Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 4) - Al-Farabi

Abu Nasr Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi (339/950), selain dikenal sebagai guru kedua filsafat  setelah Aristoteles di kalangan pemikir Barat dan Islam, ia dikenal pula dengan pemikiran politiknya. Merujuk kepada kitab–kitab politiknya dapat ditemukan garis besar pemikiran Al Farabi dalam memandang sistem pemerintahan yang ideal (Negara Utama). Dimana kita akan merujuk pada kitab yang paling utama : Kitab Ara’ahl al Madinat al-Fadilah (Paradigma menuju Negara Utama (fadilah).

Hal yang menarik dari pemikiran politik al Farabi ketika ia menjadikan kemampuan fadail (memahami unsur imajinatif/ghaib) sebagai syarat utama bagi seorang pemimpin dan keberhasilan negara. Hal yang disyaratkan pula oleh Khomeini tentang kewilayahan yang harus dimiliki seorang ulama faqih.
al-Farabi, Sumber: Kajian Pemikiran Islam
Farabi meyakinkan jika negara kota (madinah) adalah kepanjangan dari negara keluarga (manzil). Oleh karena pembentukan aturan dalam keluarga menjadi bagian penting dalam memandang sistem ketatanegaraan. Dalam kitab Bab-bab Tentang Masyarakat, ia menegaskan jika apa yang disebut negara rakyat dan negara keluarga adalah sebuah tempat yang memiliki penduduk  Perbedaan dari negara rakyat (kota) dan negara keluarga adalah kompleksitas urusan, jumlah anggota yang melibatkan diri di dalamnya dan kualitas pemimpin.
Negara kota dapat berarti kumpulan dari klan-klan atau kelompok kebangsaan, dimana mereka menyatukan diri ke dalam suatu kesepakatan. Menurut Farabi, negara kota utama (Madinat al fadilah)  boleh merupakan suatu pemufakatan dari kelompok masyarakat sebahasa. Berbeda dengan negara kota, keluarga hanya tercipta oleh empat syarat, yaitu susunan antara ; suami-istri, tuan-hamba, ayah dan anak (hubungan lelaki), harta dan tuannya. Orang yang mampu menyatukan semua ini adalah pemimpin dari keluarga. Ia merupakan sosok kecil dari pemimpin dalam negara kota.
Sebagaimana halnya Plato, Farabi menyaratkan jika setiap pemimpin harus bebas dari kecacatan (fisik, mental), ahli filsafat, dan ilmu-ilmu sains-sosial, cerdik-pandai, serta terbebaskan dari pernah berbuat maksiat (cacat hukum). Seorang pemimpin harus memiliki ketegaran, ketegasan, bercita-cita tinggi, memahami semua bidang kerja, dan senang berkelakar. Apabila seluruh kriteria ini dimiliki maka dengan sendirinya seorang pemimpin menjadi Imam bagi rakyatnya.
Dalam hal ini sebagaimana aliran politik Islam lainnya yang mendasarkan pada madzab, Farabi cenderung sama dengan pemikiran kepemimpinan dalam madzhab Syiah. Mereka meyakini jika Imam atau pemimpin umat tidak dapat diberikan begitu saja kepada penguasa. Imamah atau kepemimpinan adalah hak washi, para wali, faqih, atau ulama. Kepemimpinan tidak boleh dipegang oleh orang yang korup, pencinta maksiat, atau pelaku kejahatan (kriminal). 
Berbeda dengan Plato yang menawarkan aristrokasi (kumpulan filsuf) untuk memimpin, Farabi memandang seorang Pemimpin harus memiliki sebagian atau seluruh dari sifat-sifat Imam (penerus kenabian), dimana ia kemudian dalam praktiknya dapat memilih atau mengamanahkan persoalan kenegaraan (pemerintahan) kepada orang yang berkualitas sama atau di bawahnya. Apabila Plato menegaskan kepemimpinan filsuf ini hanya sebatas negara kota (polis), Farabi memunculkan kepemimpinan negara bangsa (metropolis). Meskipun demikian ia menolak kepemimpinan ulama yang melampau batas teritorial.[1]
Tugas pemimpin adalah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan keluarga, dalam bentuk yang lebih kompleks adalah apa yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Kemudahan dalam proses pemenuhan kebutuhan ini adalah bentuk kesejahteraan yang dimaksudkan. Oleh karena itu adalah perlu adanya kepemimpinan untuk menyatukan usaha bersama dari setiap individu keluarga-keluarga yang berbeda. Lebih jauh menyatukan faham bangsa-bangsa yang berbeda.
Bagi Al Farabi, kehidupan yang makmur, teratur, tertib, bertabiat hukum, bermartabat, mulia, dan dimuliakan adalah tujuan akhir dari kesejahteraan ini. Dimana fungsi pemimpin adalah mengatur setiap permasalahan yang terjadi dalam proses menuju masyarakat seperti ini.
Apabila tidak terdapat kepemimpinan, atau kepemimpinan tidak berlaku sebagaimana seharusnya pemimpin ideal, ini maka negara akan terjatuh kepada negara jahiliyah, dimana dalam kerjanya negara .

Menolak teori khilafah Islam (kekalifahan Islam) yang bebas wilayah negara dan diikat oleh suatu hukum syariat, Farabi menginsafi kesulitan berlakunya hukum ini  dalam suatu wilayah yang luas. Oleh karena itu ia menegaskan tentang perlunya kesadaran dari suatu masyarakat yang berusaha bersama itu untuk menegaskan batas kebangsaannya. Batas kebangsaan ini dapat dibedakan dari ciri-ciri fisik, sejarah, pembawaan, ,tabiat, karakter bahasa, atau konvensi. Dengan adanya pencarian dan pendefinisian karakter ini, maka suatu negara akan terbagi kepada tiga jenis: Masyarakat Utama, Masyarakat Menengah, Masyarakat Sederhana
Masyarakat Utama adalah apa yang tercipta dari kemufakatan bangsa-bangsa untuk bersatu tujuan.  Dalam masyarakat Utama telah terdapat peraturan dan keteraturan, kesejahteraan, rakyat yang baik, serta pemimpin yang ideal. Masyarakat menengah adalah masyarakat kota dalam pemahaman Plato, sedangkan Masyarakat Sederhana adalah keluarga. Untuk lawannya Farabi menyebut Masyarakat Fasik (madinat al fasiqah) sebagai negasi dari Masyarakat Utama. Dimana sifat-sifat negara fasik itu adalah negara yang tidak mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya, melainkan hanya memperkaya kelompok-kelompok yang berkuasa.
Masyarakat Menengah adalah negara dengan kelengkapan dan wilayah yang lebih kecil dari negara utama, sedangkan Masyarakat Sederhana adalah klan atau keluarga. Semakin besar negara maka semakin kuat dan mudah pula pencapaian tujuan mereka. Juga dengan sendirinya semakin kompleks dan  rumit kerja pengaturan negara. Untuk itulah mengapa seorang pemimpin negara utama harus memahami seluruh bidang kerja, mulai dari filsafat, agama, hingga operasional kerja. Lebih jauh setiap pemimpin harus memiliki kemampuan melihat pandangan imajinatif ke depan. Sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mendalami pengetahuan Ketuhanan, orang-orang yang memiliki fadhilah, kemampuan memahami hal-hal ghaib. Di sini ia dan Khomeini sefahaman.
Bersambung..


[1] Sepertinya Farabi melihat jika penerapan pemerintahan yang cakupan wilayahnya jelas (teritori), lebih dapat direalisasikan ketimbang jenis kepemimpinan ulama yang bebas teritorial. Akan kita temukan jika pemikirannya ini berbeda dengan kepemimpinan ulama yang dilontarkan Ayatullah Khomenei dengan teori Wilayah Faqih-nya. Pada raktiknya Wilayah Faqih sendiri hanya mencakup negara Republik Islam Iran.   

Subscribe untuk mendapatkan update terbaru dari kami:

0 Response to "Daulat Tuhan, Perbandingan Filsafat Politik Islam al-Farabi dan Ayatullah Khomeini (Bag 4) - Al-Farabi"

Posting Komentar