Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 3) - Hegelian Kiri



Filsafat idealistik dibelokkan secara tajam menjadi materialisme radikal. Standar kebenaran digeser dari Roh menjadi materi, karena kebenaran Roh tidak nyata dan penuh dengan kepalsuan. Agama dipandang sebagai belenggu kebebasan eksistensi manusia demi kepentingan status quo. Agama tidak lain adalah proyeksi manusia yang telah terasing dari eksistensinya sendiri. Manusia terus menerus menciptakan tuhan yang baru dalam rangka menjamin kelangsungan dunia.



Menurut Hegel, puncak perkembangan sejarah terdapat dalam zaman ketika ia hidup, sedangkan puncak perkembangan filsafat terdapat pada filsafatnya pula. Akan tetapi pandangan Hegel tersebut dibatalkan oleh dialektika filsafat Hegel sendiri. Penutupan yang semu dalam Roh Absolut dirusak oleh pertentangan-pertentangan baru. Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan rohani turut memaksa adanya pemikiran ulang terhadap totalitas yang dikemukakan Hegel. Pemikiran-pemikiran baru muncul sebagai penegasan adanya perbedaan konsepsi diantara pengikut Hegel. Maka lahirlah aliran Hegelian sayap kanan yang konservatif dan Hegelian sayap kiri yang lebih progresif (Harun Hadiwijono, 1993 : 117).
Kant Hegel, Sumber: Peterjcrawford
Para pengikut Hegel yang dikenal sebagai Hegelian kiri percaya pada sejarah. Akan tetapi kepercayaan yang mereka  miliki adalah kepercayaan progresif yang menyatakan bahwa sejarah dapat dirubah. Menurut mereka, perubahan sejarah tersebut dapat dilakukan melalui  penghancuran dialektika sejarah yang dikembangkan oleh Hegel (Budi Hardiman, 1993 : 189). Penggerak pertama Hegelian kiri tersebut adalah Feuerbach. Feuerbach menghantam sistem agama rasional kerakyatan yang didukung Hegel dengan menelanjanginya sebagai biang keladi alienasi manusia. Agama muncul dari hakikat manusia sendiri, yaitu dari sifat egoisnya atau dari pengharapan terhadap kebahagiaan. Manusia berusaha menggambarkan apa yang tidak ada pada dirinya, sebagai sesuatu yang ada pada para dewa. Oleh karena itu para dewa sebenarnya adalah keinginan manusia sendiri. Seandainya manusia tidak punya keinginan itu, tentu tidak ada manusia yang beragama dan percaya kepada dewa. Feuerbach percaya bahwa pengalaman memiliki makna penting dalam usaha manusia mencapai kebahagiaan (Harun Hadiwijono, 1993 : 118).

Pemikir lain yang termasuk Hegelian sayap kiri adalah Karl Marx. Marx setuju dengan Hegel mengenai keterkaitan filsafat, sejarah dan masyarakat. Dialektika yang diajarkan Hegel dipakai sebagai metode, akan tetapi dengan sebuah isi yang bertentangan dengan isi ajaran Hegel. Marx tidak percaya pada rekonsiliasi yang dibuat oleh Hegel, sehingga ia menempatkan dialektika pada kenyataan sosial-ekonomi (Budi Hardiman, 1993 : 189). Menurut Marx, gerak dialektika tidak hanya sebagai ide yang mengawang-awang, melainkan harus praksis emansipatoris. Dialektika harus merupakan usaha-usaha emansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Segala bentuk pengetahuan dan kesadaran yang masih berada dalam hubungan-hubungan kekuasaan adalah palsu. Pengetahuan dan kesadaran bersifat ideologis karena telah terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan (Ahmad Sahal, 1994 : 14). Demikian pula yang terjadi pada agama. Menurut Marx, agama hanyalah proyeksi sifat-sifat hakikat manusia ke dalam sorga. Manusia menyembah Tuhan sama saja dengan menyembah hakikat diri sendiri yang telah diproyeksikannya (Franz Magnis, 1993 : 128).

Kierkegaard adalah salah seorang yang turut menentang Hegel karena sistem idealistis yang dikembangkannya. Menurut Kierkegaard, sistem idealistis Hegel adalah sesuatu yang harus diperangi karena mengancam autentisitas eksistensi (Budi Hardiman, 1993 : 189). Eksistensi diri adalah sesuatu yang "menjadi," yang mengandung suatu perpindahan dari "keinginan" menuju "kenyataan."  Bereksistensi berarti berani mengambil keputusan untuk menentukan hidup. Maka barang siapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak bereksistensi sebagaimana mestinya (Harun Hadiwijono, 1993 : 124).

Ketiga pemikir diatas pada intinya menolak universalisme yang dikembangkan Hegel. Hegelian kiri memandang agama sebagai produk rasio Pencerahan yang dimanipulasi. Agama dipandang secara pesimistis karena tidak mampu mengatasi tuntutan konkrit masyarakat. Melebarnya jurang pemisah antara buruh dan pemilik modal justru dilegitimasi oleh agama. Kapitalisme tumbuh subur dan menghisap individu yang telah dilemahkan oleh mesin. Pandangan Hegelian kiri tersebut terus berkembang hingga saat ini dan mengambil posisi sebagai "tegangan" terhadap kapitalisme yang semakin berkembang. Ironisnya, kritik Hegelian kiri semakin memberi peluang pada munculnya kesadaran baru, seperti pembangunan, kemajuan atau kesejahteraan umum. Di dalam kesadaran baru tersebut, nilai-nilai etis agama dikaburkan oleh estetika.

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Privatisasi Agama dalam Masyarakat Kapitalistik (Bag 3) - Hegelian Kiri"

Posting Komentar