Bedah Buku: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah.

“Di atas ranjang ini, iman itu akan kutawar dengan tubuhku. Tuhan, aku adalah kekasih yang Kau kecewakan. Maka Kau jangan keberatan apabila aku menguji iman lelaki ini, ustaz ini, hamba-Mu yang dipandang masyarakat sebagai orang saleh yang bersih. Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur!”

 

Nidah Kirani, menempuh perjalan hidup yang penuh dengan bara api membentang luas.

Saat masih kanak-kanak, ia adalah orang yang periang dan sedikit nakal. Kiran memutuskan untuk berhenti mengaji karena ia tidak suka ditakuti-takuti si "tua bongkok" soal lidah si pendusta yang digunting; ada juga tentang kemaluan pelacur yang ditusuk tombak besi yang panas membara hingga tembus melalui mulut; atau tentang punggung si kikir yang disetrika di neraka.

Kiran berbelok arah saat mencapai bangku kuliah. Dia mulai mengikuti pengajian, penampilannyapun berubah. Jubahnya besar,dan jilbabnya menjuntai. Hidupnya hanya soal shalat, dzikir, dan membaca kitab suci. Dia seolah menjadi “si tua bongkok”, sosok yang ia benci dulu. Kiran setiap saat mengingatkan teman-teman kuliah dan pondoknya soal agama yang menakutkan, Tuhan yang pemarah, dan neraka yang panas membakar.

Tidak sampai disitu saja, kali ini Kiran menapaki jalan sebuah gerakan Islam bawah tanah; yang tidk lagi bicara soal syariat dan dosa, namun kekuasaan dan politik. Kredo-kredo ditanamkan: bahwa syariat tak mungkin tegak tanpa daulah (kekuasaan); bahwa inilah saatnya kekuasaan direbut dari tangan pemerintahan kafir, demi tegaknya syariat, demi Tuhan.

Tiba pada saat Kiran merasa kecewa dengan para kesatria khilafah, Dia mempertanyakan kepada Tuhan, namun Sang Kekasih yang ia bela dengan raga, jiwa, dan harta, selama empat tahun itu diam, tidak ada jawaban sedikitpun, semua sunyi, yang tinggal hanya kegelisahan.

Yang Mahakuasa, yang terkasih itupun hilang diganti dengan kekasih-kekasih karbitan; parade lelaki pengecut—baik dari persimpangan kiri atau kanan jalan—yang tak bertanggung jawab dan munafik. 

Namun, dari tubuh, keringat, serta lelehan cairan kehidupan dari para lelaki itulah, Kiran menemukan kuasa. Dia merasa menaklukkan segalanya, bukan hanya Tuhan dengan segala tabu-Nya tetapi juga makhluk-Nya yang ber-phallus, yang mencitrakan diri dan dunia atas nama-Nya dan nama agama-Nya.

Sebuah pemberontakan dikumandangkan. Tubuh yang dibebaskan dari kuasa tabu dan dominasi. Sebuah perjalanan dalam dosa dihelat. Sebab, “Melalui dosa kita bisa dewasa"

Sumber: Menata Kata Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah ditulis oleh Muhidin M Dahlan.

Bagi Kiran, ide tentang Tuhan membingungkan. Sesuatu yang bisa jadi dirasakan banyak orang meski cuma sedikit yang mau mengakuinya. Misalnya, mempertanyakan apa peran dirinya di dunia ini. Apa hanya sebuah gasing yang berputar-putar pada lintasan takdir Tuhan? Jika begitu, mengapa dirinya yang mesti bertanggung jawab atas semua kemalangan dan tragedi yang menimpanya? Bukankah  seharusnya Tuhan yang bertanggung jawab, sebab Dia sendirilah Penguasa Pemutar roda nasib?

Jawaban memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah Kiran temukan. Tuhan Sang Pengekang versi teolog; Tuhan Sang Pembebas versi ideolog; dan Tuhan Sang Pecinta versi penyair sufi tak pernah betul-betul meredakan kegelisahan Kiran. Ia bahkan seringkali menghadapi sekat tabu ketika mempertanyakan hal itu. Tidak boleh bertanya begitu. Kamu harus percaya. Bukankah Tuhan sendiri tak pernah benar-benar menjawabnya ketika Malaikat mempertanyakan penciptaan manusia. “Aku Maha Mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui,” cukup begitu jawab Tuhan.

Di ujung jalan, kekecewaan itu dia tumpahkan kepada Tuhan; Tuhan dalam citra organisasi itu. Atau Tuhan yang dia pikir dia cintai dan pahami selama ini, yang akhirnya dia tahu tak mengirimkan suara atau bisikan apa pun. Tuhan pun tersamar dalam kegelisahan jiwanya.

Karena itulah, Kiran kemudian memuntahkan kemarahannya pada Tuhan sekaligus lelaki. Baginya, Tuhan telah bersekongkol dengan lelaki.

Tuhan mencipta lelaki dalam citra-Nya. Lihatlah, bukankah semua nabi lelaki, katanya. Lihatlah, Tuhan menimpakan semua kesakitan dunia kepada perempuan; haid, hamil, dan melahirkan. Lihat pula, Tuhan merapal semua belenggu tabu atas perempuan. Bahkan, di surga sekalipun hanya ada bidadari sedangkan istri-istri setia bisa jadi hanya jadi babu seperti di dunia. Pada saat yang sama, lelaki menjajah perempuan dan membentuk dunia atas nama-Nya dan agama-Nya.

Dalam gugatan cinta Kiran:

Bagiku, cinta adalah abstraksi dari rasa ketertarikan, keterkaguman, keterpesonaan, sekaligus penasaran yang menuntut untuk dituntaskan. Penuntasan rasa ini akan dapat dilakukan melalui seks sampai penyatuan yang paling sempurna. Seks adalah titik orgasme yang tertinggi antara dua manusia. Seks, gairah, dan keterpesonaan itu lama-lama akan menjadi suatu fenomena dan seperti sebuah grafik yang mendatar lalu memuncak dan kembali mendatar. Itulah cinta. Seks itu puncak cinta.”

Baginya, cinta yang dilafal-lafalkan lelaki cuma senjata mereka untuk menguasai tubuh perempuan tanpa pertahanan apa pun dari pihak perempuan. Tapi pada seks, Kiran menemukan pula senjata pemberontakan, yang akan membalik kuasa, menelanjangi kelemahan lelaki, dan mengungkap ketololan mereka. “Ah, lelaki, kalian begitu kelihatan tegar ketika masih berpakaian, tapi ketika pakaian kalian lepas, terkuak juga kelemahannya, ketololannya.”

Dengan seks, Kiran merasa berkuasa atas tubuhnya. Dengan seks, dia mempertahankan harga dirinya, dengan mengendalikan harga untuk bersetubuh dengannya.

Bagi Kiran, pernikahan sama saja dengan pelacuran. Pernikahan adalah persetubuhan yang dihargai dalam bentuk mahar demi harga diri si wanita. Perbedaannya, pernikahan difasilitasi tradisi dan dibirokrasikan dalam catatan sipil. Tapi, dalam pelacuran, perbedaan ini terkompensasi. Dia tak harus dirumahkan dan dipaksa menikmati seks dengan lelaki yang itu-itu saja. “Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang.”

Tapi tampaknya Tuhan tak pernah benar-benar bisa hilang dari memori dan kesadaran manusia. Dia disebut-sebut dalam doa tapi juga dikenang-kenang dalam dosa. Novel ini berkisah tentang pemberontakan terhadap Tuhan, namun sebenarnya pencarian tentang-Nya di saat-saat dan tempat-tempat paling haram sekalipun. Tuhan mungkin akan berkata, “Aku tak terhindarkan.”

Lihatlah Kiran! Sejauh apa engkau berlari dari Tuhanmu, sekuat apa pun menolak keberadaanNya, dia selalu melafal-lafalkan namaNya. Bahkan di saat paling nista sekalipun, dia selalu mengingatNya, “Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur!

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

1 Response to "Bedah Buku: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah."

  1. Dulu kakak ku selalu membaca buku ini setiap pagi di belakang rumah, aku selalu penasaran apa isi dari judulnya yang membuat aku pada saat itu "wah kakak ku sedang gila", tapi dia tidak pernah mengijinkan bahkan melarang aku untuk membacanya, hingga pada suatu waktu, kakak ku sebelum meninggal mengijinkan bahkan menyuruhku untuk membaca buku tersebut, dia juga sempat bilang "Jaga mama, jangan sampai si brengsek itu (bapaku) menyakiti fisik sama batinnya mama"

    Dan di akhir bukunya itu ada catatan dari kakaku yang tertulis "dalam cinta hubungan selalu kompromis, dan dan yang menyakitkan"

    BalasHapus