Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 5) - Identitas Keberagamaan Masyarakat Kapitalistik



Untuk membedakan secara tegas antara masyarakat kapitalistik dan masyarakat non kapitalistik, memiliki tingkat kesulitan yang sama dengan usaha pembedaan masyarakat urban dan masyarakat rural. Proses globalisasi yang terjadi secara meluas telah membaurkan bermacam-macam budaya masyarakat. Sesuai dengan logika dalam teori anthropologi, jika terjadi interaksi antar budaya, maka budaya yang kuat pasti akan mempengaruhi  budaya yang lemah.



Istilah "beragama" dapat memiliki makna yang banyak sesuai dengan konteks penempatannya. Menjadi anggota jemaat, keyakinan terhadao mazhab atau doktrin gereja, etika hidup dan kehadiran dalam acara peribadatan adalah kondisi-kondisi yang dapat menunjukkan ketaatan dan komitmen terhadap agama. Artinya, aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah "beragama" dapat berarti aspek-aspek gejala yang sama, meskipun tidak sepenuhnya sinonim. Sebagai contoh, masyarakat luas memiliki asumsi bahwa seseorang yang aktif dalam kegiatan pengajian adalah seorang penganut agama yang taat, sehingga mampu menjalankan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wall IV - Hyuro, Sumber: Nhhnuart
Aktif dalam kegiatan pengajian, aktif dalam misa dan berbagai tindakan etis adalah unsur-unsur umum dalam keberagamaan. Namun jika seseorang tersebut beragama menurut salah satu komponen di atas, tidak ada jaminan bahwa ia religius apabila dilihat dari konteks yang lain (Stark dan Glock, 1988 : 291). Seorang aktifis pengajiaan belum tentu lebih taat dari orang yang tidak pernah hadir dalam pengajian. Orang  yang selalu menghadiri misa tidak dapat secara langsung dipastikan memiliki tindakan etis dalam hidupnya. Oleh karena itu, istilah "beragama" harus disederhanakan dalam konteks tertentu untuk dijadikan sebagai batasan dalam penggunaannya.

Agama-agama dunia memiliki pembahasan mengenai ungkapan keagamaan yang sangat bervariasi. Masing-masing agama mempunyai aturan dan sistem etika tersendiri yang mengatur para penganutnya. Penganut Katolik memiliki komitmen terhadap sakramen dan persekutuan suci (holy communion). Akan tetapi bagi umat Islam, hal tersebut terasa sangat asing dalam keyakinannya. Demikian pula kewajiban setiap Muslim yang mampu untuk pergi ke Mekkah, terasa asing pula bagi umat Protestan. Contoh lain, orang Islam dan orang Yahudi mengharamkan daging babi, penganut Hindu memiliki pantangan memakan daging sapi, Protestanisme Evangelis menjauhi alkohol dan umat Katolik tetap tidak memakan daging pada hari jum'at.

Dari contoh-contoh tersebut dapat terlihat adanya perbedaan yang mendasar dalam keyakinan dan praktek masing-maing penganut agama. Perbedaan tersebut bahkan sangat rinci dalam tata nilai praktis yang menentukan tingkah laku individu sehari-hari. Namun diluar perbedaan tersebut, masih dapat terlihat konsensus umum yang mampu  menunjukkan konteks keberagamaan. Masing-masing agama, meskipun memiliki sistem nilai dasar yang  berbeda, akan tetapi memiliki persepsi yang sama mengenai identitas beragama. Stark dan Glock berpendapat bahwa agama-agama dunia memiliki seperangkat dimensi inti keberagamaan yang diakui satu sama lain. Seperangkat dimensi itu adalah keyakinan, praktek, pengalaman dan pengetahuan (Stark dan Glock, 1988 : 295). Melalui empat dimensi umum tersebut, keberagamaan masyarakat kapitalistik yang memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda dapat diidentifikasi.

Istilah "masyarakat kapitalistik" adalah istilah yang mengacu pada suatu masyarakat yang terlibat dalam mekanisme pasar secara luas. Di dalam kajian sosiologis tidak  terdapat batasan yang tegas antara masyarakat kapitalistik dan masyarakat non kapitalistik.  Akan tetapi, di dalam kecenderungan makro dapat terlihat secara jelas bahwa apa yang mendasari keputusan tindakan masyarakat yang terlibat dalam mekanisme pasar, tidak sama dengan orientasi tindakan masyarakat yang jauh dari mekanisme pasar.

Budaya kapitalisme yang berbasis pada rasionalitas Barat, merupakan budaya kuat yang dapat mempengaruhi budaya lain. Secara real budaya kapitalisme mampu menghegemoni budaya lain yang berbasis pada keyakinan teologis atau etika tradisional. Sebagai budaya yang kuat, kapitalisme dapat membentuk struktur kesadaran individu pembentuk kebudayaan dan menampilkan diri sebagai kebudayaan baru, yaitu kebudayaan modern yang rasional. Budaya kapitalisme adalah budaya modern. Rasionalitas yang berlaku dalam budaya kapitalisme adalah sama dengan rasionalitas yang membentuk kebudayaan modern. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat kapitalistik tidak berbeda dengan masyarakat modern, karena memiliki dasar rasionalitas yang sama.

Adapun perbedaan bentuk kapitalisme sepanjang perjalanan sejarah tidak berpengaruh pada rasionalitas yang membentuknya. Perbedaan bentuk kapitalisme dari kapitalisme laissez-faire, hingga kapitalisme-lanjut justru merupakan bentuk dialektika rasionalitas dalam rangka menjawab
tantangan zaman. Meskipun demikian, nilai-nilai dasar kapitalisme seperti maksimalisasi keuntungan, depersonalisasi hubungan sosial, dan pemenuhan kepuasan tetap menjadi acuan utama. Oleh karena itu, identifikasi keberagamaan masyarakat kapitalistik dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan kecenderungan umum yang berlaku dalam karakter budaya kapitalistime atau budaya modern  pada empat dimensi keberagamaan  yang telah dikemukakan Stark dan Glock. Kombinasi tersebut bersifat analitis dan berlaku dalam kerangka umum yang sesuai dengan kaidah-kaidah dasar agama dunia.

Bersambung..
Baca juga:

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 5) - Identitas Keberagamaan Masyarakat Kapitalistik"

Posting Komentar