Tindak Pidana Berjamaah - Membedah Epistemologi Koruptor

Pejabat publik memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan tindak pidana korupsi. Posisinya dapat dimanfaatkan sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi. Tujuannya bermacam-macam, bisa untuk memperkaya diri, kelompok, atau untuk kepentingan serupa pembiayaan ongkos politik. Singkatnya, para koruptor menari di atas  penderitaan rakyat. Bukan tidak tahu, namun tindakan korupsi masih dilakukan, mengapa demikian?

Super Flamands. Sacha Goldberger.
Sumber: pinterest
Pertanyaan tersebut menuntut kita untuk mengetahui jalan pikiran seorang koruptor dalam keputusannya melakukan tindak pidana korupsi. Ada tiga hal yang mendasarinya, pertama adalah karena kebiasaan, penolakan, serta kesalah pahaman. Ketiganya berhubungan langsung dengan mentalitas kolektif yang akut mendiami masyarakat kita.

Para koruptor berfikir dalam sudut pandang materialistis sempit, menjadikan pandangan ini sebagai prinsip dasar mereka dalam berfikir sehingga menjadi kebiasaan yang tertuang kedalam tindakan sehari-hari. Hingga output nya mendorong kepada  tindakan yang salah dan merugikan orang lain. Ini merupakan tindakan yang menjadi sumber mala petaka, baik untuk dirinya dan orang lain.

Koruptor menolak hidup secara sederhana, sederhana dalam segala aspek karier yang melekat pada dirinya. Mereka rela melakukan penolakan tersebut dengan cara-cara yang luar biasa kejam yang disebut dengan korupsi, mengingat tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Apabila segala sesuatunya selalu dipandang secara materialistis sempit, maka seseorang khususnya pejabat publik dapat dengan mudah menjadi seorang koruptor. Sebab ia akan selalu merasa tidak memiliki, hingga pada tingkat paling kuat sekalipun dalam karir jabatannya.

Kesalahpahaman yang terjadi berkenaan dengan cara berpikir materialisme sempit, bahwa kekuasaan, walaupun tidak dibawa keliang lahat, namun dapat ia “wariskan” ke anak cucu mereka. Selain itu, kepuasan libido politik dalam menggapai kekuasaan merupakan hal yang erat kaitannya dengan proses dialektika. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa teori dialektika sendiri tidak mengisyaratkan posisi yang selalu statis, namun selalu bergerak. Oleh karenanya kesadaran bahwa materialisme sempit akan menjerumuskan seseorang kedalam keadaan yang merugikan haruslah selalu digaungkan. Sederhananya, dalam sudut pandang dialektika, tidak selamanya seseorang berada di atas.
Ilustrasi Uang Pengganti, Sumber: hukumonline
Parahnya, ke tiga epistemologi koruptor tersebut di atas, tidak hanya terjadi pada individu. Namun kemudian berkembang menjadi berkelompok. Tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana yang dilakukan secara berjamaah, pada titik ekstrim menjadi hal yang dapat dimaklumkan dalam lingkarannya. Saling melindungi kemudian menjadi kebudayaan yang mematikan daya kritis akal sehat, dan kesejahteraan bukan hanyaa menjadi mati suri, namun dapat menjadi mati total.

Kesadaran mental mengenai tiga epistemologi koruptor mestinya ditanamkan semenjak dini. Segala bentuk norma, nilai-nilai dalam masyarakat dan agama, serta produk hukum dengan bentuk paling canggihnya, tetap tidak akan mampu melawan korupsi apabila tidak dibarengi dengan kesadaran mental mengenai epistemologi koruptor.


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Tindak Pidana Berjamaah - Membedah Epistemologi Koruptor"

Posting Komentar