Postmodernisme - Sosiologi Hasrat Konsumsi Masyarakat
Istilah mengenai postmodernisme pertama kali digunakan pada tahun 1917 oleh
seorang filsuf Jerman, Rudoplh Pantwitz. Panwitz menggunakan istilah tersebut
setelah mengamati adanya gejala nihilisme[1]
kebudayaan Barat Modern. Secara kritis
Panwitz melihat adanya kecurigaan mendasar dari para penganut aliran
“kecurigaan” yang lekat pada sosok Nietzsche, Rousseau dan Schopenhauer. Mereka
menganggap modernisme sebagai wacana dominan ketika itu sebagai isme yang tidak
lagi “layak jual” dalam menghadapi gejolak dunia yang kian dinamis dan sudah
sedemikian kompleks.
Postmoden art, Sumber: Postmodern Culture |
Oleh: D. Iqbal Christian,S.H
Dengan demikian Postmodernisme merupakan wacana pemikiran baru yang men-conterdiscourse wacana modernisme.
Kritik posmodernisme terhadap modernisme seringkali disandarkan pada “keagulan”
klaim modernime terhadap kebenaran mutlak sebagai subjek yang sadar, rasional
dan otonom. Klaim tersebut merujuk kepada berbagai asumsi yang menyatakan bahwa
kodrat manusia sebagai makhluk berakal yang memiliki sikap objektif dan juga rasional
terhadap eksistensi ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
Kesadaran modernisme adalah kesadaran dogmatisme ilmu yang menjadi landasan
absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Roh Absolut yang kekuasaannya
melampaui hak-hak individu itu sendiri (Hegel),[2]
adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover tanpa diawali oleh faktor lain (Aristoteles)[3]
dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang membuktikan bahwa
satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendri, menganggap
manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam
mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes).[4]
Konsep kesadaran modernisme tersebut di atas dianggap tidak cukup memadai
oleh posmodernisme. Penolakan posmodernisme terhadap klaim-klaim tersebut
karena kesadaran mengenai tidak adanya lagi kapabilitas subjek untuk mengenal
realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya sendiri.
oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep
hampa” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan hermeneutik yang timpang
dengan hanya mengandalkan hirarki roh absolut tunggal.
Inilah saatnya memainkan paralogi,[5]
di saat manusia berahadapan dengan logika
yang tidak linier (Lyotard). Mental kebenaran universal hanya akan menciptakan
oposisi-oposisi biner baru yang justru akan menghancurkan yang lain dari kearifan yang dimilikinya, oleh karenanya harus ada upaya dekontruksi
“kebenaran” (Derrida). Modernisme terlalu pongah dalam memahami posisi manusia
yang otonom sebagai subjek berpikir yang melegitimasi epistemologi sebagai
suatu yang netral, suci dari na’jis hasrat untuk berkuasa, dan bersih
(Nietzsche dan Faucoult).
Sikap-sikap kritis
terhadap modernisme inilah yang nantinya berkembang menjadi satu pandangan mainstream yang kemudian dikenal dengan sebutan
posmodernisme. Posmodernime memecah dirinya dalam tiga wacana yang dibahas oleh
Scott Lash dalam Sosiologi Posmodern. yaitu:
1.
Wacana kritis
estetika modernisme,
2.
Wacana kritis
arsitektur modern, dan
3.
Wacana kritis
terhadap filsafat modern.
Alih-alih, Posmodernisme menyangkut -isme yang
berada pada jalur yang mempertentangkan “paradoks konseptual” modernisme yang
meletakkan dirinya sebagai paham akan adanya grand narrative (narasi
agung) berupa kebenaran universal, otonomi subjek dan objektifitas ilmu
pengetahuan yang superordinat terhadap narasi-narasi kecil, sebagai konsekuensi
dari logika pencerahan atas dunia lain yang irasional, marjinal dan tidak
berperadaban.
Kemudian jika menunjuk pada kondis kultur tertentu
yang dicirikan oleh beralihnya moda produksi yang secara tegas melihat adanya
pertentangan kelas borjuis vs proletar, menuju logika konsumsi yang memperjelas
“keruntuhan” logika alienasi Karl Marx oleh perayaan konsumerisme masyarakat
postindustri. Kerja tidak lagi bermakna pada sebatas siapa mendominasi siapa,
bukan pula meyakini adanya nilai yang inheren dalam kerja itu sendiri.
Alih-alih, kerja semata-mata sebagai sarana pemuas dorongan kenikmatan. Jadi,
masyarakat tidak lagi mempersoalkan apakah kerja yang dilakukannya itu
membuatnya tearasing atau tidak.
[1] Nihilisme adalah sebuah
pandangan filosofi yang sering dikaitkan dengan Friederich Nietzsche, Nihilisme
berpandangan bahwa dunia ini, terutama eksistensi manusia di dunia, tidak
memiliki satu tujuan. Tidak adanya bukti yang mendukung keberadaan pencipta,
moral sejati tidak diketahui, dan etika sekuler adalah tidak mungkin. Oleh karenanya,
kehidupan tidak memiliki arti dan tidak ada tindakan yang lebih baik dari pada
yang lain.
[2] Lihat Georg Wilhelm Friederich Hegel, https://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel,
diakses pada tanggal 7 Mei 2018.
[4] Lihat Cogito Ergo Sum, https://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum,
diakses pada tanggal 7Mei 2018.
[5] Paralogi merupakan
istilah yang ditujukan untuk menunjukkan perbedaan yang dapat diakibatkan dari
duplikasi.
0 Response to "Postmodernisme - Sosiologi Hasrat Konsumsi Masyarakat"
Posting Komentar