang telah baku secara perlahan-lahan akan berubah akibat separasi tersebut.


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 6) - Privatisasi Agama dan Dinamika Kapitalisme"

Posting Komentar