Kartini Kini, dalam Perannya Terhadap Globalisasi Informasi (Bag 1)

Beberapa abad silam, perhatian terhadap peran dan nasib wanita dalam konteks subordinasi patriarkal telah banyak diperbincangkan. Sejak jaman sejarah kuno, Plato dan Socrates telah memberikan kontribusi yang tidak kecil tentang pentingnya kesataraan gender. Dengan alasan yang sederhana, Plato percaya bahwa wanita memiliki kemampuan yang sama efektifnya dengan pria dalam mengelola pemerintahan. Ia menegaskan bahwa mengatur Negara didasarkan pada akal dan rasio, bukan seksisme (perbedaan jenis kelamin secara biologis). Wanita memiliki penalaran yang sama dengan kaum pria selama diberikan kesempatan dan latihan yang sama dan dibebaskan dari “kewajiban” membesarkan anak dan urusan rumah tangga.
Feminist ringer tee, Sumber: stoned immaculate
Terkait dengan persoalan feminisme ini, mahasiswi khususnya, yang diklaim sebagai agent of change dan juga gerbong lokomotif bangsa, mendorong kita pada sebuah “kesadaran” bahwa perannya sebagai bagian dari entitas masyarakat berpendidikan merupakan amanah dan tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas fungsional, layaknya pria. Terbukti setelah Orde Baru dan di Era Reformasi, kesadaran dalam memperjuangkan hak-hak wanita semakin menguat dan terus berkembang, tidak hanya dalam bidang sosial, budaya dan politik, tetapi juga dalam bidang agama.

Pada abad 18 di Prancis, feminisme sebagai suatu gerakan sosial kemudian didukung oleh banyak orang dengan tujuan yang jelas untuk meningkatkan kedudukan dan peran wanita dan memperoleh hak-hak yang lebih adil menghembuskan gaungnya. Bahkan dengan secara indah termaktub dalam Al-Qur’an kata-kata baldatun thayibatun wa Rabbun gafur (bangsa yang beradab dan diampuni Tuhan), yang berdasarkan asbab al-nuzul-nya (sebab-sebab turunnya ayat tersebut) merupakan manifestasi historis sebuah pemerintahan yang adil dipimpin oleh Ratu Balqis.

Sudah waktunya wanita tidak hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan (woman in development), tetapi mesti berkedudukan sebagai subyek pembangunan (woman and development).
Kemudian permasalahan yang justeru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan wanita, akan tetapi wanita an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang ”sekadar” mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan wanita untuk menjadi seorang “wanita perkasa”?




Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Kartini Kini, dalam Perannya Terhadap Globalisasi Informasi (Bag 1)"

Posting Komentar