Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 10) - Privatisasi Sebagai Potensi Krisis



Kapitalisme yang pernah meraih agama dari ancaman agnostisisme dan memanfaatkan agama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi justru menjadi ancaman bagi keberadaan agama. Kapitalisme mempertahankan agama ke dalam wilayah privat, akan tetapi agama tidak menjadi lebih penting dari pada aturan-aturan pasar.



Kapitalisme telah menjadi kekuatan dominasi baru dengan tata nilai yang khas. Prinsip-prinsip ekonomi yang ditanamkan kapitalisme mempengaruhi karakter budaya masyarakat dunia. Dominasi kapitalisme secara global membentuk jaringan ketergantungan yang melibatkan seluruh masyarakat, sehingga hampir tidak terdapat masyarakat yang bebas dari hegemoni kapitalisme. Alat-alat dominasi seperti media massa dan barang-barang produksi telah menyebar hingga ke wilayah masyarakt terpencil. Teknologi yang dikembangkan kapitalisme berhasil diterima sebagai tuntutan alamiah masyarakat modern.
The privatisation of state-owned companies By Jamal Khurshid, Sumber: The Express Tribune
Melalui mekanisme khas sebagaimana dikemukakan Derrida, yaitu "prosedur berdaulat yang tidak perlu diperdebatkan lagi," standar nilai kapitalisme dapat merasuki wilayah kesadaran, sehingga membentuk permakluman-permakluman di dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat dapat memaklumi secara sadar ketika dirinya telah terjerat oleh aturan-aturan pasar dan tidak ada pilihan lain kecuali mentaatinya. Aturan-aturan pasar menjadi inheren dalam praktek-praktek kehidupan. 

Transaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat selalu melalui perhitungan 'untung-rugi.' Dalam konteks ini, hilangnya minat gotong-royong dalam masyarakat Jawa dapat dipahami, karena tidak sejalan dengan nilai untung-rugi. Masyarakat memiliki permakluman yang tinggi terhadap hilangnya rasa kebersamaan. Permakluman-permakluman tersebut, pada tingkat struktur sosial tidak lain merupakan 'pluralisme' (Berger, 1991: 151). Kapitalisme telah mengakibatkan suatu keruntuhan penalaran yang meluas pada definisi-definisi tradisional. Di dalam kehidupan keagamaan sehari-hari, masyarakat cenderung tidak memiliki acuan yang pasti, karena berhadapan dengan tata nilai yang beragam. Kapitalisme telah membentuk representasi nilai yang beragam untuk memenuhi tuntutan spesialisasi masyarakat modern.

Berbagai karakter dan wacana yang dikembangkan kapitalisme, seperti konsumerisme, progresifisme, dan globalisme menjadi sangat sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat saat ini. Budaya konsumsi merupakan perilaku yang melekat di dalam masyarakat. Mal sebagai representasi citra konsumerisme sangat sukar dipisahkan   dari kehidupan masyarakat kontemporer. Mal menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan yang hanya dapat di peroleh dengan nilai tukar (Ahmed, 1992: 215).

Demikian halnya dengan semangat kemajuan (progressivism), telah membentuk pola kompetisi bagi negara-negara di dunia.  Kapitalisme membentuk kategori 'negara industri maju' dan 'negara berkembang' untuk membentuk diferensiasi kualitas kemajuan yang telah dihasilkan negara-negara yang bersangkutan. Kategori tersebut disusun melalui parameter yang ditetapkan oleh aktor-aktor dominasi, yaitu prestasi pertumbuhan ekonomi.

Di pihak lain, kapitalisme juga menanamkan kesadaran global bagi masyarakat dunia, sehingga melemahkan batas teritorial negara-negara. Di dalam kesadaran global tersebut, perusahaan-perusahaan multinasional seperti Toyota, Motorola, Sony, Siemens, Ford, dan lain sebagainya menjadi aktor yang mengatur tingkah laku masyarakat (Fukuyama, 1995: 89). Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut memiliki kontribusi bagi pembentukan profesionalisme dalam masyarakat. Individu telah terbentuk sebagai unit-unit profesional dan terdeferensiasi akibat beraneka-ragam referensi nilai (Beyer, 1991: 378).

Bermacam-macam referensi nilai yang tersedia di dalam masyarakat, telah memberi peluang yang besar bagi perbedaan-perbedaan praktek kehidupan. Praktek-praktek keagamaan mengambil bentuk yang plural, karena secara obyektif tidak terdapat kekuatan yang mampu memaksakan kepatuhan individu. Masing-masing individu memiliki penghayatan religius yang bebas dari pengaruh institusi agama. Berbagai macam ekspresi keagamaan, pada level tertentu, tidak lain merupakan aktifitas penegasan identitas. Individu merasa perlu mempertahankan "barang status" sebagai gaya hidup populer. Subjektifitas individu modern, menurut Friedman, akan senantiasa mempertegas diferensiasi dan mempertahankannya sebagai identitas. Identitas menjadi penting karena merupakan status yang sangat berharga dalam ruang kehidupan (life space) masyarakat (1994: 150-151).

Privatisasi agama sebagai produk kapitalisme tidak lain merupakan upaya penegasan identitas individu dalam ruang kehidupan masyarakat. Individu secara sadar mengambil bentuk-bentuk praktek keagamaan secara plural dan pada saat yang sama dapat menerima perbedaan praktek-praktek keagamaan yang dilakukan oleh orang lain. Privatisasi agama merupakan ekspresi kemerdekaan penghayatan individu. Individu menyesuaikan bentuk-bentuk praktek keagamaan yang tidak sejalan dengan representasi kapitalisme. Di dalam dimensi pengalaman, privatisasi membentuk variasi pengalaman yang keagamaan yang sangat beragam. Masing-masing individu memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda dalam hal ketaatan dan motivasi beragama.

Di dalam dimensi pengetahuan, individu menghayati ajaran agama sesuai dengan otoritas intelektualnya sendiri. Individu tidak tertarik dengan doktrin beku yang dikeluarkan institusi agama. Kebahagiaan duniawi yang dijanjikan kapitalisme menjadi patokan bahwa seseorang dapat memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kadar pengetahuan yang dimilikinya. Individu menjadi pihak yang otonom dan memiliki keleluasaan dalam mengatur pengharapan dan kebahagiaan yang diinginkannya. Masing-masing individu memiliki variasi keyakinan yang dilandasi oleh aturan rasional kapitalisme yang membebaskan. Keyakinan religius yang dimiliki individu menjadi sangat ditentutan oleh kreatifitas atau ijtihad.

Pasar kapitalisme berhasil mengatur tingkah laku sosial dan melembagakan kebebasan ekspresi keagamaan individu. Skenario ekonomi mengambil alih tradisi-tradisi kultural untuk menciptakan makna bagi kehidupan sehari-hari. Bermacam-macam motivasi hidup yang dijanjikan kapitalisme menjadi sistem referensi yang melandasi setiap aktifitas masyarakat.

Namun jika dihadapkan pada realitas aktual yang menunjukkan bahwa skenario ekonomi tidak sepenuhnya menciptakan makna positif, maka privatisasi agama tidak lain merupakan potensi krisis agama dalam skala besar. Kapitalisme menciptakan makna  bagi aktifitas pengutatan identitas, sehingga agama dijadikan wahana untuk  mempertegas identitas masing-masing penganutnya. Gejala tersebut belum tentu sesuai dengan nilai-nilai dasar agama yang bersifat universal. Optimisme ekonomi yang dijanjikan kapitalisme telah meningkatkan angka pengangguran dan kesenjangan yang semakin melebar.

Eksploitasi alam yang digunakan sebagai komoditi berdampak negatif bagi ekosistem dunia. Pola ketergantungan yang diciptakan mekanisme pasar, tidak lain merupakan legitimasi hubungan eksploitatif, negara yang lemah bergantung pada negara yang memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Konsumerisme tidak menjanjikan realitas apa-apa, kecuali simulasi tanda yang tidak memiliki makna (Angus, 1989: 101). Progresifisme, yang menjadi ideologi dominan selama 200 tahun, atau lebih khusus 50 tahun terakhir, seperti dikatakan Sakakibara, telah kehilangan roh dan secara faktawi akan berakhir (1995: 9). Prestasi tekonologi yang semula diarahkan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan, sebagaimana semangat Pencerahan, justru membawa masyarakat ke dalam lembah dehumanisasi (Hikmat Budiman, 1997: 63).

Kapitalisme sebagai penopang privatisasi agama telah bergerak memasuki ironi yang serba paradoks. Kapitalisme tidak dapat mengatasi ketidaksesuaian riel antara representasi ideal dan tuntutan profit. Masyarakat modern telah terbentuk sebagai individu-individu yang tidak terpuaskan. Sifat konsumerisme dan gaya hidup hedonis yang merupakan hasil reproduksi kapitalisme menjadi identitas kehidupan. Pengejaran "barang status" menjadi lebih penting dari pada kepribadian yang melekat dalam diri individu. Kemiskinan publik dan ancaman kerusakan alam yang seharusnya teratasi justru berkembang lebih pesat.

Privatisasi agama menjadi bahaya laten, karena karakter-karakter yang  berlaku tidak disadari oleh masyarakat. Individu, menurut Marcuse (1964: 60), bahkan tidak memiliki daya tolak terhadap represi budaya kapitalisme, sehingga hanya mampu bertindak afirmatif terhadap seluruh bentuk representasi kapitalisme.  Kapitalisme berhasil menciptakan optimisme ekonomi, namun tidak berhasil menciptakan basis motivasi yang dapat dijadikan sebagai referensi makna. Representasi kapitalisme yang dijadikan sebagai basis motivasi privatisasi agama adalah fantasi manusia yang tidak pernah mencapai titik kepuasan. Jika representasi-representasi tersebut terus menerus digunakan sebagai basis privatisasi agama, maka agama akan mengalami erosi makna, sehingga keberadaannya tidak menjadi penting lagi.


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 10) - Privatisasi Sebagai Potensi Krisis"

Posting Komentar