Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 7) - Privatisasi Agama Sebagai Produk Kapitalisme



Di dalam sejarah perkembangan masyarakat modern, privatisasi agama dan praktek-praktek kehidupan bukan merupakan persoalan baru. Sejak abad Pertengahan  telah terjadi penguatan otonomi individu atau kelompok terhadap dominasi gereja. Para ilmuwan pada masa itu mulai berani mempublikasikan teorinya tentang alam semesta yang berbeda dengan interpretasi gereja. Buku-buku diterbitkan secara massal, meskipun buku-buku itu memuat pandangan-pandangan yang berbeda dengan konsepsi teologi yang telah mapan.




Dalam sejarah kehidupan manusia, individu-individu hidup dalam dunia-hidup (life-world) yang terintegrasi. Pembagian kerja dan segmentasi institusi dapat membentuk perbedaan-perbedaan penting dalam dunia-hidup berbagai kelompok. Namun, jika dibandingkan dengan masyarakat modern, masyarakat terdahulu memiliki tingkat integrasi sosial yang sangat tinggi. Perbedaan-perbedaan di antara berbagai sektor hidup sosial pada masyarakat tradisional tersusun dalam suatu tata makna yang integratif yang mencakup seluruh masyarakat. Tata makna yang bersifat integratif tersebut bersifat religius. Individu menempatkan tata makna tersebut sebagai referensi nilai bagi aktifitas dan praktek kehidupan sehari-hari. Individu menggunakan referensi nilai yang sama, ketika terlibat dalam proses-proses politik, pada waktu bekerja, atau mengambil bagian dalam pesta dan upacara (Berger dkk, 1992 : 63).
Dickens Charles Christmas, Sumber: The Panoptic
Situasi individu-individu dalam masyarakat tradisional tersebut sangat berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang telah terindividualisasikan secara khas. Budaya modern yang terpisah dalam sub-sistem ekonomi, politik, sosial-budaya, sains, agama, hukum, pendidikan, seni, keluarga dan kesehatan telah memberi peluang sebesar-besarnya bagi penguatan identitas. Masing-masing sub-sistem tersebut memiliki referensi nilai yang berbeda sesuai dengan kerangka fungsional yang membentuknya. Berbagai macam sub-sistem tersebut membentuk struktur otonom dan mengkondisikan individu sebagai unit profesional (Beyer, 1991: 378). Individu modern tersusun sebagai jaringan spesialisasi peranan yang diberikan secara birokratis pada tingkat yang sangat abstrak (Berger dkk, 1992 : 58). Pengacara, dokter, bankir, karyawan pada pabrik mobil, atau pedagang adalah beberapa bentuk spesialisasi individu sesuai dengan peran fungsionalnya.

Pemisahan peranan sosial tersebut mengakibatkan keretakan tata makna religius. Secara empiris, perjalanan sejarah telah menunjukkan bahwa agama memainkan peranan vital dalam memberikan penaungan berupa tata nilai lambang demi keterpaduan masyarakat. Agama memberikan penafsiran realitas yang komprehensif yang menghubungkan kehidupan manusia dengan kosmos sebagai keseluruhan melalui perangkat nilai yang dimilikinya. Secara sosiologis dan sosial-psikologis, agama dapat didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia untuk merasa 'karar' di dalam alam semesta (Berger dkk, 1992 : 75).

Agama terbentuk sebagai institusi yang menyusun pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah (Hendropuspito, 1983 : 114). Agama memiliki otoritas formal dan sanksi hukum yang mengikat individu. Fungsi agama yang sudah berjalan selama beberapa abad tersebut secara serius terancam oleh pluralisasi. Pasar (capitalist market)  membentuk standar nilai  yang menimbulkan diferensiasi sistem makna dalam berbagai sektor hidup sosial. Institusi agama menjadi semakin mustahil dapat mengintegrasikan kejamakan dunia-hidup ke dalam satu pandangan dunia yang bersifat menaungi dan menyeluruh, karena pasar berhasil menguasai kesadaran subyektif individu.

Individualisme modern tidak dapat lagi menerima pandangan-pandangan umum yang menyeluruh. Secara institusional, konsekuensi yang paling nyata dari hal tersebut adalah 'privatisasi agama' (Berger dkk, 1992 : 76). Ketidakberdayaan otoritas institusi agama telah memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan agama secara individual. Relatifitas sistem tradisi memungkinkan individu melakukan praktek-praktek kehidupan yang beragam, karena hal tersebut merupakan 'urusan pribadi' (privat business).

Individu memiliki otonomi dan membangun landasan pemahaman (state of knowledge) yang mengacu pada diri sendiri.  Diferensiasi nilai yang dibentuk oleh rasionalitas modern menempatkan individu sebagai pihak otonom dan bebas, sehingga dapat mengambil keputusan agama yang terlepas dari kewibawaan institusi. Keputusan agama merupakan pilihan yang bersifat privat dan berlandaskan pada justifikasi nilai yang mengacu pada diri sendiri. Keputusan privat tersebut sekaligus merupakan medium untuk menegaskan individualitas pribadi dan kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Representasi budaya kapitalisme seperti sifat konsumerisme dan gaya hidup hedonistis telah menanamkan arti penting identitas bagi individu modern. Bermacam-macam strategi kapitalisme telah berhasil membangun dunia hiperrealitas, yang menurut Baudrillard, pasti akan menghancurkan seluruh bentuk ideologi tradisional, termasuk agama (Ahmed, 1992 : 231). Di dalam dunia hiperrealitas, individu telah dibentuk sebagai pribadi yang selalu mengejar citra atau kesan yang ditawarkan kapitalisme. Agama, dengan demikian dapat secara leluasa ditampilkan dalam berbagai realitas yang telah diselaraskan dengan bermacam-macam citra. Melalui citra yang dijanjikan tersebut, individu berlomba-lomba mengambil bentuk praktek keagamaan sesuai dengan semangat perbedaan dan kepentingan penguatan identitas.

Seperti Babylonia, kota Roma diberi predikat sebagai 'pelacur merah tua' (Scarlet Whore). Gereja dianggap sebagai suatu sistem yang gagal dan ketinggalan zaman, seperti Archbishop Canterbury di masa sekarang. Gereja diibaratkan sebagai 'seorang nenek yang berkomat-kamit tentang kata-kata suci melalui mulutnya yang ompong' (Ahmed, 1992 : 89-90). Akan tetapi di akhir abad keduapuluh ini, privatisasi agama mengambil bentuk yang berbeda. Privatisasi lebih dari sekedar reaksi terhadap otoritas yang dominan. Privatisasi merupakan suatu bentuk rekayasa korporasi multinasional untuk mempertahankan diferensiasi sosial, sehingga menjamin surplus kapital  secara terus-menerus. Aktor-aktor kapitalisme global terus-menerus memproduksi makna dan diarahkan sebagai dasar motivasi kehidupan modern. Melalui teknologi media informasi  dan telekomonikasi massa, kapitalisme berhasil memanipulasi realitas sebagai sebuah cara yang paling efektif  untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Bersambung..
Baca juga:

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 7) - Privatisasi Agama Sebagai Produk Kapitalisme"

Posting Komentar