Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 11) - Kedaulatan Agama Sebagai Solusi



Privatisasi agama sebagai perilaku sosial yang telah diketahui penyakit dan potensi kehancurannya harus dijadikan landasan bagi suatu pemahaman baru. Agama yang masih bertahan di dalam wilayah privat, meskipun hanya "kulitnya" yang masih tersisa, setidak-tidaknya dapat dihidupkan kembali sebagai struktur yang mengatur kejamakan sosial.



Kapitalisme adalah kekuatan transformasi budaya yang sangat dominan. Dominasi kapitalisme berlangsung melalui mekanisme pasar yang mengikis nilai-nilai melalui upaya manipulatif yang bertujuan untuk mengakumulasi kapital. Kapitalisme tidak memproduksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan kebutuhan, melalui beraneka-ragam citra dalam media dan mekanisme  lainnya yang sanggup menghilangkan daya kritis, sengaja diciptakan agar komoditi bisa terjual seluruhnya. Masyarakat kapitalistik, menurut Marcuse, terbelenggu dalam keadaan desublimasi represif (repressive desublimation). 
The Building of Noahs Ark - Ferg Franz de Paula, Sumber: Pinterest
Berlangsungnya desublimasi represif ini ditandai oleh hilangnya dimensi penolakan dalam diri masyarakat, sehingga individu hanya mampu bertindak afirmatif terhadap kekuatan yang datang dari luar (Marcuse, 1964: 60). Individu tidak memiliki pilihan lain, kecuali mengikuti logika kapitalisme dan mengambil nilai-nilainya sebagai  basis motivasi beragama.

Namun, kenyataan tersebut menimbulkan persoalan yang lebih rumit, karena kapitalisme tidak mampu merealisasikan cita-cita idealnya. Kapitalisme tidak berhasil menunjukkan nilai-nilai kebebasan yang membebaskan manusia. Kemajuan dan kesejahteraan bagi umat manusia justru menjadi mitos abad XX. Gaya berpikir yang diderivasikan dari prosedur-prosedur ilmu pengetahuan dan teknologi yang semula menjadi perangkat kritik budaya abad Pertengahan, justru menjadi mitos baru. Kapitalisme menampilkan ironi yang berpotensi meruntuhkan logikanya sendiri.

Privatisasi agama sebagai kecenderungan yang melekat dalam individu menjadi potensi krisis di dalam masyarakat kapitalistik. Privatisasi agama sebagai tingkah laku sosial yang terbentuk melalui standar nilai kapitalisme tidak berbeda dengan progresifisme,   developmentalisme, atau positifisme yang telah kehabisan energi. Privatisasi agama tidak lain merupakan bentuk manipulasi pasar yang menggunakan agama sebagai media akumulasi kapital. Repolitisasi agama merupakan strategi kapitalisme untuk menciptakan konsumen dalam skala dunia. Agama yang pernah dianggap candu oleh para Hegelian Kiri, ditampilkan kembali sebagai sistem penyokong kebahagiaan.

Kapitalisme merasuki wilayah keagamaan transendental dan membaliknya dengan tata nilai duniawi. Individu kemudian dibentuk sebagai manusia yang tidak sabar untuk mendapatkan  kebahagiaan akhirat dan secara sadar mengusahakan kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan duniawi yang diusahakan individu adalah komoditi kapitalisme. Kapitalisme bahkan terus-menerus menciptakan kebutuhan dan menyediakan komoditi untuk kebahagiaan masyarakat. Masing-masing individu pada akhirnya terbentuk sebagai manusia-manusia serakah yang tidak pernah terpuaskan. Kebahagiaan duniawi yang direpresentasikan kapitalisme dalam berbagai wujud ideal adalah sesuatu yang tidak pernah dicapai manusia. Kapitalisme, dengan demikian, hanya menyisakan manusia-manusia 'kering' yang kehabisan energi atau manusia yang tidak 'karar' di alam semesta.

Kapitalisme sebagai kekuatan hegemonik harus dipecah menjadi 'serpihan' kebenaran. Superioritas dan kekuatan subjugasi kapitalisme harus dihilangkan dengan menampilkan solusi alternatif yang mampu menyediakan basis motivasional bagi kehidupan manusia. Kekuatan alternatif tersebut harus lebih dari sekedar penghancuran hegemoni, karena manusia saat ini menuntut referensi nilai yang dapat menyejukkan suasana kehidupan.

Relativisme, selama berupaya menampilkan identitas lain (the Other) sebagai serpihan kebenaran, dapat diterima sebagai kekuatan alternatif. Menurut Gellner (1994: 39), gagasan-gagasan kaum relativisme adalah semua yang ada dianggap sebagai "teks." Realitas adalah teks yang dapat diurai ataudidekonstruksi. Relativisme meyakini bahwa tidak ada kebenaran obyektif, sebab yang ada hanyalah pemaknaan-pemaknaan. Sesuatu, selalu telah ditentukan oleh makna yang ada di dalamnya. Maknalah yang membuat sesuatu berubah dari sebuah keberadaan yang tidak jelas, sehingga menjadi sebuah obyek yang dapat dikenal. Kapitalisme, sebagai contoh, adalah sistem pemaknaan terhadap mekanisme ekonomi yang sepenuhnya berorientasi pada perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Perangkat analitis yang digunakan kaum relativisme adalah hermenetika. Relativisme berusaha menolak segala fakta obyektif, semua struktur sosial independen, dan menggantinya dengan kepentingan "makna" (Gellner, 1994: 41-48). Michel Foucault, salah seorang relativis, menyajikan suatu "pemaknaan" melalui kerangka yang disebut 'genealogi'(genealogy). Genealogi merupakan suatu pemaknaan bahwa proses sejarah tidak pernah melaui jalur tunggal. Genealogi mencoba memperhitungkan aspek-aspek yang berada di luar kebenaran akhir yang monoton, sehingga perjalanan sejarah seharusnya tidak diartikan  sebagai proses menuju ke arah suatu tempat yang sudah pasti, melainkan suatu perjalanan menuju tempat-tempat yang belum diketahui (Wilson, 1995: 160).

Seorang genealogis, menurut Foucault, harus dapat memperhatikana detail dari setiap kejadian sejak awal terjadinya tanpa "membungkusnya" dengan bermacam-macam selubung teori  atau kepentingan. Seorang genealogis juga harus mampu mendiagnosa penyakit-penyakit yang sedang berjangkit serta memahami kekuatan, kelemahan, kehancuran, dan daya tahan terhadap suatu tatanan sosial (Bob Sugeng Hadiwinata, 1994: 28). Melalui genealogi, setidak-tidaknya dapat terlihat berbagai kesewenang-wenangan kapitalisme dari sejarah awal perkembangannya hingga saat ini. 

Aspek-aspek yang sebelumnya tidak pernah terlihat di permukaan dapat diketahui melalui analisa genealogis. Seperti dikatakan Bob Sugeng Hadiwinata: Analisis genealogis pada gilirannya mengajak kita untuk men-dekonstruksi prinsip yang sedang tampil sebagai master discourse pada saat ini. Dekonstruksi lebih dari sekedar usaha untuk menemukan "kesalahan-kesalahan" pada suatu teks saja, tetapi juga meredefinisi segala aspek yang terkandung di dalamnya dengan cara: pertama, menemukan perkecualian dari suatu generalisasi yang sedang berlaku; kedua,  menginterpretasikan argumen-argumen  dalam suatu teks secara ekstrim; ketiga, menolak keabsahan segala macam dikotomisasi yang mungkin ada; dan keempat, membuka peluang bagi kemungkinan munculnya berbagai interpretasi terhadap suatu teks seluas mungkin (1994, 28-29).

Dekonstruksi memberi peluang bagi pemaknaan baru  yang selama ini berada diluar logosentrisme. Pemaknaan-pemaknaan yang telah direduksi oleh logosentrisme dapat hadir kembali dan diterima sebagai serpihan kebenaran, selama ia tidak menyembunyikan kepentingannya.  Situasi plural yang ditandai dengan bermacam-macam pemaknaan kebenaran, menurut Lyotard (1989: 63-64), bahkan harus tetap dipertahankan untuk menghindari arogansi baru sebagai teror yang memaksakan kehendak. Realitas, sebagaimana ditegaskan Lyotard, tidak bisa disatukan ke dalam sebuah kerangka besar (master discourse), karena setiap unsur bekerja dengan logika dan bahasanya sendiri.

Serangan kaum relativisme sebagai bentuk penghancuran kekuatan hegemonik dapat dipandang positif. Relativisme dapat membongkar kepalsuan-kepalsuan yang selama ini disembunyikan untuk mempertahankan status quo. Akan  tetapi masalah yang dihadapi manusia adalah krisis basis motivasi tindakan. Manusia yang selama ini telah dibentuk oleh suatu narasi besar, akan semakin kehilangan arah jika tidak memiliki sistem pemaknaan yang dapat mengakomodir  kejamakan realitas. Relativisme yang berhasil membongkar logosentrisme dan fonosentrisme, jika tidak menghasilkan sistem pemaknaan yang netral, maka tidak berbeda dengan kaum konservatif yang hanya bisa menangisi dan mentertawakan realitas kehidupan.

Relativisme harus dihargai sebagai gerakan yang sangat berhati-hati untuk tidak menjadikan dirinya sebagai kekuatan arogan yang merasa berhak dan dapat memaksakan kehendak. Namun sikap berhati-hati tersebut justru tidak menghasilkan apa-apa. Sebagaimana digambarkan oleh Ernest Gellner:  Mereka menjadi sangat antusias dan mabuk karena kesulitan menjelaskan tentang Yang Lain, sedemikian sehingga bahkan pada akhirnya mereka sama sekali tidak mencoba meraihnya. Alih-alih, mereka malah menyibukkan diri dengan menjabarkan tema-tema "ketakmampuan-menjangkau," dan menawarkan semacam pengenalan kepada kabut tak terselami, suatu hak Istemewa yang tak terjangkau. Ketidak mampuan-menjangkau yang lain menjadi suatu ilmu dan misteri tersendiri (1994 : 83).

Revitalisasi agama diperlukan untuk menampilkan kembali nilai-nilai dasar agama yang telah disekularkan. Agama harus tampil kembali sebagai legitimasi tata nilai sosial dan kesalehan yang berdaulat. Kedaulatan agama harus disusun sebagai strategi revitalisasi agama dalam wilayah kehidupan individu dan kejamakan sosial. Agama berdaulat sebagai otoritas yang mengatur kesalehan individu secara pribadi maupun secara sosial. Akan tetapi, kedaulatan agama memberi kebebasan seluas-luasnya bagi individu untuk menjalankan fungsi agama sesuai dengan konteks, kesempatan, dan suasana.

Agama memiliki nilai-nilai transenden yang bersifat hakiki. Namun, sebagai referensi tata nilai  bagi kejamakan dunia kehidupan, kehadiran agama tidak sebagai kekuatan otoriter. Agama bersifat membebaskan dan tidak semata-mata membangun hukum formal yang kaku. Agama memberi peluang untuk ditampilkan dalam berbagai aplikasi, karena kejamakan sosial, setidak-tidaknya bagi agama yang lahir dari tradisi Semit, merupakan suatu hal yang telah dijamin di  dalam wahyu.

Agama memiliki kedaulatan yang mengatur kelakuan, tetapi pada saat yang sama membebaskan individu untuk menampilkannya dalam berbagai macam aplikasi. Posisi agama yang demikian dapat menjadi basis motivasi yang lebih 'hidup' bagi dunia kehidupan manusia sekarang. Manusia harus mulai dibiasakan untuk menyadari bahwa Kebenaran Absolut bersifat transenden dan sepenuhnya merupakan otoritas Allah. Sedangkan di dalam wilayah kehidupan sehari-hari, kebenaran dapat menampakkan diri dalam berbagai realitas dan dalam bahasa yang berbeda-beda.

Tamat.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 11) - Kedaulatan Agama Sebagai Solusi"

Posting Komentar