Bertamu Kerumah Freud
Waktu itu
angin berhembus kencang menyapu daun-daun di pelataran halte. Deretan perumahan
komplek yang kontras dengan suasana kota London, mengantarku kembali pada memori
film lama, ‘Home Alone’. Film yang
biasa diputar televisi nasional ketika libur panjang tiba.
Deretan
anak-anak kecil yang berbaris lima-lima mengenakan seragam biru dongker dan mengenakan
topi pita yang berbelok kepertigaan menyadarkan lamunanku, sepertinya mereka
akan menuju sebuah sekolah yang tempatnya satu komplek dengan bangunan Gereja.
Aku segera bergegas menyebrang jalanan, teringat waktu yang melaju tanpa ampun
dan mencengkram segala sesuatu.
Jalan komplek
sangat lengang, hanya terparkir beberapa mobil saja membuat langkahku tidak
terhalang. Sembari melangkah dengan tergesa, aku menelusuri rumah-rumah yang
bentuknya mirip satu sama lain mencari sebuah alamat. Dan akhirnya aku berada
tepat di depan sebuah rumah dengan alamat yang aku cari. Kediaman seseorang
yang selama ini hanya berada di tapal batas angan-angan.
Somewhere in London - Loui Jover. Sumber: saatchi art |
Dengan
langkah yang terburu – riang melewati halaman rumah tersebut hingga memasuki
pintu utama. Saat masuk kedalam rumah, aku disambut senyum seorang pria ramah,
muda dan tampan. Ia mempersilahkanku untuk membeli tiket yang ada diruangan
itu. Aroma dan wewangian ruangan ini sangat identik dengan bau teh dammann
freres yang menyatu dengan musik ala Timur Tengah. Seperti tanda bahwa ruangan
ini adalah pemersatu dua alam yang bersebrangan.
Seorang
pengunjung dan ada juga sepasang pengunjung yang menginjak usia senja, mereka
melemparkan senyum simpul kepadaku. Disinari cahaya lampu redup, aku kemudian
mengamati sebuah ruang kerja yang tertata sangat rapi dengan dibatasi tali
merah sebagai penanda batas pengunjung. Lama kuperhatikan, di sana ada sebuah
kursi kerja yang letak posisinya tidak simetris dengan semua meja yang ada di
sana. Sepertinya ada orang yang baru saja menggeser dan duduk ditempat itu.
Semua suara
berbisik dan bunyi langkah pengunjung mendadak hilang. Benar ternyata, seorang
berjas abu-abu dengan umur paruh baya terlihat sedang serius membaca buku sambil
duduk di kursi kerja. Aku tercengan seketika datang sepasang mata sayu
mempersilahkanku duduk di sofa sebelahnya.
Terdiam mematung,
aku merasa kaget, kikuk tidak tahu harus berkata apa.
“Sudahlah, jangan merasa insecure seperti itu. Atau kamu memang benar mengidap Obsessive-Compulsive Disorder. Tujuh
tahun bukan waktu yang singkat untuk memendam rasaan suka sendirian.”
Coquette - Sophie Amundsen. Sumber: Pinterest |
Aku
bergumam dalam hatiku “Bagaimana bisa dia tahu kalau aku punya luka yang terukir
sedemikian lama?” Pak tua itu mengundang tanya dalam lirik pikiranku.
Pak tua itu
kemudian memecah lamunanku “Shakespeare memang selalu memukau! Aku teringat
pekerjaan di awal karierku yang begitu berat, keharusan membuktikan pada para
ilmuwan bahwa segala usahaku adalah sesuatu yang ilmiah. Hmm, kenangan Project for a Scientific Psychology.”
Dalam
keadaan yang masih kikuk, aku menimpali perkataan pak tua itu dengan asal. “ya..,
maaf Pak, tetapi mata anda yang begitu pengertian itu, sepertinya subjektivitas
merupakan hal yang sangat anda unggulkan.”
Sejenak ia
menghisap cerutnya dan menjawab. “Semoga saja demikian. Apa kau tahu, justru
karena itulah aku bertekad merampungkan Sudies
Of Hysteria.”
“Materpiece dengan judul The Interpretation of Dreams,” Aku
menimpali dengan suara agak keras.
Pak tua itu
tersenyum. “Ternyata kamu teman mengobrol yang baik, mari. Duduklah.” Aku kemudian
duduk di sofa dengan balut kain bermotif ala Babilonia. Setelah aku duduk, Ia
kembali bertanya padaku, “Dibalik keringkihanmu itu, ada apa yang terjadi?”
Aku merasa
bingung dengan maksud dari pertanyaan tersebut. Belum pula sempat menjawab, pak
tua itu kembali melanjutkan.
“Maafkanlah
caraku yang penuh dengan judgement
sehingga tidak terdengar terapeutik.”
Sambil tersenyum
aku menjawabnya, “Saya tahu, Anda pasti sedang bercanda.” Aku sedikit tersipu
dan melanjutkan “Jikalau ada suatu peristiwa yang begitu menggebu, itu adalah
ketika pertemuan dengan cinta pertama.”
“Sudah
kusangka! Engkau memang masih sangat lugu.”
Aku
menimpali. “Aku butuh waktu tiga tahun lamanya untuk memberi tahu diri saya
sendiri bahwa saya sedang jatuh cinta.”
“My dear! Itu sangat naif.”
Biarlah aku
dianggap lebay, aku lanjut berkata
dengan tendensi sedikit curhat, “ Selanjutnya aku membutuhkan waktu empat tahun
dalam upaya mengungkapkan rasa cinta itu. Bahkan dangan waktu yang lebih dari
itu, aku masih tidak mampu untuk mengungkapkannya. Hingga akhirnya, dia berubah
menjadi pribadi yang berbeda.”
Pak tua itu
menjawab. “Maaf nak, saat ini aku sedang tidak ingin melakukan the talking cure, sebab aku yakin, engkau
mampu mempelajari dirimu sendiri.”
Aku tersenyum
kecut. “Baiklah, tak masalah. Mungkin aku hanya sedikit baper saja.”
Ia
menghisap cerutunya dalam-dalam dan menghembuskannya ke langit-langit ruangan,
lalu berkata. “Tetapi psikoanalisis merupakan tempatmu mengalami kegelapan masa
tersebut. Tahukan kamu, ada jalan terang setelah sekian lama aku bergelut
dengan temuan-temuan yang aku peroleh dari pasien-pasienku, seperti Anna O dan
manusia serigala Sergei Pankejef.”
Spontan mulutku
berujar. “Tidak heran jika anda menggilai dunia arkeologi.”
Pria tua
itu tersenyum. “Kamu membacaku dengan begitu dalam anak muda. Berada pada suatu
ekskavansi ibarat membuka hijab untuk
menemukan yang terdalam, tempat dimana harta karun tersimpan.”
Sigmund Freud - Bob Renaud. Sumber: fineart america |
Dengan semangat
aku menimpalinya. “Itulah mengapa aku sangat tertarik dengan psikoanalisis,
dengan tawaran petualangan menantang.”
“Namun kamu
adalah seorang gadis, sudah sepantasnya mendapat laki-laki yang mampu mengerti
dirimu. Sedang berpetualang pada banyak hati adalah bentuk pertahananmu pada
suatu ketidak pastian. Aku tidak akan menyuruhmu untuk berhenti dalam
mempraktekan defense mecanism. Bangkitlah!
Melangkahlah dari proyeksi masa lalumu itu nak!”
“Mungkin
aku mengganggu waktumu dengan ceritaku yang kekanakan dan tidak bermakna ini,
tetapi sungguh, jangan anda teruskan, sebab mungkin ini akan memengaruhi alur
sejarah aliran psikoanalisis dimasa mendatang.”
“Tidak usah
kau risaukan mengenai konsensus para ilmuan yang kurang kerjaan itu. Hari ini
kamu adalah tamu istimewaku yang datang dari jauh.”
Sambil menghisap cerutunya,
ia bangkit dan menuju sebuah rak buku dan berkata. “Tahukah kau, jika cinta
selalu membawa manusia kedalam ruang dimensi pengertian yang berbeda, terkadang
hal-hal itu terproyeksi dalam wujud ketakutan, kegembiraan, gairah, juga
semangat yang sering tidak disadari.”
“Satu hal,
memang mungkin aku mencintainya. Juga sekaligus ingin menjadi seperti dirinya.”
Jawabku.
“Hal itulah
yang dinamakan sebagai Ego Ideal. Ia merupakan gambaran seseorang untuk menjadi
yang kita idolakan. My dear, kamu
tahu bahwa urusan cinta bukan sekedar mengenai nikmatnya hubungan seksualitas,
juga sebaliknya, bahwa seksualitas tidak selalu mengenai pada perihal cinta. Sebab itulah
manusia selau menjadi misteri. Aku serius dan bersumpah sampai dunia ini
berakhir akan hal itu.”
“Ya. Aku
tahu itu Pak.”
“Belum
semuanya kamu tahu nak. Luka yang kamu ciptakan sendiri itu, mungkin adalah
caramu beradaptasi, dan apabila obsesimu terhadap psikoanalisis justeru tidak
membantu dirimu untuk mengerti tentang diri sendiri, lantas untuk apa? Hanya menambah
rasa berdosa dalam diriku.”
“But Sir, Anda tidak perlu bertanggung
jawab atas apa yang menimpa pada diri saya.”
“Aku
mengidap Oedipus Complex, itulah
perkiraan banyak orang terhadap diriku.”
Ia mendekatiku dan berkata. “Nak, tentunya
kita menghadapi realitas dunia kita masing-masing. Hidupmu itu masih panjang,
dan kamu berhak memiliki kehidupan yang lebih baik.”
Aku
tersenyum dan berkata. “Apakah aku bisa menjadi seorang psikoanalisis?”
Ia menjawab
dengan mata berbinar. “My dear,
engkau adalah seorang penulis, penulis dengan taste keruwetan psikoanalisis.”
Mendengar perkataanya
itu, kami berdua kemudian tertawa riang, tawa yang menoreh momen indah di ruang
kerjanya itu.
Psikoanalisis. Sumber: matatimoer |
Tidak lama
kemudian, dering telepon berbunyi dari sebelah meja kerjanya. Aku segera
mengangkat gagang telepon itu.
Suara Anna
Freud terdengar bergema, seperti berada dari ujung yang jauh.
Seorang wanita
berkulit hitam dengan high heels prada
memecahkan pikiranku yang sedang menerawang.
Dengan
sopan ia berkata. “Maaf, bisakah kita gantian? Aku membutuhkan rekaman suara Anna Freud untuk melengkapi tugasku yang harus aku kumpulkan siang
ini pukul 13.20.”
“Oh, sure.. I’m
sorry.”
“No,
no, no.. I am sorry,” ia tersenyum dan berkata lagi “Thank you very much.”
0 Response to "Bertamu Kerumah Freud"
Posting Komentar