Politik Dinasti – Meritokrasi untuk Indonesia

Disuatu tempat, ada seorang yang dengan mudah mendapat jabatan tinggi dan posisi yang penting. Ia tidak memiliki pengalaman yang cukup, bahkan belum menorehkan prestasi apapun dalam kehidupan karirnya. Hanya saja ia dilahirkan dari rahim yang tepat. Seorang keturunan dari penguasa.

Ditempat lainnya, orang kedua - sang penjilat. Ia pun ikut naik pangkat meski tidak setinggi orang yang pertama. Bermulut manis berkinerja miris, pandai merayu menutupi hasil kerja yang layu. Tidak sampai di sini, ia juga diampuni atas kesalahan-kesalahannya yang membuat malu. Pangkatnya naik melejit melampaui teman-temannya yang mampu. Namun tidak setinggi orang pertama, anak penguasa yang mampu.
***
Pola semacam ini mungkin tidak lah asing di dalam masyarakat Indonesia. Kolusi dan nepotisme tersebut sering kali dapat kita temui di dalam organisasi-organisasi, khususnya organisasi pemerintahan. Kolusi dan nepotisme, merupakan dua ancaman bagi perkembangan suatu organisasi atau negara.
Before the masked ball - Max Beckmann's, 1922. Sumber: artsy
 Sumber daya manusia yang tidak berkualitas dalam menjalankan tugasnya, membuat organisasi ataupun negara menjadi terpuruk dan sakit. Aparatur organisasi ataupun negara yang terjangkit penyakit demikian, hanya akan menjadi parasit yang sedikit demi sedikit menghancurkan organisasinya, kawannya, dan bahkan dirinya sendiri.

Mutiara-mutiara asli tergantikan dengan batu krikil yang dipoles lebih cantik dari mutiara asli. Orang-orang yang mampu secara kualitas, sedikit demi sedikit terbuang dan terasingkan. Banyak dari mereka memilih meninggalkan tanah kelahirannya mengabdi ke negeri orang yang menghargai kemampuannya yang teralienasi di negeri sendiri.

Kompetisi demikian merupakan hal yang tidak sehat, terlebih dalam konteks politik. Politik dinasti semakin meluas karena mengedepankan sistem kekerabatan, favoritisme atau patronase, kroniisme, dan tentunya nepotisme. Hal yang tidak sehat ini berbanding lurus antara kompetisi politik dengan politik dinasti. Semakin tidak adilnya aturan main dalam kontestasi politik, maka akan semakin menyuburkan politik dinasti. Selain itu apabila seseorang terlalu lama menjadi seorang pejabat, maka kecenderungannya semakin kuat untuk mendorong kerabat atau keluarga menjadi penopang kekuasaannya dari dalam sistem organisasi, khususnya dalam lembaga pemerintahan. Hingga akhirnya terciptalah Power begets Power.
 
Satirical art pawel - Kuczynski. Sumber: Sculah
Salah satu jalan keluar yang ditawarkan adalah dengan mengubah tata kelola organisasi menjadi meritokrasi. Sehingga orang-orang yang mampu, layak dan berkompeten secara kualitas, adalah mereka-mereka yang mengisi dan menduduki sebuah jabatan. Para pasukan jilat-menjilat tidak akan mendapatkan tempat dalam sistem ini, dan kerabat atau keluarga penguasa tentunya harus tunduk dan patuh pada sistem tersebut.

Untuk mencapai meritokrasi, diperlukan kesadaran mental dan komitmen seluruh organisasi dalam rangka penerapannya. Hal ini dapat terealisasi ketika meritokrasi digunakan sebagai dasar utama dalam rangka pengambilan keputusan secara menyeluruh. Kemudian, menetapkan standard kualitas untuk menjaring orang-orang yang layak dan pantas menduduki posisi tertentu. Konsistensi juga diperlukan dalam pelaksanannya. Sebab walau bagaimanapun jika tidak memiliki kesadaran mental, komitmen yang kuat dan konsistensi, maka dapat dipastikan benih-benih kolusi dan nepotisme akan bermunculan  menjadi jalan hadirnya dinasti politik.


Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Politik Dinasti – Meritokrasi untuk Indonesia"

Posting Komentar