In Time, Terkait Foucault dan Karl Marx – Emo Ergo Sum (Aku Belanja Maka Aku Ada)

Waktu tidak pernah mengajak kita untuk bermain-main, ia mampu membawa kegembiraan, kesedihan, kesukaran, dan lain sebagainya kedalam kehidupan setiap manusia. Selalu melirik jam karena takut terlambat, khawatir terjebak macet, gelisah menunggu waktu sidang sarjana, rasa tak sabar menunggu datangnya suatu momen bahagia. Bermacam cara menghadapi waktu merupakan satu-satunya indikator yang menunjukkan bagaimana seseorang memperlakukan waktu dalam hidupnya.
musee dorsay clock window, joan ryan. Sumber : fineartamerica
Kini kehidupan manusia menjadikan dirinya sebagai produk pabrik, Hemingway menyebutnya sebagai ‘manusia yang pergi di jalan gelap tanpa tujuan, dan tanpa kemana-mana,’ hingga pada akhirnya kata George Orwell, ‘manusia akan terbuang percuma.’ Seperti Nietzche lewat Zarathustra, atau juga manusia ala Sisyphusnya Albert Camus, dan Gothe dalam Faustnya, menggambarkan contoh menarik dalam kebingungan, perburuan manusia mengenai kehidupan menyenangkan, mencari kepuasan hedonistik, ketololan arah tujuan hidup yang dilampaui. Subjektivitas bukan lagi penentu eksistensi seseorang, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), namun ditentukan pada kemampuan seseorang dalam tindakannya melakukan konsumsi, emo ergo sum (aku belanja/mengkonsumsi maka aku ada).

Sebelumnya manusia dapat dinilai dari aspek kesadarannya, kini mereka diukur dari aspek konsumsinya. Sehingga yang terjadi adalah emo ergo sum, dan waktu adalah salah satu objek konsumsi yang mendominasi kehidupan manusia. Kemudian pertanyaannya adalah, mengapa kemudian waktu diberikan harga yang ekonomis, dan semahal apakah waktu?

Waktu Dalam Film In Time
Dalam film in time, posisi waktu dalam masyarakat dibahas dengan sangat baik. Film yang dibintangi oleh Justin Timberlake sebagai Will Salas dan Amanda Seyfried sebagai Sylvia Weis, umumnya menceritakan mengenai masa depan dengan setting waktu tahun 2169. Ketika penemuan mengenai genetik penuaan dapat dimatikan. Pada masa ini, semua orang direkayasa secara genetik, agar berhenti mengalami penuaan. Namun demikian, hal tersebut kemudian ditukar dengan waktu, jam digital terpasang di lengan semua orang, yang menandakan sisa umur mereka. Sisa umur tersebut dapat bertambah dan berkurang, sebab selain sebagai penanda sisa umur, waktu yang terpasang pada lengan mereka dapat mereka tambahkan dengan bekerja kemudian memperoleh gaji berupa waktu yang di tambah, dan berkurang ketika menyewa atau membeli sesuatu dengan waktu yang terpasang pada lengan mereka tersebut.
in time. Sumber : wall.alphacoders
Will Salas merupakan masyarakat kelas bawah yang bekerja sebagai buruh pabrik demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia hanya tinggal bersama Rachel Salas yang merupakan Ibunya, keduanya harus bekerja keras setiap hari siang dan malam, hingga pada suatu hari Will bertemu dengan seseorang bernama Hanry Hamilton, seorang yang berasal dari kelas atas. Peristiwa inilah awal mula konflik dalam film in time.

Alih-alih menyelamatkan Hanry dari pencuri waktu, yaitu fortis. Will malah terjebak dalam masalah yang besar. Karena Hanry Hamilton adalah masyarakat kelas atas, maka ia memiliki waktu yang lama dan telah hidup selama lebih dari 100 tahun. Karena sudah merasa bosan, Hanry secara diam-diam memberikan waktunya kepada Will, dan Hanry melakukan bunuh diri dengan cara terjun bebas dari atas sebuah jembatan.

Dampak yang terjadi dari hal tersebut, Will kemudian menjadi buronan time keeper, atau dapat dikatakan sebagai polisi pada film ini. Time keeper mengira bahwa Will merupakan penyebab kematian Hanry. Merasa memiliki banyak waktu pada lengannya, Will berencana membawa serta Ibunya ke zona masyarakat kelas atas di New Greenwitch, tetapi hal itu gagal karena  Rachel tidak sempat tertolong oleh Will karena kehabisan waktu sebelum bertemu dengannya.
_________________________________
Banyak sekali definisi mengenai waktu. Namun pada film in time, waktu dapat dengan mudah dijelaskan seperti kata Benjamin Franklin ‘waktu adalah uang.’ Hal tersebut identik dengan opportunity cost, yang secara sederhana dapat dicontohkan seperti ini, pada malam hari pukul 22.00 semua perusahaan telah tutup, dan semua orang yang bekerja siang hari telah terlelap tidur. Namun hal tersebut tidak terjadi pada seorang penjual angkringan. Pedagang ini siangnya bekerja pada sektor lain, dan malamnya memanfaatkan waktu lebih untuk berjualan angkringan, dari pada orang-orang yang bekerja di kantor siang hari selama 7-8 jam. Apakah manusia diperlakukan dengan keras oleh waktu?

Sejalan dengan tendensi dalam film in time, Karl Marx telah meramalkanya, terutama pada bagian penggunaan waktu kerja dan sistem industrialisasi. Menurutnya, yang menentukan nilai dari sebuah komoditas adalah kerja, sedangkan yang membedakan komoditas satu dan yang lainya adalah waktu kerja. Walaupun ramalan ini sedikit meleset karena adanya otomatisasi dalam dunia industri, dimana komoditas dapat diproduksi dengan cepat. Di luar hal tersebut, mari kita renungkan ramalan Marx dalam konteks pedagang angkringan yang disebut di atas tadi. Emilie Durkheim mengemukakan konsep waktu sosial. Menurutnya, waktu dapat digunakan sebagai pembanding antar satu kelompok sosial dengan kelompok lainnya.
Karl Marx. Sumber : artsandecon
Dalam setiap kehidupan kolektif (komunitas, golongan, strata sosial, suku, usia) menggunakan dan menanggapi waktu dengan cara masing-masing. Hal ini membuat sifat waktu menjadi begitu, miskin, sempit, dan mekanis. Makna waktu seolah dikemas sedemikian rupa dalam baris ukur, diinvestasikan, bahkan kemudian ditransfer. Begitulah yang terjadi, seperti saat Will Salas dalam dialog pada film in time ini: ‘i don’t have time, I don’t time to worry about how it happened.’ Zaman ini manusia seolah tidak memiliki waktu untuk menjelaskan bagaimana perubahan genetik terjadi pada hidupnya. Orang-orang terus bekerja keras dan patuh, seakan-akan tidak memiliki waktu untuk sekedar bertanya bagaimana hidup dapat berjalan dengan cara seperti ini.

Dikontrol oleh waktu bukan merupakan suatu hal yang buruk yang kemudian harus dihindari. Toh pada kenyataanya siapa pun tidak ada yang mampu menghindar dari genggaman waktu. Namun hal penting yang perlu digaris bawahi adalah, mencari tahu, sistem apa dan bagaimana yang mengontrol waktu setiap orang? Jawaban paling umum adalah sistem penanggalan kalender. Jawaban tersebut tidak lah salah. Ke galauan lain justru hadir ketika kita mengetahui dibalik penganggalan itu, terdapat kekuasaan yang secara sembunyi-sembunyi bersemayam dan mengontrol kehidupan setiap manusia, berawal dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dengan memanfaatkan kalender, kekuasaan bekerja secara kokoh dalam segala lini kehidupan. Baik itu dalam dunia pendidikan, pekerjaan, agama, adat istiadat, keluarga, hingga di tempat tidur. Segala tindakan dan perilaku manusia secara samar diarahkan untuk patuh pada kekuasaan dibalik tirai kalender.

Dalam pandangan Michel Foucault, sistem kontrol dan pengawasan, mengambarkan proses kekuasaan yang bekerja melalui wacana. Wacana secara luas menurut Foucault yaitu sesuatu yang dikatakan, ditulis, atau dikomunikasikan dengan mengunakan tanda dan menandai hubungan yang lain dengan strukturalisme dan fokus domainnya pada bahasa.
Michel Faucoult. Sumber : i2.wp
Gagasan ini kemudian diterjemahkan oleh misalnya para psikolog, psikiater, pekerja sosial, serta pakar-pakar yang lainnya, sebagai pembatas antara peran-peran kenormalan dengan peran-peran kegilaan dalam kehidupan manusia.

Antonio Gramsci berpendapat mengenai perihal wacana. Bahwa wacana bekerja dengan proses hegemoni, yang merupakan proses tidak terlihat. Ditegaskan Gramsci bahwa kecenderungan kelompok penguasa mengandalkan kekuasaan koersif untuk menjaga kekuasaannya hanya menunjukkan kelemahan ideologis dan kulturalnya. Oleh karenanya, maka proses hegemoni dilakukan untuk mendapat legitimasi masyarakat terhadap kekuasaan tanpa melakukan metode kekerasan. Seperti halnya dalam film in time, masyarakat tidak dapat dan tidak mampu melakukan perlawanan, sebab kultur, norma, nilai, politik dan ideologinya telah diinternalisasikan sebagai kepemilikan pribadi oleh kelompok-kelompok tertentu.

Pedagang angkringan, guru, petani, mahasiswa, buruh pabrik, dan lain sebagainya, tidak berani melakukan sebuah revolusi yang mempu mengubah struktur dan sistem tertentu karena dari awal telah dihegemoni oleh kekuasaan. Orang berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlambat masuk kerja, Orang berupaya agar tidak terjebak kemacetan di jalan, meski dalam keadaan mengantuk seseorang memaksakan diri untuk bangun pukul 4 pagi tanpa memprotes mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi.

Tapi ya sudahlah, sadar ataupun tidak, toh orang-orang masih membutuhkan Karl Marx dan Foucault.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "In Time, Terkait Foucault dan Karl Marx – Emo Ergo Sum (Aku Belanja Maka Aku Ada)"

Posting Komentar